Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia yang memiliki dua kebun kelapa kopyor di Cikumpay dan Ciomas, Jawa Barat, sejak 18 tahun lalu menghasilkan paten pengembangbiakan kelapa kopyor. Namun, dari permintaan daging buah kelapa kopyor 2.000 kilogram per bulan untuk industri es krim, lembaga ini baru mampu memenuhi 5 persen atau 100 kilogram saja.
Semula, kelapa kopyor (Cocos nucifera kultivar kopyor) diproduksi secara eksklusif sehingga sedikit yang dihasilkan. Namun, sekarang ada tuntutan industri untuk terus mengembangkan produksi komoditas langka ini,” kata Kepala Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia (BPBPI) Priyono di ruang kerjanya, Kamis (2/1), di Bogor.
BPBPI di bawah PT Riset Perkebunan Nusantara (RPN). Direktur Riset dan Pengembangan PT RPN Gede Wibawa menyatakan, komersialisasi hasil riset sedang digalakkan. Pengembangbiakan kelapa kopyor merupakan salah satu yang diandalkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kelapa kopyor memiliki daging buah lunak yang lebih nikmat dikonsumsi. Daging buah itu terlepas dari tempurungnya. Ini yang membuat embrio kelapa kopyor tidak bisa hidup selayaknya buah kelapa biasanya.
”Ada saja masyarakat yang menawarkan bibit kelapa kopyor. Namun, bibit itu diperoleh dari jenis kelapa biasa yang dihasilkan oleh pohon yang juga menghasilkan beberapa di antaranya kelapa kopyor,” kata Kepala Biro Riset PT RPN Sumaryono.
Daging buah kelapa kopyor sekarang makin diminati industri makanan, di antaranya industri es krim. Namun, produksinya masih sangat terbatas karena tidak mudah untuk mencari bibit kelapa kopyor.
BPBPI sejak 18 tahun lalu memiliki hak paten memproduksi bibit kelapa kopyor dengan teknologi kultur jaringan. Saat ini, lembaga riset tersebut memiliki kebun produktif dengan 400 pohon kelapa kopyor di Cikumpay, Purwakarta, dan Ciomas, Bogor.
”Selama tahun 2013 ditanam lagi 800 pohon kelapa kopyor di Ciomas. Tahun 2014 sudah dipersiapkan 5.000 bibit pohon kelapa kopyor siap tanam di Ciomas dan Cibodas,” kata Priyono.
Alami
Kelapa kopyor dapat diperoleh secara alami dari gen yang resesif atau tidak dominan. Probabilitasnya sangat minim. Dari satu tandan kemungkinan hanya bisa didapat satu sampai dua kelapa kopyor.
Buah kelapa lain pada tandan yang sama dengan beberapa kelapa kopyor itu sering dibudidayakan. Kemudian ini ditawarkan sebagai bibit kelapa kopyor.
Menurut Priyono, kemungkinan bibit tersebut menghasilkan buah daging kelapa kopyor hanya 25 persen.
BPBPI mengembangkan teknologi kultur jaringan untuk pengembangbiakan kelapa kopyor. Hasilnya diperoleh bibit yang lebih dari 97 persen menghasilkan daging buah kelapa kopyor.
Cara pengembangbiakan kelapa kopyor meliputi pengambilan embrio. Embrio diambil dari buah kelapa kopyor yang baru saja dipetik (sebelum empat hari). Kemudian embrio ditumbuhkan pada medium di laboratorium (in vitro). Fase pertumbuhannya meliputi pupus kecil selama tiga bulan pertama.
Tiga bulan berikutnya menjadi pupus besar. Kemudian tiga bulan berikutnya tumbuh akar. Pada usia sembilan bulan ini dimulai proses aklimatisasi atau penyesuaian dengan lingkungan tumbuh bibit.
Aklimatisasi dilakukan selama enam bulan, meliputi satu bulan planlet, dua bulan prenursery, dan tiga bulan pada main nursery (ruang utama pembibitan).
Kelapa kopyor yang dihasilkan BPBPI ada dua jenis, yakni kelapa kopyor dengan pembuahan eksternal dan jenis pembuahan sendiri (genjah).
BPBPI menggunakan satu butir kelapa kopyor untuk menghasilkan satu individu benih. Ini yang membuat proses produksi bibit kelapa kopyor lambat.
Menurut Priyono, kapasitas produksi BPBPI mencapai 15.000-22.000 bibit kelapa kopyor per tahun. Saat ini satu bibit kelapa kopyor harganya Rp 450.000. Adapun harga sebutir kelapa kopyor mencapai empat sampai lima kali lipat harga kelapa biasa.
Daging buah kelapa kopyor, yakni endosperma yang terlepas dari batoknya, bertekstur remah (lembut terpecah-pecah). Ini terjadi karena jenis kelapa ini tidak memiliki gen ?galaktosidase yang bertanggung jawab membentuk endosperma mengeras dan menempel pada batok kelapa.
Kebutuhan akan komoditas ini diharapkan akan terpenuhi dengan upaya pengembangbiakan lewat kultur jaringan.
Oleh: Nawa Tunggal
Sumber: Kompas, 10 Januari 2014