Kemajuan teknologi membuat penelitian ilmiah terhadap primata diharapkan terus berlanjut dan berkembang. Hal ini dinilai penting karena manusia dan primata, khususnya orangutan, punya kesamaan genetika hingga 96,4 persen.
Ketua Pusat Riset Primata Universitas Nasional (Unas) Suci Utami Atmoko menyampaikan hal ini dalam acara ”Sarasehan 70+ Peneliti Primata Universitas Nasional” di Jakarta, Sabtu (26/10/2019). Penelitian dinilai penting karena kedekatan genetika antara manusia dan orangutan bisa dimanfaatkan untuk beragam hal, misalnya penelitian biomedis.
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI–Acara ”Sarasehan 70+ Peneliti Primata Universitas Nasional” dilaksanakan di Jakarta, Sabtu (26/10/2019). Para peneliti dari tahun 1970-an hingga 2019 berkumpul dan berbagi cerita tentang pengalaman meneliti primata di Indonesia dalam acara ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Kesamaan genetika berarti kebutuhan orangutan dan manusia hampir sama. Kita bisa mencari kesamaan makanan antara keduanya. Pada akhirnya, ini berkaitan dengan isu ketahanan pangan walaupun masih perlu dikaji lebih lanjut,” kata Suci.
Kendati demikian, penelitian terhadap orangutan terkendala jumlahnya yang terus menurun. Menurut Suci, jumlah orangutan di Pulau Kalimantan (termasuk Sabah dan Sarawak, Malaysia) adalah 50.000-60.000 individu. Sementara itu, orangutan di Sumatera jumlahnya sekitar 13.000-14.000 individu.
Data Organisasi Internasional untuk Konservasi Alam dan Sumber Daya Alam (IUCN) menyatakan, populasi orangutan Sumatera menurun 80 persen selama 75 tahun terakhir. Kondisi ini membuat orangutan Sumatera masuk dalam daftar spesies yang terancam punah.
Profesor Biologi Konservasi Universitas Indonesia Jatna Supriatna mengatakan, populasi orangutan menurun karena habitatnya rusak. Hal ini, antara lain, disebabkan oleh konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit serta kebakaran hutan dan lahan.
”Padahal, penelitian orangutan penting. Selain karena mereka adalah penyebar biji untuk keberlanjutan hutan, ini juga penting untuk melakukan penelitian biomedis. Hal tersebut tidak lepas dari kedekatan genetika manusia dan orangutan,” kata Jatna.
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI–Acara ”Sarasehan 70+ Peneliti Primata Universitas Nasional” dilaksanakan di Jakarta, Sabtu (26/10/2019). Para peneliti dari tahun 1970-an hingga 2019 berkumpul dan berbagi cerita tentang pengalaman meneliti primata di Indonesia dalam acara ini.
Agar lanskap ilmu pengetahuan berkembang, menurut Jatna, para peneliti primata perlu spesialisasi. Spesialisasi yang dimaksud mencakup, antara lain, gizi, pola makan, kehidupan seksual, hingga daya jelajah orangutan.
Peneliti Indonesia
Sejak memelopori penelitian primata di Unas bersama beberapa peneliti pada 1975, Jatna mengatakan, teknik penelitian menjadi lebih variatif karena perkembangan teknologi. Hal ini dinilai positif karena bisa meningkatkan cakupan dan mutu penelitian.
”Penelitian pada zaman dulu tidak secanggih sekarang karena belum ada gawai. Zaman itu juga belum banyak orang Indonesia yang mau meneliti primata. Lebih banyak peneliti asing, seperti dari Jepang, Amerika Serikat, Italia, dan Perancis. Kondisi itu sudah berbeda sekarang,” kata Jatna.
DOK BKSDA ACEH–Orangutan (pongo abelii) dewasa di Tapaktuan, Kabupaten Aceh Selatan, Provinsi Aceh, dievakuasi untuk dipindahkan ke Stasiun Reintroduksi Orangutan Sumatera Jantho, Aceh Besar.
Kemajuan teknologi dimanfaatkan pula oleh peneliti dan mahasiswa magister Program Studi Biologi Unas, Prima Lady. Ia memanfaatkan spectral camera untuk memetakan lanskap nutrisi pakan orangutan di habitatnya. Penelitian dilakukan di Stasiun Penelitian Tuanan, Kalimantan Tengah, Januari 2019-Juni 2020.
Kamera tersebut diterbangkan dengan drone di ketinggian 250 meter dan menangkap gambar daun dari pohon-pohon yang ada. Spektrum warna daun pada gambar lalu dianalisis dengan perangkat lunak khusus dan dihitung kandungan nutrisinya.
”Dari situ kami bisa petakan nutrisi yang terkandung di setiap pohon untuk pakan orangutan. Nanti hasil analisis akan disambungkan ke satelit sehingga orang lain bisa mengaksesnya melalui mesin pencari,” kata Prima.–SEKAR GANDHAWANGI
Editor HAMZIRWAN HAM
Sumber: Kompas, 26 Oktober 2019