Tak Bernilai Ekonomi, Tak Diurus
Sejumlah komoditas penting, sebagian besar rempah-rempah, yang pernah berjaya pada masa lalu, mulai hilang di sejumlah daerah. Penyebabnya, komoditas itu dinilai tidak memiliki nilai ekonomi dan tidak pernah diurus. Padahal, komoditas ini menjadi penting saat arus gaya hidup sehat global mulai kencang.
Bontor Manalu (60), petani kemenyan (Styrax sumatrana) di Desa Pancur Batu, Kecamatan Adian Koting, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara, setiap Senin pagi pergi ke hutan keluarganya di Parsulungan dan Hobo, tiga jam berjalan kaki dari rumahnya.
Di hutan, Bontor merawat dan memanen kemenyan dan baru keluar dari hutan hari Jumat. Selama lima hari di hutan, ia tinggal di pondok kecil yang dibangun dan berbekal segala keperluan hidup selama lima hari. Dia mengakui, komoditas yang digunakan untuk kosmetik dan obat-obatan itu semakin sulit didapatkan dan ia harus memasuki hutan lebih jauh untuk mendapatkannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kondisi yang lebih parah menimpa tanaman kapur (Dryobalanops aromatica), yang terkenal di dunia sejak lama, dan terancam punah. Pada masanya komoditas ini dikenal di dunia dengan sebutan kapur barus, yang menunjukkan kapur dari kota Barus. Untuk mencari pohon ini kini amat sulit. Beberapa waktu lalu Kompas berusaha mencari tanaman ini, tetapi tidak mendapatkannya. Tanaman ini dikenal sebagai penghasil getah yang setelah diolah bisa digunakan untuk pengawet dan obat.
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tapanuli Tengah yang memiliki daerah endemis tanaman kapur mencatat hanya ada 20 tegakan yang kini dikonservasi secara pribadi oleh seorang petani bernama Jalungun Silaban di Desa Siordang, Kecamatan Sirandorung, Kabupaten Tapanuli Tengah.
Kondisi yang sama dialami beberapa komoditas lain. Setidaknya gambaran itu muncul saat sejumlah petani, peneliti, dan pejabat dinas pertanian yang ditemui sejak pekan lalu hingga Minggu (22/5). Bahkan, sebagian komoditas itu tidak ada lagi dalam catatan Badan Pusat Statistik dan dinas pertanian.
Indonesia yang dulu dikenal sebagai produsen utama rempah-rempah kini telah dikalahkan oleh Brasil dan India. Jika tidak diwaspadai, predikat itu akan semakin merosot. Padahal, saat ini tren kembali ke produk alami mulai meningkat.
Studi yang dilakukan McCormick Science Institute, sebuah lembaga riset di Amerika Serikat, menyebutkan, kini rempah-rempah menjadi pusat dari sumber pangan yang sehat. Banyak manfaat kesehatan dari komoditas itu yang belakangan ditemukan pada rempah-rempah. Pada masa depan tren global penggunaan rempah-rempah untuk bumbu dan penyedap akan meningkat seiring kesadaran orang untuk kembali memasak di rumah.
Terancam punah
Tanaman kapur yang tumbuh di pantai barat Sumatera Utara bahkan juga sudah masuk dalam daftar tanaman yang terancam punah, sesuai International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN). Dinas Perkebunan dan Dinas Kehutanan Sumatera Utara sama sekali tidak memiliki data tentang tanaman kapur itu.
Komoditas cendana yang digunakan untuk keperluan medis dan kosmetik juga merana ketika Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 1986, yang antara lain mengenai kepemilikan cendana diambil alih oleh pemerintah, termasuk yang ada di pekarangan rumah warga. Akibatnya, pohon cendana ditebang warga dan tradisi budidaya mandiri hilang.
Situasi ini terlihat dari sumbangan pendapatan asli daerah (PAD) dari cendana yang tahun 1985 mencapai Rp 3,5 miliar dari total PAD NTT senilai Rp 20 miliar. Kini, sumbangannya hanya sekitar Rp 40 juta dari total PAD Rp 2,3 triliun.
Di Kecamatan Sungai Pinang, Ogan Ilir, Sumatera Selatan, tanaman pinang di lahan hamparan sudah sulit ditemukan. Warga hanya menanam pinang sebagai pagar alami rumah. Mukromin (37), misalnya, menanam 30 tanaman pinang di setiap sudut lahan rumahnya. Tujuannya adalah untuk menandai batas lahannya dengan milik orang lain.
Sebaliknya, komoditas gambir masih diekspor pedagang, tetapi kondisinya terancam akibat harga yang rendah. “Saat harga rendah, kami tidak berani produksi karena hasilnya bisa lebih rendah daripada biaya produksi. Kalau dipaksakan, bisa merugi,” kata Ikhsanul Ifkar (43), petani gambir di Jorong Padang Panjang, Nagari Solok Bio-Bio, Kecamatan Harau, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat.
Dampak ketidakstabilan harga dalam beberapa tahun terakhir membuat petani di Solok Bio-Bio dan Lareh Sago Halaban menghentikan produksinya. Tak sedikit pula yang beralih ke komoditas lain. Di Solok Bio-Bio, saat ini petani gambir hanya tersisa sekitar 300 keluarga. Tercatat sebelumnya tak kurang dari 500 keluarga menanam gambir.
Tanaman pala di Maluku terus terancam pula karena tiada inovasi. Petani memakai cara-cara tradisional. Akibatnya, produksi pala tak meningkat, bahkan cenderung menurun. “Proses kerja seperti biasa sejak turun-temurun. Anakan pala ditanam lalu dibiarkan besar sendiri. Setiap tahun produksinya selalu menurun,” kata Madjid (45), warga Desa Seith, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah.
Di Lampung, penurunan produksi lada diakibatkan merebaknya penyakit busuk pangkal batang dan anjloknya harga lada di tingkat petani. Kepala Seksi Pembenihan Dinas Perkebunan Lampung Desti Arisandi mengatakan, untuk meningkatkan produksi saat ini dibutuhkan peremajaan tanaman dan kestabilan harga lada.(ZAK/RAM/FRN/WSI/GER/KOR/MAR)
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 Mei 2016, di halaman 1 dengan judul “Komoditas Penting Kian Hilang”.