Kunci Atasi Covid-19, Solidaritas Nasional dan Global

- Editor

Jumat, 27 Maret 2020

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Sejarah peradaban hingga masa modern saat ini menunjukkan bahwa umat manusia memenangi perang melawan berbagai wabah karena terjadinya pertarungan senjata antara patogen dan para peneliti medis.

”…the best defense humans have against pathogens is not isolation – it is information.” Yuval Noah Harari

Di tengah pandemi Covid-19, cukup banyak media cetak kredibel, baik di dunia maupun di Indonesia, memberikan akses informasi gratis tentang Covid-19 lewat media daringnya. Tak terkecuali majalah Time. Kutipan tulisan filsuf Yuval Noah Harari di atas dimuat di time.com pada 15 Maret 2020. Tulisan yang amat indah, jadi oase di tengah membeludaknya informasi tentang Covid-19 yang bermutu hingga yang ngawur di berbagai forum, mulai dari media konvensional, media daring, media sosial, hingga jejaring sosial seperti Whatsapp Group.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Menurut Harari, banyak orang menyalahkan epidemi coronavirus pada globalisasi, dan satu-satunya jalan untuk mencegahnya adalah melakukan deglobalisasi dunia. Sejarah peradaban umat manusia membuktikan bahwa wabah menyebar dengan cepat bahkan di era Abad Pertengahan, jauh sebelum masa globalisasi.

Sesungguhnya jumlah kejadian dan dampak epidemi di masa modern ini sudah jauh menurun drastis. Kecuali pandemi AIDS dan wabah ebola, wabah pada abad ke-21 membunuh proporsi penduduk dunia jauh lebih kecil dibanding masa-masa sebelumnya sejak Zaman Batu.

”Dalam pertempuran melawan virus-virus, umat manusia perlu benar-benar mengawasi perbatasan. Bukan perbatasan antarnegara. Namun, yang perlu dikawal adalah perbatasan antara dunia manusia dan virus sphere,” tulis Harari.

Sejarah peradaban hingga masa modern saat ini menunjukkan bahwa umat manusia memenangi perang melawan berbagai wabah karena terjadinya pertarungan senjata antara patogen dan para peneliti medis. Virus dan patogen lain mengandalkan pada mutasi acak dan ”buta”, sementara para dokter dan virolog mengandalkan pada analisis ilmiah terhadap informasi. Intinya, Hariri bersikap optimistis pada perkembangan ilmu pengetahuan biomedis.

Yang jadi masalah justru kepemimpinan dan solidaritas global. Masyarakat dunia beruntung ketika ebola merebak pada 2014, AS masih di bawah kepemimpinan Obama, yang cepat ambil inisiatif memimpin penanggulangan virus ebola yang jauh lebih mematikan dibanding virus pencetus Covid-19. Karena itu, walaupun virus Ebola berevolusi dan memunculkan strain Makona di Afrika Barat yang empat kali lipat lebih infeksius pada manusia, wabah ebola bisa dikendalikan.

Namun, di bawah Presiden Trump yang awalnya cenderung mengentengkan ancaman Covid-19 dan memangkas dana sumbangannya untuk WHO, dunia seperti kehilangan pemimpin.

Pemerintah AS cuma jadi penonton, hingga akibatnya kini kelabakan sendiri ketika Covid-19 menjalar ke AS. Lalu Trump pun melabel virus korona pemicu Covid-19 sebagai ”Virus China”. Yang mengemuka malah xenofobia, isolasionisme, dan ketidakpercayaan.

Menurut Harari, posisi AS belum tergantikan oleh negara lain. Namun, menurut hemat saya, justru China yang sekarang jadi pemimpin dunia untuk penanggulangan Covid-19. Negara yang awalnya dikecam banyak negara di dunia karena Wuhan menjadi episenter wabah Covid-16 ini kini justru mengirim banyak tenaga medis dan bantuan logistik ke sejumlah negara, termasuk Indonesia. Suatu wujud dan manifestasi solidaritas global yang patut kita hargai.

Solidaritas nasional
Akan halnya solidaritas nasional atau kohesi sosial, tecermin amat kuat di antara warga kota Wuhan ataupun warga China secara keseluruhan. Tak ada saling menyalahkan. Swakarantina benar-benar ditaati. Begitu pula anjuran social distancing dan kewajiban mengenakan masker, baik bagi yang merasa sakit maupun yang tidak, karena tak sedikit orang yang sebenarnya mengidap virus SARS-CoV-2 tidak menunjukkan gejala klinis, seperti batuk dan bersin-bersin.

Tes dilakukan secara luas, orang yang positif dikarantina dan yang gejalanya komulai serius segera ditangani maksimal. Sistem layanan kesehatan benar-benar tampil maksimal, didukung kepemerintahan yang menunjukkan negara hadir sehingga masyarakat dapat ditenangkan. Tingkat kematian akibat Covid-19 dapat ditekan hingga di bawah 2 persen.

Hal sama terjadi di Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura. Di negara-negara ini memang sempat terjadi panic buying, tetapi hanya sesaat. PM Singapura Lee Hsien Loong, misalnya, pada 8 Februari 2020 berbicara dengan warga lewat narasi santai, yang kemudian disiarkan Youtube, bahwa Singapura sudah masuk Siaga/Darurat Dua (status Oranye).

Lee berhasil menenangkan rakyatnya dan kemudian memenuhi janjinya menyediakan masker gratis yang ikut dibuat para tentara yang dikerahkan dalam proses produksi. Pada 12 Maret Lee menyapa lagi untuk menjelaskan apa saja yang sudah dan akan dilakukan. Tingkat kematian akibat Covid di Singapura nyaris nol. Kalau toh ada yang meninggal, di antaranya berasal dari Indonesia yang kasusnya terlambat terdeteksi dan tertangani.

Menlu Singapura, Vivian Balakhrisnan dalam sebuah wawancara dengan stasiun TV CNBC International menyatakan pandemi Covid-19 yang melanda dunia saat ini dapat menjadi sarana untuk menilai kualitas suatu negara dari tiga aspek.

Pertama, sistem layanan kesehatan disiapkan dan berjalan dengan baik atau tidak. Kedua, standar kepemerintahan (governance) teruji efektif atau tidak. Ketiga, modal sosial ada dan subur atau tidak. Ketiganya ibarat tripod. Jika satu saja kaki penyangga kamera mengalami malafungsi, kedua kaki yang lain akan terpengaruh, dan tripod akan ambruk.

Kita tentu dapat melakukan refleksi dan otokritik, apakah ketiga pilar bagi kualitas kita sebagai bangsa dan negara sudah bermanifestasi dengan baik atau belum.

Betapapun, harus kita akui dengan jujur, kita kehilangan waktu persiapan dan berjaga-jaga selama dua bulan, Januari dan Februari. Ini akibat pembentukan opini secara berulang-ulang bahwa Covid-19 itu ringan dan akan sembuh dengan sendirinya seperti flu biasa, selain masyarakat kita dikatakan kebal karena kekuatan doa.

Ada pula informasi di media siaran TV dan medsos seperti Youtube ataupun di jejaring sosial yang mengamplifikasi pesan bahwa Covid-19 akan sembuh dengan sendirinya jika stamina kita bagus, dan pasien yang sudah sembuh kebal dan tak akan tertular lagi.
Nyatanya, cukup banyak laporan menyatakan adanya kasus-kasus reinfeksi. Sayangnya, informasi yang tak kredibel semacam ini justru banyak dipercaya masyarakat awam hingga pejabat tingkat menteri.

”Clearing house”
Kembali ke fungsi media arus utama yang kredibel seperti Time dan CNBC TV, misalnya, seyogianya di tengah amukan pandemi ini mereka menjalankan lagi fungsi clearing house bagi kebenaran berbagai informasi yang simpang siur. Indonesia beruntung masih memiliki media cetak, media siaran ,dan media daring berkualitas. Akhirnya terpulang ke literasi masyarakat sendiri.

Kita bisa belajar dari kasus skandal perusahaan rekayasa medis Theragon yang didirikan Elizabeth Holmes ketika ia berusia 19 tahun di 2003. Perusahaan start up Silicon Valley yang memproduksi rapid test kit untuk memeriksa darah ini dipuja-puji masyarakat dan tokoh-tokoh AS, mulai dari Henry Kissinger hingga Hillary Clinton. Harga sahamnya melejit, valuasi Theragon sampai menembus 9 miliar dollar AS. Tahun 2015 Forbes menobatkan Holmes sebagai miliarder perempuan termuda di AS.

Namun, seiring dengan waktu, wajah Theragon yang sesungguhnya terungkap berkat pengawasan FDA dan investigasi reporter Wall Street Journal, John Carreyrou, yang lalu menulis buku Bad Blood: Secrets and Lies in a Silicon Valley Startup. Saham Theragon langsung menukik hingga nol. Dan Holmes akan disidang pada Agustus 2020.

Tugas wartawan dan media yang bermutu adalah mengedukasi dan melakukan kontrol sosial. Di era pandemi global Covid-19 yang dipicu virus korona beta bernama SARS-CoV-2, ada baiknya kita semua menjadi lebih skeptis dan kritis terhadap aneka informasi yang kita terima.

(Irwan Julianto, Wartawan Senior, MPH Lulusan Harvard University)

Sumber: Kompas, 27 Maret 2020

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 1 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB