Kualitas Udara Perkotaan;Biaya Kesehatan Warga Mencapai Rp 35 Triliun

- Editor

Senin, 24 Agustus 2015

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Kualitas udara perkotaan memburuk karena peningkatan jumlah kendaraan dan ketiadaan perbaikan kualitas bahan bakar. Biaya kesehatan masyarakat akibat pencemaran udara Rp 35 triliun (sekitar 3,1 miliar dollar AS menurut MOS-UNEP PCFV 2012).

Nilai tersebut lebih dari dua kali lipat biaya untuk meningkatkan kemampuan pengolahan kilang Pertamina agar memenuhi Euro IV, yaitu Rp 14 triliun.

Langkah peralihan bahan bakar berstandar Euro IV hingga pengendalian emisi kendaraan publik dan pribadi tak berjalan baik. Jika ini dibiarkan terjadi, biaya kesehatan dan ekonomi akan semakin membebani warga dan negara.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

20111116PolusiUdara161111-1“Sumber pencemar udara meningkat terus. Data riset kami dan kementerian kesehatan menunjukkan gangguan kesehatan akibat pencemaran udara meningkat,” kata Budi Haryanto, pengajar Departemen Kesehatan Lingkungan UI, Jumat (21/8) di Jakarta.

Hal itu diungkapkan dalam Seminar Nasional “Strategi Optimalisasi Pengendalian Pencemaran Udara Menuju Kota Sehat dan Ramah Lingkungan” yang diselenggarakan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Hadir MR Karliansyah (Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan), M Sanusi (Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta), dan sejumlah pembicara.

Budi menunjukkan, 65- 80 persen polusi udara perkotaan terkait transportasi. Hal itu di antaranya kualitas bahan bakar, teknologi kendaraan, uji emisi/ perawatan, dan manajemen lalu lintas.

Kualitas bahan bakar sekelas pertamax di Indonesia adalah Euro II (sulfur maksimal 150 ppm), di bawah Thailand, Vietnam, dan sebagian besar negara Afrika yang menggunakan Euro IV (sulfur maksimal 50 ppm).

BBM diesel bersubsidi mengandung sulfur maksimal 2.000 ppm. Ini di atas standar internasional 500 ppm. “Kalau kualitas rendah, pencemarannya pasti tinggi,” katanya.

Ia menunjukkan, pengukuran kadar pencemar CO (karbonmonoksida) dan PM (ukuran partikel debu) pada seorang polisi yang berjaga di Pancoran, Jakarta. Dia sepanjang hari terpapar PM2,5. Konsentrasi PM2,5 di seputaran Pancoran tercatat selalu melebihi ambang batas (15 ug/Nm3) dan pukul 07.00-09.00 terpapar CO di atas ambang batas (10.000 ug/Nm3). Polutan ini dapat menyebabkan penyakit saluran pernapasan, gangguan jantung, asma, ataupun kanker.

Tanpa tindakan berarti, kondisi bisa semakin buruk karena tren peningkatan jumlah kendaraan bermotor dan kemacetan. Ia berharap Indonesia segera meningkatkan standar kualitas BBM menjadi Euro IV dan menggunakan BBM dari sumber alternatif, seperti biofuel, serta langkah ikutan lain.

MR Karliansyah mengatakan, pihaknya telah lama merancang peralihan kualitas bahan bakar dari Euro II ke Euro IV. ASEAN pun menargetkan seluruh anggotanya menggunakan Euro IV pada tahun 2016. Rencana ini telah dikoordinasikan lintas kementerian dan Pertamina. Namun, katanya, tanpa terobosan, kilang Pertamina baru bisa mencapai standar ini 4-5 tahun lagi.

“Kami sarankan kepada Pertamina, sebagian BBM kita impor, ya impor saja Euro IV. Tapi alasan Pertamina, ada selisih harga,” katanya. (ICH)
—————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 Agustus 2015, di halaman 13 dengan judul “Biaya Kesehatan Warga Mencapai Rp 35 Triliun”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes
Kalender Hijriyah Global: Mimpi Kesatuan, Realitas yang Masih Membelah
Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?
Berita ini 7 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Jumat, 27 Juni 2025 - 14:32 WIB

Zaman Plastik, Tubuh Plastik

Jumat, 27 Juni 2025 - 08:07 WIB

Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes

Berita Terbaru

Artikel

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Senin, 7 Jul 2025 - 08:07 WIB

Fiksi Ilmiah

Bersilang Nama di Delhi

Minggu, 6 Jul 2025 - 14:15 WIB

Artikel

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Sabtu, 5 Jul 2025 - 07:58 WIB