Produktivitas ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia masih rendah. Hal itu ditunjukkan minimnya hasil penelitian yang masuk jurnal internasional bergengsi dan minimnya karya inovasi yang diterapkan di industri. Masalah itu akan diatasi dengan menerapkan kebijakan baru insentif riset bagi para peneliti.
Demikian Muhamad Dimyati, Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi di Jakarta, Minggu (3/1).
Rendahnya kuantitas jurnal dan produk inovasi, kata Dimyati, terkait sedikitnya tenaga kerja di Indonesia yang menjadi peneliti. Hanya ada satu (1,57) peneliti per 10.000 populasi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Selain itu, faktor penghambat lain adalah sarana prasarana dan anggaran penelitian yang sangat rendah. “Anggaran riset hanya 0,09 persen pendapatan domestik bruto, sekitar 74 persen dari pemerintah. Bandingkan dengan Singapura dan Malaysia yang masing-masing mengalokasikan anggaran untuk riset masing-masing 2,1 persen dan 1 persen PDB. “Sebagian besar atau 80 persen dari swasta,” katanya.
Hal itu berdampak pada rendahnya keluaran yang mereka hasilkan, seperti publikasi ilmiah dan karya inovasi. Data Scopus pada Agustus 2015, jumlah publikasi internasional dari perguruan tinggi di Indonesia terbanyak dihasilkan Institut Teknologi Bandung, yaitu 4.668 publikasi. Namun, itu hanya seperempat dari Universitas Kebangsaan Malaysia sebanyak 21.336 publikasi.
Untuk memacu produktivitas para peneliti, Kemristek dan Dikti akan memberi insentif hingga Rp 100 juta bagi yang memiliki faktor dampak lebih besar dari 5 dan sitasi dari karya ilmiahnya lebih dari 3.
Selain itu, Maret 2016 akan direvisi Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010. Revisi itu untuk menyederhanakan administrasi riset. “Telah didiskusikan Bappenas,” ujar Dimyati.
Ditjen Sumber Daya Kemristek dan Dikti juga mewacanakan agar lektor kepala bisa menjadi profesor apabila publikasi yang dimuat di jurnal minimal satu.
Semua itu akan tertuang dalam Rencana Induk Riset Nasional (RIRN) yang tengah disusun. RIRN akan lebih fokus dan jelas aktor dan indikatornya dibandingkan RPJMN. Karena anggaran riset terbatas, program riset harus fokus pada program unggulan yang ditetapkan.
Rendahnya jumlah peneliti di Indonesia, menurut Sekretaris Jenderal Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia Budhi M Suyitno, karena belum terbentuknya budaya iptek di masyarakat. “Membangun pola pikir dan budaya iptek harus dimulai sejak dini,” katanya. Dalam hal ini, guru, bahkan di tingkat SD, perlu diberdayakan untuk membangun budaya iptek.
Untuk itu, perlu metode pedagogi yang baik sehingga anak didik kelak akan memilih bidang iptek. Penguasaan dan pemanfaatan iptek penting karena dapat memajukan bangsa seperti di negara maju. (YUN)
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 Januari 2016, di halaman 14 dengan judul “Kebijakan Baru Insentif Riset Dikeluarkan”.