Kenali Potensi dan Ancamannya
Pidato pertama Presiden Indonesia Joko Widodo, Senin (20/10), yang menyebut pentingnya pengembangan kemaritiman patut ditindaklanjuti, termasuk didukung riset terpadu. Sebab, kondisi maritim Nusantara sangat khas. Selain kaya sumber daya, ekosistem laut tropis pun sangat rapuh dan memiliki potensi tsunami.
Peneliti senior pada Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (IPB), Arief Purwanto, saat dihubungi dari Jakarta mengatakan, Indonesia amat membutuhkan kebijakan yang berpihak pada kemaritiman, mengingat sebagian besar wilayahnya laut. Pada konteks geoekonomi, posisi lautan Indonesia yang menghubungkan Samudra Hindia dengan Samudra Pasifik amat strategis. Akan tetapi, hingga kini, Indonesia belum memiliki undang-undang tentang maritim.
Dalam data Konferensi Perdagangan dan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCTAD) 2010 disebutkan, sekitar 45 persen komoditas yang diperdagangkan di dunia—dengan nilai 1.500 triliun dollar AS per tahun—diangkut melalui laut Indonesia. Namun, berdasarkan data Guru Besar Kelautan IPB Rokhmin Dahuri, sejak 1987 hingga kini, Indonesia menghabiskan devisa rata-rata 16 miliar dollar AS per tahun untuk membayar jasa armada kapal asing.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dari sisi potensi sumber daya, kekayaan laut Indonesia juga sangat besar. Namun, menurut data Badan Pemeriksa Keuangan, ekspor perikanan Indonesia tahun 2011 hanya senilai 3,34 miliar dollar AS, jauh lebih kecil dibandingkan dengan Vietnam yang mencapai 25 miliar dollar AS.
Arief mengatakan, pengembangan infrastruktur kelautan harus diimbangi dengan pembenahan sistem sosial, ekologi, dan ekonomi masyarakat. ”Koridornya pembangunan berkelanjutan yang memperhitungkan aspek daya dukung dan daya tampung lingkungan,” katanya.
Menurut dia, ekosistem kelautan dan pesisir tropis punya ciri khas, yaitu kelimpahan sumber daya, tetapi rapuh karena memiliki keterkaitan ekosistem. Kerusakan ekosistem akan berimbas kepada masyarakat sekitar yang sangat bergantung pada stok sumber daya.
Ketua Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia Reza Damanik mengingatkan, pembangunan di sektor kelautan harus untuk kesejahteraan rakyat. ”Membenahi kelautan Nusantara dibutuhkan kesadaran paradigmatik. Ini sudah dimiliki Pak Jokowi dalam tiap pidatonya,” katanya.
Berikutnya dibutuhkan dukungan instrumen negara, khususnya dari legislatif dan yudikatif, untuk mendukung pembiayaan, pengawasan, dan regulasi. Selain itu, juga dibutuhkan kesadaran kolektif rakyat untuk memastikan agenda tersebut dilaksanakan secara berkelanjutan.
Berbasis riset
Peneliti pada Badan Pengkajian Dinamika Pantai Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPDP-BPPT), Widjo Kongko, mengatakan, pengembangan kelautan Nusantara harus didasarkan pada riset. ”Anggaran riset harus ditambah dan lembaganya juga dioptimalkan,” tuturnya.
Namun, yang tak kalah penting, memastikan riset tersebut dijadikan dasar kebijakan pembangunan. Selama ini, kebijakan pembangunan kerap tidak didasarkan pada riset memadai. ”Setiap negara yang maju pasti memiliki teknologi maju dan riset yang kuat,” katanya.
Kepentingan riset kelautan Indonesia, selain untuk mengeksplorasi potensi sumber dayanya, juga dibutuhkan untuk mewaspadai ancamannya. Hal itu karena sebagian besar pesisir di Indonesia berpotensi tinggi dilanda gempa dan tsunami. Sebagaimana diungkapkan sejumlah peneliti, sebagian lautan Nusantara berada pada zona penunjaman lempeng benua yang rentan dilanda gempa hingga magnitudo lebih dari 9 Mw.
Sebagai contoh, beberapa waktu lalu, Widjo menyoal tentang rencana pembangunan bandar udara baru di Yogyakarta di Pantai Glagah, Kulon Progo. Lokasi tapak bandar udara itu dinilai tidak tepat karena berada pada kawasan rentan terdampak tsunami. Melalui riset memadai, pembangunan yang berisiko bencana tinggi seperti itu seharusnya bisa dikurangi. Ini belum berbicara tentang aspek keamanan wilayah laut. (AIK)
Sumber: Kompas, 21 Oktober 2014