Konsumsi batubara nasional akan dominan tahun 2018 seiring dengan kebijakan bauran energi nasional. Demi menekan emisi karbon akibat pembakaran batubara, diperlukan teknologi pembakaran dengan oksigen murni, Oksi, yang masih relatif baru di dunia.
”Pembakaran itu memerangkap karbon dioksida,” kata pakar energi terbarukan Adi yang dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Termodinamika Fakultas Teknik UI, pekan lalu. Pidato pengukuhannya berjudul ”Peranan Teknologi Gasifikasi: Usaha Kontribusi Strategis Penyediaan Sumber Bahan Bakar Alternatif di Indonesia”.
Penerapan pembakaran dengan oksigen murni dan karbon dioksida (CO2) pada PLTU dirintis di Jepang oleh Okawa tahun 1997 dan Yamada tahun 2000. Dilanjutkan para peneliti dari sejumlah negara, hingga mencapai fasilitas skala kecil tahun 2010.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Selama satu dekade, penelitian global tentang pembangkit listrik dengan menambahkan oksigen pada batubara telah meningkat hingga skala uji coba atau demonstrasi. Skala komersial diharapkan sebelum tahun 2020 di dunia telah terbangun,” katanya.
Studi pembakaran oksigen pada batubara lokal banyak dilakukan di Australia, Amerika Serikat, Tiongkok, dan Turki.
Studi di Indonesia juga dinilai diperlukan karena peran pembangkit listrik berbahan bakar batubara menjadi dominan. Data Kementerian ESDM tahun 2008, bauran energi primer untuk pembangkitan adalah batubara 45 persen, minyak bumi 26 persen, dan panas bumi 5 persen. Namun, melalui crash program 10.000 MW tahap I dan II yang ditargetkan tahun 2018, bauran energi primer menjadi batubara 63 persen, minyak bumi 2 persen, dan panas bumi 12 persen.
Melihat potensi itu, pengurangan emisi CO2 hasil pembakaran batubara di PLTU, yang diperkirakan terus meningkat dalam waktu 10-20 tahun ke depan, jadi isu penting. Sebab, emisi itu akan memperparah pemanasan global.
Oleh karena itu, kata Adi, Indonesia harus segera menguasai teknologi baru itu dan mengaplikasikannya. Jika tidak, Indonesia hanya akan menerima teknologi PLTU batubara usang dari negara lain, seperti Tiongkok yang relatif tinggi tingkat emisi gasnya sehingga berpotensi meningkatkan pencemaran udara.
”Dalam usaha mitigasi pemanasan global, tidak ada solusi tunggal yang dapat berjalan sendiri. Di antara berbagai solusi, salah satu solusi yang menarik dikaji adalah Carbon Capture and Storage (CCS). Pemanfaatan CCS memungkinkan penggunaan batubara di masa depan tanpa menambah kandungan gas rumah kaca di atmosfer,” papar Adi, lulusan S-2 dan S-3 bidang gasifikasi biomassa dari Universitas Teknologi Malaysia.
Pakar teknik kimia dari ITB, Tirto Prakoso, mengatakan, untuk menginjeksi CO2 ke perut bumi jika harus menggunakan energi fosil memang jadi mahal dan justru makin meningkatkan penggunaan BBM. Untuk itu, yang kini dirintis adalah penggunaan energi terbarukan, seperti surya dan angin. Energi itu untuk menggerakkan kompresor yang akan menekan gas karbon. Melalui tekanan tinggi di lapisan tertentu di bumi, gas karbon tersimpan dalam bentuk cair.
Cara lain fiksasi adalah mencampurkan dari bahan lain di alam. Salah satunya dengan kalsium karbonat, hingga terbentuk senyawa padat berupa kapur. ”Riset CCS tengah dilakukan ITB bekerja sama dengan Jepang,” ujarnya. (YUN)
Sumber: Kompas, 13 Oktober 2014