Tugas dan beban kerja Pilot
Sistem kendali terbang Fly by Wire (FbW) diterapkan untuk meningkatkan mutu dari kualitas terbang (flying qualities) pesawat udara sehingga meringankan beban kerja pilot.
Ketika menerbangkan pesawat udara seorang pilot mempunyai dua tugas. Tugas pertama adalah sebagai pengemudi, yaitu membawa pesawat tersebut dari satu titik ke titik tujuan tertentu. Tugas pertama ini merupakan. tugas utama dari seorang pilot.
Tugas kedua adalah menjaga kestabilan pesawat terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada kualitas terbang pesawatnya selama penerbangan. Beban kerja seorang pilot selalu ditinjau dari kemampuannya melaksanakan dua tugas ini secara berimbang dan harmonis.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Perlu diketahui bahwa kualitas terbang suatu pesawat udara di dalam lintas penerbangannya selalu berubah-ubah, tergantung dari kondisi serta konfigurasi terbangnya. Perubahan ini disebabkan karena dua faktor, pertama faktor pesawat udara itu sendiri seperti berat dan kecepatan terbang, sedangkan kedua adalah faktor medan udara seperti tinggi terbang, tekanan serta temperatur atmosfer pada ketinggian tersebut.
Untuk suatu pesawat udara sipil transport, perubahan kualitas terbang secara kritis terjadi pada saat-saat pendaratan di mana kecepatan serta ketinggian terbang secara perIahan dikurangi, namun pada saat yang sama gaya angkat aerodinamik harus tetap dipertahankan agar dapat mengangkat berat pesawat tersebut. Dalam keadaan ini pilot harus tetap waspada terhadap segala kemungkinan gangguan-gangguan luar yang terjadi seperti, perubahan arah angin atau cuaca secara mendadak atau terjadinya kerusakan sistem yang tidak diharapkan yang merusak keseimbangan sehingga berakibat fatal.
Pada saat itu pula pilot harus tetap menjaga komunikasi dengan pengendali lalu intas udara di bandara dan sekaligus berkoordinasi dengan pesawat-pesawat lain yang akan melakukan pendaratan atau tinggal Iandas di bandara tersebut. Hal ini jelas akan meningkatkan beban kerja pilot, apalagi bila manuver pendaratan dilaksanakan pada bandara besar yang sangat sibuk atau bandara kecil namun dengan kondisi geografik serta cuaca tidak menguntungkan, dengan fasilitas panduan pendaratan yang minimum. Kondisi kritikal lainnya dimana perubahan kualilas terbang dapat terjadi antara lain pada saat keadaan darurat seperti aborted take off, single engine take off, landing climb, single engine Ianding’ dan sebagainya.
Sistem Kendali Terbang untuk meringankan beban kerja PiIot
Pada sistem kendali konvensionil seperti sistem kendali mekanikal atau hidromekanikal, perubahan kualitas terbang diantisipasi oleh pilot. Makin tinggi kesamaptaan seorang pilot, makin cepat pesawat udara mengadaptasi perubahan kualitas terbangnya.
Persyaratan sertifikasi untuk pesawat udara sipil seperti yang digariskan oleh FAA atau JAA, menuntut terjaminnya keselamatan penerbangan pada kondisi-kondisi kritis di atas tanpa membutuhkan ketrampiIan yang khusus (exceptional skill) dan pilot. Untuk pesawat udara transport sipil berukuran sedang, persyaratan FAA ataupun JAA di atas dengan mudah dapat dicapai melalui sistem kendali mekanikal, karena hampir rata-rata pilot dapat mengantisipasi perubahan kualitas terbang dengan cepat, tepat dan mudah. Sebagai contoh pesawat udara IPTN-CN235 telah memperoleh sertifikasi FAA hanya dengan sistem kendali mekanikal penuh.
Untuk pesawat rancang bangun IPTN yang baru, N250-100, sistem kendali mekanikal sangat sulit untuk diterapkan kecuali bila para pilot yang menerbangkannya nanti mempunyai ketrampilan khusus. Hal ini disebabkan karena pesawat N250-100, meskipun dilihat dari bentuk geometriknya konvensionil namun ditinjau dari segi prestasi terbangnya tidak terlalu konvensionil. Pesawat N250-100, mempunyai penampang badan lebar sayap dengan kemampuan gaya angkat tinggi, kecepatan jelajah maksimal 320 knots. Jangkauan jelajah 800 nm, lama terbang 5 jam serta jarak tinggal landas tak lebih dari 1.000 meter. Di samping itu kandungan teknologi maju yang diharapkan pada NZ50-100, sebagian besar berdomain elektronik digital.
Dengan demikian ditinjau dari segi, geometrik terbang N250-100 adalah pesawat udara berbentuk pesawat bermesin propeller namun dengan prestasi serta manajemen sistem sistem terbangnya seperti pesawat bermesin jet. Kemampuan seperti ini pulalah yang akan membuat pilot N250 terlampau sibuk bila sistem kendali yang diterapkan berujud sistem mekanikal.
Studi sintesis rancang bangun yang dilakukan oleh para insinyur IPTN untuk sistem kendali N250-100, yang dilaksanakan antara tahun 1989 sampai dengan tahun 1991, akhimya menyimpulkan bahwa sistem kendali yang paling efisien dan mampu mengurangi beban kerja pilot sehingga memudahkan sertifikasi adalah sistem kendali yang mampu mengambil alih tugas pilot dalam mengantisipasi perubahan kualitas terbang secara cepat, sehingga pilot dapat memusatkan perhatiannya pada tugas utamanya yaitu sebagai pengemudi. Sistem kendali seperti ini hanya mungkin dipenuhi bila ujud sistem kendali tersebut adalah Fly by Wire (FbW) atau Fly by Light (FbL).
Sistem Kendali Terbang Fly by Wire
Sistem kendali terbang FbW adalah suatu sistem kendali dimana transmisi sinyal input dan output yang dilakukan oleh komponen-komponen sistem tersebut dilaksanakan dalam domain elektrik dan hidraulik. Dalam bahasa formil system engineering, sistem kendali FbW dikenal dengan sebutan Sistem Kendali Elektro-Hidraulik.
Cara kerja dari sistem kendali FbW ini adalah sebagai berikut. Input komando dari pilot yang berupa gerakan batang, roda atau pedal kemudi ditransmisikan melalui sinyal elektrik ke sistem komputer elektronik yang lazim disebut Flight Cantrol Camputer (FCC). Didalam FCC sinyal input komando ini diolah menurut suatu algoritma optimal tertentu untuk menghasilkan sinyal output komando untuk menggerakkan aktuator-aktuator hydraulik. Aktuator ini kemudian menggerakkan bidang-bidang kendali aerodinamik seperti elevator, aileron atau rudder. Dengan bergeraknya bidang-bidang kendali aerodinamik ini maka pesawat udara akan bergerak secara optimal menuruti algoritma yang telah digariskan oleh sistem FCC tersebut. Algoritma Optimalisasi diprogramkan di dalam FCC untuk mengantisipasi perubahan-perubahan kualitas terbang yang mungkin terjadi secara optimal, dalam arti, pesawat udara akan bereaksi terhadap perubahan tersebut secara otomatik dengan energi seperlunya tanpa menyebabkan hal-hal yang membahayakan pesawat seperti overstress dan overloading pada struktur ataupun penggunaan bahan bakar yang berlebihan. Dalum sistem kendali FbW, proses aliran informasi sinyal elektrik dari FCC ke actuator hidraulik dan selanjutnya ke bidang kendali aerodinamik dilaksanakan secara sangat cepat dan terus menerus melalui suatu pola lingkar informasi umpan balik.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, pada sistem kendali FbW, pilot memberikan input komando dan pesawat udara bergerak menuruti input tersebut secara optimal, dalam arti secara otomatik dan sekaligus, gerak tersebut telah mengantisipasi perubahan kualitas terbang yang terjadi. Sedangkan pada sistem kendali konvensionil seperti sistem kendali mekanikal, pilot memberikan input komando dan pesawat udara bergerak menuruti input tersebut secara langsung. Proses ini segera diikuti oleh tindakan pilot untuk memberikan koreksi-koreksi yang diperlukan dalam mengantisipasi perubahan kualitas terbang yang terjadi. Disini terlihat jelas bahwa beban kerja pilot akan menjadi lebih ringan dengan sistem kendali FbW dari pada jika ia menggunakan sistem kendali konvensionil.
Pada pertengahan tahun 1991, diambil suatu keputusan penting untuk menerapkan sistem kendali FbW pada tiga saluran kendali utama, yaitu elevator, rudder dan aileron dan dua saluran kendali sekundair, yaitu spoilers dan flaps.
Meskipun keandalan sistem kendali FbW ini diusahakan cukup tinggi, dengan membuat seluruh komponen-komponennya rangkap dua, namun untuk lebih menjamin keamanan serta keselamatan yang lebih besar dipasang pula sistem kendali cadangan (back-up) pada saluran kendali utamanya.
Sistem kendali cadangan ini digunakan untuk mengambil alih fungsi pengendalian, pada keadaan-keadaan dimana terjadi kerusakan pada komponen-komponen sistem kendali FbW, sehingga sistem tersebut tidak dapat berfungsi lagi.
Sebagai sistem kendali cadangan dipakai sistem kendali hidro-mekanikal (mechanically controlled hydraulically powered).
Sistem kendali cadangan hidromekanikal ini dipasang pada saluran elevator dan saluran aileron. Saluran elevator perlu diberi sistem cadangan karena sifat flight-criticallity pada saluran ini sangat tinggi. Dalam arti, kerusakan sistem kendali pada saluran ini akan mempengaruhi kestabilan terbang dan pesawat udara tersebut. Sebaliknya pada saluran aileron dan rudder, hanya pada saluran aileron saja yang diberikan sistem kendali cadangan.
Hal ini disebabkan karena, terdapatnya sifat kopling aerodinamik lateral dan direksional pesawat udara, sehingga aileron dan rudder selalu salihg bisa menggantikan fungsi masing-masing bila salah satu mengalami kerusakan. Dengan demikian cukuplah pada salah satu saluran diberi sistem kendali cadangan. Untuk N250 dipilih saluran aileron.
Tahap-tahap pengembangan sistem kendali FbW di IPTN
Pengembangan sistem kendali FbW dilaksanakan di IPTN secara sistematik dan penuh kehati-hatian, sekaligus diselaraskan dengan pengembangan kualitas mutu dari sumber daya manusianya yang terkait. Dalam program ini IPTN bekerja sama dengan industri pembuat sistem elektro-hidraullk Eropa yaitu Lucas-Liebherr, yang akan membuat perangkat keras dari sistem kendali yang dirancang bangun oleh IPTN.
Dua tahap pengembangan sistem kendali FbW direncanakan, yaitu:
Tahap pertama: Pengembangan sistem kendali FbW generic, dimana gerak input komando pilot dihubungkan langsung dengan aktuator hidraulik melalui sinyal elektrik. Dengan demikian dalam tahap awal ini FCC belum diikutsertakan. Tujuan utama dalam tahap awal ini adalah untuk memperoleh alih teknologi dalam masalah mendasar dari FbW seperti:
a. Penguasaan rancang bangun sistem Perasa Buatan (Artifcial Feel System-AFS). Perlu dijelaskan disini bahwa dengun di gantinya rangkaian hubung mekanikal dengan kabel listrik maka pilot akan kehilangan rasa bahwa ia memegang pesawat udara. Untuk itu perlu dirancang suatu sistem perasa buatan yang diprogram secara terpadu sehingga pilot benar-benar akan merasakan bahwa ia sedang memegang pesawat. AFS ini merupakan bagian terpadu dalam sistem kendali FbW. Kesalahan dalam pemrograman AFS akan menyebabkan pilot mempunyai taksiran yang keliru pula. Hal ini dapat berakibat fatal. Beberapa kejadian yang memakan korban terjadi di pabrik pesawat terbang militer di Eropa dalam pengembangan sistem FbW karena kesalahan dalam pemrograman AFS. Pesawat tempur Sukhoi SU-27 dari Rusia memakan korban seorang pilotnya tewas, demikian pula pesawat JAS-Grippen dari Swedia memakan korban prototipnya “total loss” dalam pengembangan AFS nya.
b. Dampak rangkaian kendali berdomain elektrik terhadap lingkungan elektromagnetik antar sistem seperti, kompatibilitas serta interferensi; dampak terhadap radiasi alami dengan intensitas frekuensi tinggi seperti sambaran petir; keandalan operasional sistem serta toleransi kegagalan, dan keluwesannya dalam mengantisipasi modus-modus kegagalan.
Sebagai pengganti dari FCC, unit pengatur aktuator elektronik (ECU), akan dihubungan langsung dengan sistem-sistem penambah kestabilan seperti yaw damper, turn coordinator dan sebagainya untuk mengantisipasi perubahan kualitas terbang.
Dengan strategi awal seperti ini, maka penguasaan akan teknologi sistem kendali FbW akan secara cepat dapat dicapai tanpa mengurangi fungsi utama dan sistem kendali tersebut yaitu meringankan beban kerja pilot. Sistem kendali FbW generic inilah yang akan diterapkan pada pesawat udara N250-100 pada ketiga saluran kendali utamanya yaitu elevator, aileron dan rudder.
Tahap kedua: Pengembangan sistem kendali FbW lengkap dengan FCC. Tujuan utama dari fasa ini adalah penguasaan teknologi sistem kendali FbW secara lengkap dan persiapan ke langkah berikutnya yaitu pengembangan sistem kendali Fly by Light (FbL).
Dalam tahap kedua ini titik berat ditekankan dari FCC untuk meninggikan kualitas terbang pesawat udara melalui cara pengendalian aktif, yaitu suatu program pengendalian otomatik, berkewenangan penuh serta terus-menerus (full authority dan full time). Dengan cara pengendalian sepeni ini dapat dicapai efisiensi-efisiensi kualitas terbang diantaranya seperti contoh berikut:
a. Pendistribusian beban udara pada struktur secara merata saat manuver melalui sistem “Load alleviation“ yang diprogramkan pada FCC dan dikomandokan secara aktif pada aileron dan flaps melalui aktuator hidraulik. Dengan cara ini usia kelelahan pada struktur pesawat udara dapat lebih di perpanjang lagi, dengan demikian meningkatkan usia kerja komersiil pesawat udara tersebut.
b. Penghalusan getaran struktur yang terjadi selama terbang melalui sistem “Ride Smoother” yang diprogramkan pada FCC dan dikomandokan ke ke tiga bidang kendali utama seperti elevator, aileron dan rudder, melalui aktuator elektro-mekanik dari sistem auto-pilotnya. Dengan cara ini para penumpang pesawat akan mendapatkan tingkat kenyamanan yang tinggi karena pesawat tetap akan terbang dengan halus tanpa getaran yang berarti meskipun cuaca berawan dan turbulens.
c. Harmonisasi sistem kendali propulsi (Engine control system) dan sistem kendali terbang (Flight control system), melalui sistem manajemen terbang (Flight management system) untuk memperoleh efisiensi energi yaitu kecepatan dan waktu terbang serta ketepatan system-sistem navigasi bank dalam keadaan normal maupun darurat. Untuk ini sistem managemen terbang dirangkaikan secara umpan bulik dengan FCC.
d. Efisiensi bahan bakar, melalui pengurangan gaya hambat trim (Trim drag), yang merupakan faktor dominan saat melaksanakan terbang jelajah. Gaya ini dapat diperkecil jika kestabilan statik pesawat udara tersebut dikendorkan, dengan cara menggeser titik tekan aerodinamik pesawat terbang tersebut kedepan mendekati titik beratnya. Perggeseran ini dapat dicapai dengan memperkecil ukuran luas bidang ekor horisontal. Sebagai kompensasi dari kendornya kestabilan statik ini, suatu sistem penambah kestabilan buatan diprogramkan pada FCC dan dikomandokan secara aktif pada elevator melalui aktuator hidraulik. Jadi dapat dilihat disini, bahwa selain efisiensi bahan bakar, tercapai sekaligus tercapai penghematan berat struktur pesawat karena mengecilnya ukuran ekor horisontal.
Keempat contoh diatas merupakan hal-hal yang harus dicapai dalam upaya menciptakan pesawat yang hemat energi. Selain itu dengan sistem-sistem aktif diatas yang diprogramkan pada FCC, jelas beban pilot dalam mengantisipasi perubahan-perubahan kualitas terbang selama penerbanganya akan semakin diperingan.
Langkah pengembanan yang sistematik, wajar dan telah teruji keberhasilannya
Langkah pengembangan sistem kendali FbW yang ditempuh IPTN merupakan langkah yang wajar. Konsorsium industri penerbangan Eropa dalam mengembangkan sistem kendali FbW juga menggunakan tahap-tahap yang serupa. Dimulai dengan program pesawat transport supersonik Concorde pada pertengahan tahun enam puluhan, Inggris dan Perancis mengembangkan sistem kendali FbW tanpa FCC. Sistem yang dikembangakan merupakan sistem hubungan langsung secara elektronik antara pilot dengan bidang-bidang kendali aerodinamik. Sistem ini terbukti layak dan berhasil diterapkan secara komersiil. Filosofl sistem design inilah yang kemudian dikembangkan oleh konsorsium Airbus untuk menerapkan sistem kendali FbW lengkap dengan FCC-nya pada akhir tahun tujuh puluhan. Maka lahirlah pesawat transport komersiil pertama yang menggunakan sistem kendali FbW yang dilengkapi dengan FCC yaltu Airbus A320. Selanjutnya dengan keberhasilan A320, sistem kendali FbW terus diterapkan pada produk-produk Airbus Industri berikutnya seperti Airbus A321, A319 dan yang-paling mutakhir adalah Airbus A330 dan A340.
Langkah yang serupa dalam penerapan sistem kendali FbW pada pesawat transport sipil juga diterapkan di bekas negara Uni Soviet. Sebagai langkah awal sistem kendali elektronik hubungan langsung antara pilot dan bidang kendali aerodinamik diterapkan pada pesawat transport supersonik Tupolev TU-144 pada pertengahan tahun enam puluhan. Program transport supersonik ini, sayangnya tidak sampai pada tahap operasional, dan berhenti sampai pada tahap prototip.
Keberhasilan pengembangan ini dilanjutkan untuk menerapkan sistem kendali FbW yang dilengkapi dengan FCC. Dan muncullah pesawat transport sipil bersistem kendali FbW pada pertengahan tahun delapan puluhan seperti Ilyushin ll 96-300 dan Tupolev Tu204. Sedangkan saat ini tengah diujiterbangkan pesawat berkendali FbW lainnya yaitu, pesawat udara jet regional bermesin ganda Yakovlev, Yak-42M, yang akan memasuki pasaran tahun depan. Dengan demikian sampai saat tulisan ini dibuat telah terdapat delapan buah pesawat transport sipil yang mengoperasikan sistem kendali terbang FbW.
Amerika serikat dalam menerapkan sistem kendali FbW lebih lamban dan konservatif dibandingkan dengan Eropa Barat maupun Uni Soviet (sekarang Rusia). Jika semua berjalan sesuai rencana, pesawat transport sipil pertama yang bersistem kendali FbW lengkup dengan FCC adalah pesawat transport jarak jauh bermesin ganda, Boeing 777. Pesawat ini telah roll out tanggal 11 April yang lalu, dan diharapkan dalam tiga bulan mendatang ini melaksanakan terbang perdananya. Boeing mulai mengembangkan sistem kendali FbW melalui program pesawat transport supersonik-nya Boeing 2707-300, pada akhir tahun enam puluhan. Pesawat ini menggunakan sistem kendali FbW hubungan langsung tanpa FCC, namun sayang program ini dibatalkan oleh pemerintah Amerika Serikat sebelum sampai ke tahap prototip. Sejak itu teknologi sistem kendali FbW terus dikembangkan sampai akhirnya pada tahun delapan puluhan diterapkan pada pesawat tilt rotor angkut pasukan marinir Boeing-Bell V22 “Osprey” yang menggunakan sistem kendali FbW dilengkapi dengan FCC, dan selanjutnya pada tahun ini diterapkan pada Boeing 777.
Dari contoh-contoh yang dikemukakan di atas, terlihat bahwa apa yang saat ini dilakukan oleh IPTN sehubungan dengan tahap-tahap pengembangan sistem kendali FbW, adalah pada jalur langkah yang tepat dan telah diuji keberhasilannya pada industri-industri pesawat terbang terkemuka di Eropa maupun Amerika Serikat.
JJika semuanya berjalan sesuai rencana, N250-100 akan menjadi pesawat udara transport sipil ke sebelas yang menggunakan sistem kendali FbW diketiga saluran kendali utamanya. Secara berurutan, pesawat udara sipil yang mempergunakan sistem kendali FbW sampai ke tingkat operasionalnya adalah, dimulai dari pesawat SST “Concorde”, Airbus Industrie A320, A319, A321, Ilyushin II96 300, Tupolev Tu-204, Airbus Industrie A340 dan A330.
Keseluruhan pesawat ini buatan negara-negara Eropa; kemudian baru tahun ini menyusul pesawat buatan Amerika Serikat Boeing 777, dan selanjutnya tahun depan Yakovlev Yak-42M dan N250-100. Meskipun demikian N250-100 akan menjadi pesawat bermesin turboprop pertama yang memanfaatkan sistem kendali FbW. Perlu dijelaskan disini bahwa, pesawat transport baru bermesin turboprop Swedia SAAB 2000, yang saat ini telah memasuki tahap uji terbang juga mempergunakan sistem kendali FbW hubungan elektrikal langsung, namun hanya untuk satu saluran rudder saja. Berita terakhir menunjukan bahwa pesawat ini mengalami banyak masalah pada harmonisasi sistem kendalinya terutama pada saluran elevator. Hal ini membuat pabrik pesawat tersebut merencanakan untuk mengganti sistem kendali saluran elevator dan aileron dengan sistem FbW dan menunda proses sertiflkasi selama delapan belas bulan. Jika hal ini benar dilaksanakan maka-pesawat N250-100 akan menempati urutan kedua belas dalam penerapan sistem kendali FbW, atau pesawat turboprop kedua yang memanfaatkan sistem ini.
Perancangan serta pengujian sistem kendali FbW tahap 1 untuk N250-100
Sejak diambilnya keputusan penerapan sistem kendali FbW untuk N250 tiga tahun yang lalu, para insinyur IPTN yang bekerja pada program N250 mencurahkan kegiatan mereka secara penuh dalam merancang sistem kendali Ini.
Seperti ibaratnya sistem kendali pada tubuh manusia yang berujud tangan dan kaki yang terdiri dari tulang, otot, darah, serta bioneuron, sistem kendali FbW juga terdiri dari komponen-komponen serupa yaitu, aktuator penggerak, kabel-kabel listrik, cairan hidraulik serta arus listrik untuk memberikan tenaga gerak pada sistem kendali ini. Komponen-komponen ini merupakan perangkat keras dari sistem kendali FbW.
Pada tubuh manusia tangan dan kaki digerakkan atas perintah sistem pengolah informasi ‘yang berupa otak, yang menerima informasi dari kelima sistem panca indera yaitu, mata, telinga, hidung, lidah dan perasa. Pada sistem kendali FbW, pergerakannya dilaksanakan atas perintah otak pilot yang telah diolah serta dioptimalkan oleh FCC atau ECU. Perintah ini didasarkan atas informasi yang diterima oleh dua panca indera pilot yaitu mata dan telinga, sedangkan fungsi indera hidung digantikan oleh peralatan indera buatan seperti peralatan pitot statik dan temperature probe untuk mencium kondisi udara sekitar pesawat seperti tekanan udara, temperatur dan ketinggian terbang. Yang hilang disini adalah indera perasa. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, hubungan antara pilot dan pesawat dirangkaikan oleh sistem kabel-kabel listrik sehingga pilot akan kehilangan rasa memegang pesawat. Ibarat anda bersepeda, kemudian stang sepeda digantikan oleh push-botton keyboard seperti pada PC anda, maka anda akan kehilangan rasa bahwa anda sedang mengendarai sepeda. Anda akan mudah, terjatuh jika sepeda melakukan belokan karena anda pada dasamya tidak “memegang” sepeda yang anda kendarai. Untuk inilah perlu dirancang suatu sistem perasa buatan yang dapat memberi informasi pada otak pilot dan FCC bahwa ia sedang mengendarai pesawat udara. Sistem perasa buatan ini harus pula mampu memberikan rasa perbedaan pada pilot bahwa ia sedang terbang dengan cepat atau lambat dalam keadaan udara tenang maupun turbulens pada seluruh flight envelopnya.
Komponen-komponen FCC serta peralatan indera buatan di atas merupakan bagian dari perangkat keras sistem kendali FbW, sedangkan kemampuan komponen-komponen tersebut dalam mengolah informasi serta mengindera lingkungan terbang dan memberi rasa buatan merupakan perangkat lunak dari sistem kendali FbW.
Dengan demikian perancangan suatu sistem kendali FbW selalu melibatkan dua bagian yaitu perancangan peralatan kerasnya dan perancangan peralatan lunaknya. Pemaduan kedua bagian tersebut harus diuji selama ratusan jam di darat sebelum akhirnya diterapkan pada prototip pesawat untuk diuji terbangkan dan selanjutnya disertifikasikan.
a. Perancangan perangkat lunak sistem kendali FbW N250
Perancangan perangkat luriak yang dilaksanakan oleh IPTN untuk sistem kendali FbW pesawat N250 meliputi pengembangan program komputer real time untuk: (1) Unit pengatur elektronik (ECU) yang digunakan oleh sistem aktuator agar mampu menyesuaikan sistem performancenya dengan perubahan kondisi terbang seperti kecepatan, ketinggian, baik pada kondisi operasi nonnal maupun darurat. (2) Unit pembangkit rasa buatan yang mampu menyesuaikan rasa yang dibangkitkan dengan kecepatan dan ketinggian terbang sehingga pilot benar-benar merasa “memegang” pesawat pada ketiga sumbu pergerakannya melalui batang,roda dan pedal kendali (3) Unit penambah kestabilan (SAS), untuk memperbesar redaman dan mempelkecil frekuensi gerakan terutama pada terbang dengan kecepatan rendah sehingga menambah kenyamanan bagi penumpang dan (4) Unit switch Iogic untuk rekonfigurasi rangkaian sistem kendali saat-saat terjadi kerusakan pada satu atau beberapa komponen sistem kendali agar keselamatan terbang tetap terjamin sesuai persyaratan sertifikasi.
Semua program komputer real time ini dibangun dalam suatu model matematika dengan bahasa komputer khusus yang disesuaikan dengan perangkat keras dari unit-unit sistem kendali yang akan dipakai. Model matematika yang terjadi kemudian digabungkan dengan model matematika dinamika terbang pesawat udara untuk disimulasikan dalam fasilitas simulasi didarat yang disebut Engineering Flight Simulator (EFS) yang pada saat yang bersamaan juga dikembangkan oleh para insinyur IPTN dalam rangka mendukung program pengembangan N250 ini. Model matematika dinamika terbang N250 diperoleh melalui data-data uji terowongan angin yang telah dilaksanakan oleh team design IPTN bersama-sama dengan team UPT-LAGG (Laboratorium Aerodinamika Gas dan Getaran) dari Puspiptek/ BPP Teknologi di Serpong sejak tahun 1988, yang sampal saat ini telah menghabiskan 7000 jam uji terowongan angin.
Keandalan model matematika gabungan dari sistem kendali FbW dan dinamlka terbang N250 ini, setelah diteliti dan diuji coba di darat oleh para test pilot melalui EFS, kemudian diuji terbangkan untuk dinilai kesesuaianya serta keandalan prestasinya. Sebagai wahana untuk uji terbang perangkat lunak ini dipakai pesawat udara simulator (In Flight Simulator-IFS), yaitu suatu pesawat udara yang mampu terbang menirukan gerakan pesawat terbang Iain yang modelnya disimpan di dalam komputer pesawat udara IFS tersebut. Dengan cara ini para test pilot dapat menilai karakteristik suatu pesawat udara beserta sistem kendalinya dan para designer dapat melakukan perbaikan yang diperlukan jauh sebelum pesawat yang sebenamya dibuat.
Di dunia ini hanya ada dua lembaga, yang menyewakan pesawat udara IFS untuk tujuan perancangan pesawat udara komersiil, keduanya berkedudukan di Amerika Serikat yaitu, Advanced Research Corporation, CALSPAN yang berkedudukan di Buffalo negara bagian New York dan AFFDL (Air Force Flight Dynamics Laboratory) milik Angkatan Udara Amerika, USAF. Calspan menggunakan pesawat udara Learjet sebagai IFS, sedangkan AFFDL-USAF menggunakan pesawat turboprop Convair 131H, yang telah digubah menjadi pesawat udara simulator yang disebut TIFS (Total In Flight Simulator aircraft). Pesawat udara TIFS ini mempunyai dua cockpit, cockpit yang kedua digunakan untuk pilot yang melakukan simulasi. Dengan demikian model cockpit N250 dapat disimulasikan dalam pesawat TIFS ini sehingga pengujian terbang yang dilakukan dapat lebih mendekati keadaan sebenamya. IPTN menyewa kedua pesawat udara IFS ini dalam menguji seluruh rancang bangun perangkat lunak serta cockpit lay-out dari N250.
Sampai saat ini telah dilakukan dua tahap uji terbang dari empat tahap yang direncanakan. Pengujian terbang tahap pertama dilaksanakan bulan Desember 1992, dimana perangkat lunak sistem perasa buatan diuji dan dinilai, demikian pula karakteristik dinamika terbang N250. Uji terbang dilaksanakan di Buffalo dengan menggunakan pesawat udara IFS Learjet dari Calspan selama 15 jam terbang. Lima belas insinyur berperan serta dalam kegiatan uji terbang di Buffalo ini, mereka terdiri dari tiga test pilot, tiga flight test engineer; dua simulation engineer; dua flight control engineer; tiga flight dynamics engineer dan dua support technician. Melalui hasil-hasil pengujian ini, dilakukan perbaikan-perbaikan rancang bangun terhadap seluruh perangkat lunak sistem kendali terutama pada sistem pembangkit rasa buatan serta pada logik arsitektur dari sistem penambah kestabilan lateral. Pada tahap kedua, yang telah dilaksanakan pada bulan Oktober 1993 dengan menggunakan fasilitas serta team uji yang sama, dilakukan pengujian terbang selama 20 jam terbang. Pada tahup ini penekanan pengujian dilakukan pada pembakuan sistem pembangkit rasa buatan yang telah diperbaiki serta uji modus-modus kegagalan pada sistem kendali untuk mengetahui antisipasi pilot dalam menghadapinya sehingga dengan demikian dapat segera didefinisikan cockpit operation procedures pada keadaan darurat maupun normal. Kini, hasil-hasil uji terbang tahap kedua tersebut sedang dianalisis di IPTN dan hasilnya diverifikasikan berulang-ulang pada simulator darat EFS yang diikuti oleh semua test pilot IPTN dan para designer sistem kendali dan cockpit.
Uji terbang tahap ketiga direncanakan dilaksanakan tahun ini pada bulan September dengan menggunakan fasilitas USAF yaitu pesawat udara TIFS. Pada tahap ini akan diuji interaksi prestasi sistem kendali dengan lay-out cockpit serta pengaruhnya pada beban kerja pilot untuk menentukan dipenuhi tidaknya persyaratan sertifikasi design cockpit. Dalam uji terbang ini test pilot dari FAA (Dinas Penerbangan Federal Amerika Serikat) dan DSKU (Direktorat Sertifikasi dan Kelaikan Udara) dari Departemen Perhubungan RI akan diikutsertakan untuk memberikan masukan-masukan awal yang berkaitan dengan persyaratan sertifikasi.Uji terbang akan dilaksanakan selama 25 jam uji.
Pada tahap keempat diharapkan semua perangkat lunak telah dapat dibakukan dan tidak ada perubahan mendasar lagi sehingga pada tahap ini, TIFS akan digunakan sebagai pesawat latih bagi para test pilot dan flight test engineer lPTN dalam membiasakan diri dengan karakteristik terbang N250 sebelum terbang perdana. Tahap ini akan dilaksanakan awal tahun depan beberapa minggu sebelum terbang perdana prototip no. 1 dari N250.
b. Perancangan perangkat keras sistem kendali FbW N250
Komponen-komponen dari sistem kendali FbW yang dirancang oleh IPTN, dibuat di pabrik pembuat sistem hidraulik Lucas-Liebherr di Inggris dan Jerman. Di pabrik tersebut, semua komponen sistem kendali diuji prestasi serta keandalannya dengan mempergunakan fasilitas pengujian komponen sistem kendali yang ada di sana. Lucas-Liebherr juga menyediakan bahasa komputer real time yang akan dipergunakan untuk perangkat lunaknya. Untuk itu sekitar sepuluh insinyur komputer IPTN sejak tahun 1992 berada di pabrik tersebut untuk mempelajari sistem bahasa real time tersebut.
Sampai saat ini, sebagian besar dari komponen-komponen perangkat keras telah selesai dibuat dan telah diuji coba pada fasilitas test-bench di Liebherr. Segera setelah tiba di IPTN komponen-komponen tersebut akan digabungkan menjadi suatu sistem kendali terpadu dan akan diuji prestasi kerjanya pada fasilitas uji perangkat keras yang disebut “Iron Bird”. Iron Bird adalah suatu fasilitas uji perangkat keras terpadu dari sistem kendali terbang FbW beserta sistem-sistem pendukungnya seperti sistem kendali cadangan hidro-mekanikal, sistem catu daya hidraulik, sistem catu daya elektrik, sistemcatu daya cadangan yang berujud “ram-air turbine” serta sistem-sistem pengujian termasuk aktuator pembangkit simulasi beban aerodinamika. Beban aerodinamika disimulasikan melalui yang menerima informasi dari hasil-hasil uji terowongan angin, yang sebelumnya telah dilaksanakan. Sistem kendali yang telah terpasang pada Iron-Bird, akan berespons terhadap beban ini menuruti suatu “control-law” yang telah diperoleh melalui uji terbang dengan pesawat udara IFS. Dengan cara uji sepeni ini keandalan sistem perangkat keras dari komponen-komponen sistem kendali FbW dapat diuji serta kelemahan-kelemahannya dapat terdeteksi, sebelum jenis sistem yang sama tersebut dipasang pada pesawat prototip yang sebenamya.
Seperti halnya dengan EFS, Iron Bird juga dirancang sendiri oleh para insinyur IPTN. Pembuatan test-rig dari Iron-Bird ini dilaksanakan oleh Industri-industn Strategis sepeni PT. Barata dan PT. BBI. Untuk mencapai penguasaan teknologi FbW secara lebih mendalam dalam bidang perangkat keras, dijalin kerja sama antara Liebherr/Lucas dengan PT. Pindad dalam bidang aktuator hidraulik. Demikian pula, PT LEN menjalin kerja sama dengan perusahaan avionika terkemuka Colllins Inc. agar di masa depan, dapat berperan serta dalam pengembangan komponen-komponen elektronika dari sistem kendali FbW ini. Keikutsertaan industri-industri di lingkungan BUMN lndustri Strategis ini jelas merupakan suatu konsep terpadu dengan pandangan jauh ke depan dalam rangka memperoleh jaminan akan kesinambungan penguasaan teknologi FbW dimasa yang akan datang.
Saat ini komponen-komponen sistem kendali FbW telah mulai berdatangan dari Liebherr dan mulai dipasang pada Iron-Bird di IPTN. Diharapkan pengujian perangkat keras FbW akan dimulai bulan September tahun ini, yang akan menelan jumlah jam uji sebanyak 650 jam uji simulasi sebelum N250 melaksanakan terbang perdananya Insya Allah pada kwartal pertama tahun depan. Dalam pengujian perangkat keras ini Iron-Bird akan dipadukan dengan EFS sehingga dapat langsung menerima input gerak dari test pilot.
Dengan cara ini, pengujian perangkat keras dari sistem sistem manipulator kendali dan sistem-sistem display cockpit dapat sekaligus dilaksanakan bersama-sama uji perangkat keras sistem kendali FbW, sehingga para test pilot, flight test engineer dan design Engineer dapat melakukan perbaikan-perbaikan yang diperlukan sebelum melakukan uji terbang yang sebenarnya pada pesawat udara prototip N250.
Berbicara masalah perangkat keras dari sistem kendali FbW tidak bisa terlepas dari masalah lingkungan medan elektromagnetik. Untuk mengantisipasi hal ini para insinyur elektronik IPTN yang terlibat pada program N250, sejak awal tahun 1992, telah melakukan uji ketahanan sistem terhadap medan elektromagnetik berintensitas tinggi. Melalui model subskala N250, penentuan titik sambaran petir serta perambatan arus yang ditimbulkannya telah diuji selama kurang lebih 650 jam pengujian. Dengan menggunakan laboratorium petir milik Lembaga Masalah Kelistrikan (LMK) dari PLN, pengujian sambaran petir ini dilaksanakan. Berkat kerja sama yang baik antara IPTN dan LMK-PLN serta profesionalisme yang tinggi dari para insinyur di LMK-PLN, maka pengujian ini dapat dilaksanakan dengan baik dengan hasil yang memuaskan. Menurut rencana, masih akan dilaksanakan sebanyak 400 jam uji sambaran petir lagi sebelum terbang perdana.
Pengujian terhadap lingkungan elektromagnetik akan dilanjutkan dengan uji pada setiap komponen sistem kendali FbW dengan system-sistem elektronik pendukungnya melalui uji Kompabilitas Elektro Magnetik (Electro Magnetic Compability-EMC). Untuk ini di IPTN dikembangkan pula laboratorium EMC lengkap dengan Anechoic chambernya yang akan siap beroperasi bulan Oktober yang akan datang.
Tut Wuri Handayani
Sistem kendali FbW adalah satu teknologi yang lagi “trendy” dan relatif masih baru bagi masyarakat penerbangan di negara kita ini. TNI AU sebagui salah satu unsur kekuatan dirgantara nasional adalah pelopor penggunaan teknologi sistem kendali FbW. Sejak 1991 yang lalu TNI-AU telah mengoperasikan pesawat tempur F-l6 “Fighting Falcon” serie A dan B buatan pabrik General Dynamics Amerika Serikat. Pesawat F416 A/B adalah jenis pesawat tempur yang menggunakan sistem kendali FbW yang dilengkapi dengan FCC analog dan memanfaatkan teknik pengendoran kestabilan statik agar memperoleh kelincahan manuver tinggi.
Garuda Indonesia yang juga sebagai unsur kekuatan dirgantara nasional saat ini tengah dalam proses pembelian pesawat Airbus A330, demikian pula Sempati Airlines mulai pula, mempertimbangkan untuk membeli pesawat udara Airbus A340-200. Ini merupakan lompatan-lompatan teknologi yang memang wajar dan harus ditempuh oleh airlines-airlines tersebut di atas dalam rangka mengantisipasi persaingan-persaingan yang semakin ketat di lingkungan industri jasa penerbangan. Kedua pesawat airbus di atas adalah pesawat pesawat udara dengan sistem kendali FbW digital yang saat ini paling canggih karena dilengkapi dengan FCC digital untuk melakukan Load Alleviation serta harmonisasi pengendalian mesin dan aerodinamik secara Optimal.
Jika seluruh rencana pembelian ini lancar, diharapkan Garuda Indonesia akan menerima pesawat A-330 pertamanya akhir tahun 1995 yang akan datang.
IPTN yang merupakan kekuatan dirgantara dari unsur industri, dengan demikian harus tanggap terhadap perkembangan-perkembangan yang dilaksanakan pada unsure-unsur kekuatan dirgantara lainnya. Sebagai unsur industri IPTN harus siap untuk “Tut Wuri Handayani” terhadap unsur-unsur lainnya dalam arti siap memberikan dukungan untuk melayani serta memberikan masukari-masukan bermanfaat dari segala macam masalah yang berkaitan dengan penerapan teknologi sistem kendali FbW beserta sistem-sistem lainnya yang terkait. Dengan demikian wajarlah kiranya bila IPTN melaksanakan pengembangan sistem kendali FbW yang diterapkan pada design baru dari pesawat udaranya, N250 serta pengembangan-pengembangan selanjutnya ke teknologi FbL.
Diharapkan penguasaan teknologi FbW yang akan diperoleh IPTN dapat pula ditularkan kepada unsur-unsur kekuatan dirgantara lainnya sehingga akan diperoleh simbiosis mutualistik yang sangat baik dan saling menguntungkan diantara unsur-unsur dirgantara tesebut demi pembaangunan nasional kita.
Saat Roll-out dan Terbang Perdana semakin mendekat
Jika semuanya berjalan sesuai rencana, pesawat prototip pertama N250 diharapkan dapat digelindingkan keluar dari hanggar perakitannya pada bulan November yang akan datang. Penstiwa ini, dalam istilah industri penerbangan di negara-negara barat disehut “Roll-out”, yaitu suatu peristiwa dimana pesawat udara telah selesai dirakit dan semua kegiatan uji didalam hanggar seperti sistem functional check telah seluruhnya dilaksanakan, sehingga kegiatan dilanjutkan dengan pengujian-pengujian di luar hanggar. Untuk inilah pesawat tersebut pertama kalinya digelindingkan keluar hanggar dan melihat sinar matahari, seakan anak burung yang baru menetas dari telurnya atau bayi yang baru dilahirkan. Tradisi yang lazim terjadi di industri penerbangan adalah merayakan peristiwa roll-out ini secara khusus sebagai ungkapan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa atas rakhmatNya yang selama ini dilimpahkan kepada para parancang pesawat tersebut; ibarat perayaan selamatan untuk kelahiran seorang bayi.
Seakan anak burung yang baru menetas dimana kegiatan yang dilaksanakan setelah keluar dari telurnya adalah mencoba berdiri, mengepak-ngepakkan sayap serta berjalan dan berlari-lari kecil mengikuti induknya, pesawat pmtotip N250 diluar hanggar akan pula melaksanakan kegiatan serupa yaitu uji fungsionil di darat dari seluruh sistem-sistem dasamya seperti sistem hidraulik, elektrik, avionika dasar, sistem-sistem kendali FbW utama maupun cadangannya, sistem pengalir bahan bakar serta juga dimulainya menghidupkan mesin-mesin pesawat tersebut dan memutar propellernya pada batas-batas maksimal yang diijinkan. Semua kegiatan ini dilaksanakan dalam keadaan statik, yaitu keadaan dimana pesawat berhenti dengan roda-rodanya masih diganjal (on-chock). Setelah semua kegiatan ini berhasil dilaksanakan, yang biasanya memakan waktu beberapa bulan, mulailah dilakukan uji berjalan dilandasan secara bertahap melalui “slow speed taxy test” sampai dengan “high speed taxy test”. Uji larl-lari kecil ini dilaksanakan untuk mengetahui harmonisasi antara sistem-sistem kendali FbW dengan sistem-sistem pengendalian mesin serta sistem kendali roda-roda pendarat secara terpadu. Disini para test pilot dan flight test engineer akan membandingkan karakteristik dinamik pesawat prototip ini dengan hasil-hasil simuiasi yang telah dilaksanakan melalui in-flight simulation maupun melalui uji simulasi di EFS dan Iron-Bird.
Setelah uji taxi ini selesai baru dilakukan pengecekan terakhir oleh para insinyur perancang bersama-sama personil yang berwenang dari DSKU untuk menentukan kelayakan terbang dari prototip tersebut. Begitu pesawat memperoleh kelaikan terbang maka penerbangan perdana untuk prototip N250 dapat segera direncanakan.
Terbang perdana dari prototip N 250 diharapkan terjadi pada kwartal pertama tahun depan, jadi kira-kira empat bulan sejak pesawat prototip tersebut roll-out. Jika hal ini terjadi, maka inilah puncak dari segala usaha yang telah dirintis oleh putra-putri bangsa ini sejak delapan tahun sebelumnya. Suatu puncak usaha telah dirintis, melalui kerja keras yang melibatkan puluhan ribu jam kerja, jam analisis, jam uji dan jam simulasi. Suatu puncak usaha yang didasari atas Iangkah-langkah penuh perhitungan, hati-hati dan melalui pentahapan yang wajar. Suatu puncak usaha yang didasari niat juang yang ikhlas tanpa pamrih untuk meningkatkan harkat dan kecerdasan bangsa sejajar dengan bangsa-bangsa lain.
Laksana anak burung yang telah cukup umur dan latihan di darat kemudian mulai mencoba untuk terbang, pesawat prototip N250 akan melakukan terbang perdananya selama lebih kurang 90 menit. Di sini semua sistem dasar pesawat prototip tersebut akan mengalami pengecekan terbang pertamanya.
Terbang perdana merupakan hari besar kedua yang secara khusus dirayakan oleh suatu industri pesawat terbang, untuk mensyukuri karuniaNya. Ibarat bayi yang mulai menapakkan kakinya ke tanah, yang dalam adat Jawa sering disebut “tedak siti”, selalu diperingati dengan acara selamatan secara khusus sebagai rasa syukur.
Terbang perdana merupakan tahap awal dari kegiatan uji terbang untuk memperoleh sertifikasi tipe. Sertifikasi tipe adalah suatu sertifikat pengesahan yang menyatakan bahwa rancang bangun pesawat udara tersebut telah memenuhi persyaratan-persyaratan yang digariskan oleh peraturan-peraturan keamanan sena keselamatan terbang dari FAA ataupun DSKU, sehingga tipe tersebut layak untuk diproduksi secara masal dan dipasarkan. Kegiatan uji terbang untuk memperoleh seitifikasi ini akan dilaksanakan selama lebih kurang delapan belas bulan, menelan jam uji sebanyak 1500 jam terbang. Untuk ini IPTN merencanakan menggunakan empat buah prototip pesawat N250 guna mempercepat serta mengefisiensikan proses sertifikasi. Demikianlah Insya Allah, setelah mengalami pengujian selama 1500 jam uji, pesawat N250 ini memperoleh sertifikasi tipenya dan siap diproduksi untuk menyumbangkan prestasinya dalam pembangunan bangsa ini.
Ibarat seorang pemuda yang telah lulus pendidikan S1 dan siap untuk berkiprah dalam pembangunan bangsa. Seluruh karyawan IPTN yang terlibat dalam program N250 ini mohon doa dan restu dari seluruh bangsa Indonesia. Semoga cita-cita luhur ini berhasil. Amien.
Said D Jenie, Staf di lndustri Pesawat Terbang Nusantara
Sumber: Republika, Senin, 23 Mei 1994 halaman 8-9