Meski sudah dikenalkan sejak 1980-an, kesalahpahaman tentang pangan iradiasi masih kuat. Akibatnya, masyarakat masih khawatir mengonsumsinya dan produsen pun enggan mencantumkan logo pangan iradiasi. Padahal, pangan iradiasi bisa mendongkrak ekonomi sekaligus gizi masyarakat.
“Produsen pangan yang mengiradiasi produknya umumnya berasal dari kelompok usaha mikro, kecil, dan menengah,” kata Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) Djarot Sulistio Wisnubroto, Jumat (17/11), di Jakarta. Akibatnya, volume produk pangan yang diradiasi di Batan pun tak terlalu besar, berkisar 50-70 ton pada 2012-2015 dengan kecenderungan turun.
Pangan iradiasi adalah produk pangan yang diradiasi, umumnya menggunakan sinar gamma atau berkas elektron, untuk mencegah kerusakan, pembusukan, dan membebaskan makanan dari jasad renik patogen. Produk pangan yang paling banyak diradiasi di Batan adalah mangga dan manggis.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Banyak masyarakat menganggap pangan iradiasi terpapar oleh zat radioaktif. Padahal, itu tidak benar karena zat radioaktif hanya digunakan untuk menghasilkan sinar gamma. Sinar gamma itulah yang digunakan untuk menyinari produk pangan dan membunuh patogen yang ada. Tidak ada residu zat radioaktif yang tertinggal di makanan dan kualitas gizi makanannya pun relatif tetap.
Kompleksnya tantangan memasarkan pangan iradiasi di dalam negeri membuat banyak produsen pangan iradiasi justru memfokuskan pemasaran produknya ke luar negeri. Kalaupun dipasarkan di dalam negeri, mereka umumnya enggan mencantumkan logo Radura yang menunjukkan pangan iradiasi.
Peraturan menteri kesehatan sebenarnya sudah mewajibkan pencantuman logo Radura. Aturan ini juga berlaku bagi pangan iradiasi impor, seperti sejumlah apel. Namun, nyaris tidak ditemukan pangan dengan logo Radura di Indonesia meski nyatanya pangan-pangan itu diiradiasi.
Keengganan pencantuman logo Radura itu tetap terjadi meski seluruh proses dan dosis iradiasinya dilakukan sesuai dengan aturan menteri kesehatan dan standar di setiap negara. “Batan merasa sendiri mempromosikan pangan iradiasi,” kata Djarot.
Tahan lama
Kekhawatiran konsumen pangan iradiasi juga dialami NJ Sembiring, pemimpin UD Gerak Tani, yang mengiradiasikan sejumlah produk bumbunya di Batan, khususnya cabai merah kriting giling. Produk itu umumnya dijual ke perusahaan katering, hotel, atau ke pasar langsung. “Setelah diberi tahu, umumnya konsumen memahami pangan iradiasi aman,” katanya.
Cabai giling jadi pilihan diiradiasi karena fluktuasi harganya yang sangat besar. Saat panen raya, harga cabai hanya Rp 3.000-Rp 5.000 per kilogram (kg). Namun, saat langka, harganya bisa Rp 100.000 per kg. Dengan diiradiasi, cabai giling bisa tahan hingga 1 tahun.
Proses iradiasi membuat Sembiring tak khawatir lagi dengan fluktuasi harga cabai. Bahkan, ia mampu membeli cabai petani dengan harga lebih tinggi saat harga anjlok dan bisa menjualnya dengan harga jauh lebih murah saat langka. Meski demikian, dia mengaku masih bisa mendapat keuntungan hingga 100 persen.
Daya tahannya yang lama membuat pangan iradiasi juga bisa dimanfaatkan untuk membantu korban bencana alam. Batan pernah mengirim rendang dan pepes yang telah diiradiasi untuk korban gempa Nepal tahun 2015. Rendang iradiasi mampu bertahan 18 bulan. Kualitas rasa dan gizi produk itu dinilai lebih baik ketimbang mi instan.
Besarnya manfaat pangan iradiasi itu membuat edukasi dan sosialisasi pangan iradiasi perlu digencarkan. Selain bisa memeratakan kualitas gizi masyarakat, upaya ini juga bisa meningkatkan ekonomi masyarakat. Selain itu, optimalisasi iradiator yang sudah ada ataupun yang akan dibangun di sejumlah daerah bisa dilakukan.
Saat ini, lanjut Djarot, sejumlah daerah sudah menyatakan keinginannya untuk membangun iradiator guna mendukung pembangunan pangan di daerahnya. Iradiator itu diharapkan bisa dibangun di dekat pelabuhan hingga mendukung program Tol Laut pemerintah.
“Dengan wilayah yang berpulau-pulau, Indonesia butuh banyak iradiator,” katanya. Saat ini, dengan dikuasainya teknologi perancangan dan pengoperasiannya iradiator oleh ahli dan perekayasa Indonesia, biaya pembangunan iradiator berkisar Rp 90 miliar-Rp 100 miliar. (MZW)
Sumber: Kompas, 18 November 2017