Bahaya terbesar sampah antariksa, termasuk stasiun luar angkasa Tiangong-1, bukan pada manusia. Namun, ancaman bahaya terbesar sampah antariksa itu ada pada satelit aktif yang ada di orbit rendah Bumi.
Sesuai prediksi sebelumnya, stasiun luar angkasa China Tiangong-1 jatuh ke Bumi pada Senin (2/4/2018) pukul 07.16 WIB di selatan Samudera Pasifik. Jatuhnya Tiangong-1 jadi pengingat pentingnya mengendalikan sampah antariksa yang tak hanya membahayakan manusia, tapi juga satelit aktif yang membantu manusia.
“Semua obyek di orbit rendah Bumi dengan ketinggian kurang dari 1.000 kilometer (km) pasti akan jatuh ke Bumi karena adanya hambatan (drag) atmosfer,” kata Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Thomas Djamaluddin di Jakarta, Senin (2/4/2018).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hambatan atmosfer Bumi membuat semua benda yang mengorbit Bumi akan bergerak makin lambat. Pelambatan itu membuat ketinggian benda tersebut terus turun, makin rendah, hingga akhirnya jatuh ke Bumi. Makin tinggi obyek, makin lama kemampuannya bertahan di orbit Bumi.
Sebagai perbandingan, benda di ketinggian 600 km-1.000 km mampu bertahan 100 tahun di luar angksa. Sedangkan benda di ketinggian 300 km hanya mampu bertahan beberapa tahun saja sebelum akhirnya jatuh.
Sebagai contoh, Tiangong-1 yang mengorbit di ketinggian 349 km dan dinyatakan hilang kendali pada 2016, hanya memerlukan waktu dua tahun bagi stasiun ruang angkasa pertama China itu hingga akhirnya jatuh ke Bumi.
Obyek luar angkasa atau sampah antariksa dinyatakan jatuh jika ketinggiannya turun hingga 120 km dari Bumi. Tiangong-1 mencapai posisi itu pada Senin pukul 07.15 WIB, hanya selisih semenit dari perhitungan US Strategic Command, Kementerian Pertahanan Amerika Serikat pada Sabtu (31/3/2018) dan Lapan pada Minggu (1/4/2018).
Meski demikian, prediksi kedua lembaga itu berubah jelang waktu kejatuhan Tiangong akibat perubahan sejumlah parameter orbit wahana tersebut. Namun justru prediksi yang lebih lama yang mendekati waktu sebenarnya jatuhnya Tiangong.
SAPCE.COM/AEROSPACE CORPORATION–Ilustrasi artis tentang proses hancur dan terbakarnya Tiangong-1 saat memasuki atmosfer Bumi yang lebih rapat.
Potensi bahaya
Sejak awal, jatuhnya sampah antariksa termasuk Tiangong-1 diprediksi sangat kecil membahayakan manusia. “Wilayah Bumi yang tidak berpenghuni jauh lebih luas dari yang berpenghuni,” tambah Thomas.
Tiangong-1 yang berbobot 8,5 ton dipastikan tidak akan habis terbakar di atmosfer. Astrofisikawan Universitas Harvard AS Jonathan McDowell yang dikutip space.com, Sabtu (31/3/2018) memperkirakan ada 100-200 kilogram bagian Tiangong yang tersisa dan berpotensi menghantam permukaan Bumi.
Meski demikian, Badan Antariksa Eropa (ESA) seperti dikutip dari telegraph.co.uk, Senin, menyebut potensi serpihan Tiangong mengenai manusia adalah 10 juta kali lebih kecil risiko tersambar petir dalam setahun.
Hingga kini baru tercatat satu orang di Oklahoma AS yang pernah kejatuhan puing roket Delta II pada 1997 dan tidak menderita luka apapun. Sedangkan pada 2017, seorang warga Kazakhstan tewas akibat kebakaran hutan yang dipicu oleh jatuhan puing roket Rusia, bukan tertimpa langsung puing roketnya.
Kecilnya potensi jatuhan sampah antariksa terhadap manusia itu berbanding terbalik dengan potensi bahaya sampah antariksa, termasuk Tiangong-1 yang sudah tidak berfungsi dan tidak bisa dikendalikan, terhadap satelit dan wahana antariksa lain yang mengorbit Bumi. “Sampah antariksa itu bisa menabrak dan merusak satelit aktif,” kata Thomas.
Tabrakan antara sampah antariksa dengan satelit aktif itu sudah beberapa kali terjadi. Tabrakan itu, akhirnya justru akan menambah jumlah puing sampah antariksa karena satu kali tabrakan bisa menghasilkan ribuan puing baru.
Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional (NASA) AS mencatat sebuah satelit Perancis hancur pada 1996 akibat terkena puing ledakan roket Perancis satu dekade sebelumnya. Selain itu, satelit mati Rusia pernah menabrak satelit aktif AS hingga menghasilkan lebih dari 2.000 puing baru pada 10 Februari 2009.
EARTHOBSERVATORY.NASA.GOV–Ilustrasi tentang distribusi serpihan sampah antariksa di orbit rendah Bumi
Saat ini, diprediksi ada lebih dari 500.000 puing sampah antariksa dengan total bobot lebih dari 7.500 ton yang mengorbit Bumi. Mereka bergerak dengan kecepatan 28.000 km per jam. Dengan kecepatan sebesar itu, bekas cat yang terkelupas bisa merobek panel surya yang ada di satelit. Kondisi itu membuat salah satu kode etik pembuatan satelit adalah tidak boleh dicat.
Jika pemantauan sampah antariksa yang jatuh ke Bumi sudah banyak dilakukan, upaya penanganan sampah antariksa justru masih sulit dilakukan. Obyek di orbit rendah Bumi memang diharapkan akan masuk kembali ke Bumi dan terbakar di atmosfer.
Sejumlah teori memang memungkinkan sampah antariksa itu untuk di dorong atau diseret menggunakan roket yang diluncurkan dari Bumi hingga sampah itu berada di ketinggian lebih tinggi dari 36.000 km atau jauh di atas orbit geostasioner Bumi (GEO). Namun, konsep ini butuh biaya mahal.
Sampah antariksa yang ada di orbit GEO lebih sulit penanganannya. Selain lokasi GEO lebih terbatas, sampah antariksa disana bisa bertahan dalam waktu lama.
Kondisi itu membuat sejumlah ahli sedang berusaha merancang sejumlah teknologi untuk mengatasi sampah antariksa. Salah satunya, program RemoveDebris yang dilakukan Inggris untuk menjaring sampah antariksa. Sistem ini akan diujicoba di Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) pada Mei mendatang.–M ZAID WAHYUDI
Sumber: Kompas, 3 April 2018