Baru saja kering air mata korban gempa beruntun di Lombok, pada Jumat (28/9/2018) sore giliran Kota Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah dilanda gempa disusul tsunami. Gempa kali ini jelas bukan terakhir yang bisa melanda negeri dilingkari “cincin api”. Hanya soal waktu kota-kota lain mendapat giliran sehingga kesiapsiagaan bencana tak bisa ditawar-tawar lagi.Gempa berkekuatan M 7,7 yang kemudian dikoreksi Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menjadi M 7,4 itu mengguncang Kota Donggala dan Palu, Sulawesi Tengah pada pukul 18.02.44 WITA. Pusat gempa berada di kedalaman 11 kilmeter (km) dan berjarak 26 utara Kota Donggala.
?Mengacu pada kronologi BMKG, lima menit setelah gempa, mereka telah mengeluarkan peringatan dini tsunami (PDT) dengan perkiraan level tertinggi (0.5 – 3 meter) di Palu dan estimasi waktu tiba jam 18.22 WITA. Sedangkan di Mamuju yang berjarak 237 km dari pusat gempa, ketinggian tsunami diperkirakan kurang dari 0,5 m.
ANTARA/BNPB–Sejumlah kerusakan akibat gempa dan tsunami di Palu, Sulawesi Tengah , Sabtu (29/9/2018).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
?Pengamatan tide gauge, alat pemantau perubahanmuka air, di Mamuju mengonfirmasi adanya tsunami setinggi 6 cm pada pukul 18.27 WITA. Pada pukul 18.36 WITA atau 34 menit setelah gempa, BMKG mengakhiri PDT, tanpa mengetahui bahwa tsunami telah menghancurkan pesisir Kota Palu.
?Ahli tsunami Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Abdul Muhari mengatakan, pengakhiran PDT ini problematis. Jarak tide gauge di Mamuju yang jadi acuan terlalu jauh, sedangkan tide gauge yang dioperasikan Badan Informasi Geospasial (BIG) di Kota Palu dalam kondisi mati.
?Apalagi, karakter Teluk Palu berpotensi mengamplifikasi ketinggian tsunami. “Berdasarkan penelitian kami sebelumnya, saat tsunami kiriman Jepang tahun 2011, tinggi tsunami di mulut Teluk Jayapura hanya 60 cm, namun landaan tsunami di pesisir di dalam teluk menjadi 3,8 meter,” kata Muhari.
ANTARA/BNPB–Sejumlah kerusakan akibat gempa dan tsunami di Palu, Sulawesi Tengah , Sabtu (29/9).
?Selain itu, menurut Muhari, gempa dengan mekanisme sesar geser dengan kekuatan sebesar itu sangat mungkin memicu longsoran bawah laut yang bisa memicu tsunami cukup besar.?Hingga saat ini, BMKG belum bisa memastikan tinggi tsunami di Palu karena tim survei baru diberangkatkan.
?Problem PDT ini mengingatkan kejadian gempa bumi disusul tsunami di Mentawai pada 2010. Saat itu, peringatan dini tsunami juga diakhiri tanpa diketahui bahwa tsunami telah menghacurkan pesisir Mentawai.Tsunami di Mentawai baru diketahui sehari setelahnya.
?Harus diakui, masih banyak lubang dari sistem peringatan dini tsunami kita. Selain polemik pengakhiran peringatan dini tsunami ini, menurut laporan BMKG, sirine tsunami di Kota Palu juga tidak menyala. Sedangkan tide gauge yang biasanya dibangun dipelabuhan, bukan alat efektif untuk mitigasi karena dia hanya bisa melaporkan setelah tsunami tiba di daratan. Alat ini awalnya untuk navigasi.?
?Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi sebenarnya pernah membangun sejumlah buoytsunami di perairan, namun sensor yang mengapung di laut ini sudah lama tak berfungsi, baik karena hilang atau rusak. Praktis, peringatan dini tsunami BMKG lebih didasarkan pada pemodelan.
?Demikian halnya, penanganan tanggap darurat juga kehilangan golden time untuk menolong korban yang membutuhkan bantuan segera. Listrik yang padam dan telekomunikasi yang lumpuh, membuat tindakan segera tak bisa dilakukan karena petaka itu kebetulan terjadi menjelang malam. Dari aspek mitigasi, bisa dipastikan bahwa masih sangat banyak struktur bangunan ataupun infrastruktur yang dibangun dengan tidak memenuhi kaidah sehingga hancur saat gempa.
?Padahal, Palu dan Donggala telah lama diketahui sangat rentan gempa dan tsunami. Ahli tsunami Gegar Prasetya dalam papernya, The Makassar Strait Tsunamigenic Region, Indonesia yang diterbitkan di jurnal Natural Hazard (2001) menyebutkan, sebanyak 14 tsunami terjadi di kawasan ini dari tahun 1820 hingga 1882.
YOLA SASTRA UNTUK KOMPAS–Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Rahmat Triyono menjelaskan gempa susulan yang terjadi di sekitar zona sesar Palu-Koro, Sabtu (29/9/2018).
?Sedangkan sejak 1927 hingga tahun 2001, telah terjadi enam kali tsunami di kawasan ini. Ditambah dengan kejadian kali ini, berarti total kejadian tsunami di kawasan ini sudah 19 kali dari 1820 hingga 2018. Jumlah ini merupakan yang terbanyak di Indonesia. “Seluruh tsunami di kawasan ini bersumber dari aktivitas gempa di patahan Palu-Koro, zona subduksi di utara Sulawesi, dan jalur sesar di Asternoster,” sebut Gegar yang juga Ketua Ikatan Ahli Tsunami Indonesia ini.
?Sejak 1990-an, patahan Palu-Koro telah memicu tiga tsunami, yaitu pada 1 Desember 1927 di Teluk Palu, 14 Agustus 1968 di Teluk Palu, dan 1 Januari 1996 di Simuntu-Pangalaseang. Semua sumber gempa yang memicu tsunami ini berada di dekat pantai barat Sulawesi Tengah. Tiga tsunami lainnya dipicu gempa yang terjadi di patahan Pasternoster, yaitu 11 April 1967 yang melanda Tinambung, 23 Februari 1969 melanda Majene, dan 8 Januari 1984 melanda Mamuju.
?“Tsunami di zona ini merupakan yang paling sering terjadi di Indonesia yang tercatat. Rata-rata 25 tahun sekali terjadi tsunami. Ini karena pergerakan geologi Pulau Sulawersi memang sangat aktif,” kata Gegar.
AGUIDO ADRI UNTUK KOMPAS–Wiranto saat jumpa pers memberikan informasi tentang rencana aksi bencana alam di Palu dan Donggala, Sabtu (29/9/2019), di Jakarta.
Sulawesi yang berada tepat di jantung Nusantara, terbentuk dari tumbukan tiga lempeng dunia, yaituEurasia, Indo-Australia, dan Pasifik. Jejak tumbukan ini menorehkan jalur-jalur patahan di sekujur pulau dan sebagian menerus hingga lautan.
Menurut peneliti gempa vumi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Mudrik Mudrik Rahmawan Daryono, jalur patahan Palu-Koro yang membelah Pulau Sulawesi dari Teluk Palu ke Teluk Bone ini memiliki pergerakan sangat cepat, yaitu 41-45 milimeter per tahun (Socquet dkk, 2006). Kecepatan gerak patahan ini empat kali lebih cepat dibandingkan sesar Sumatera sebesar 10 mm per tahun, apalagi jika dibandingkan pergeseran sesar di Jawa yang hanya 3 mm per tahun.
Dengan dukungan data-data dari para akademisi dan reportase lapangan, Kompas telah berulangkali menuliskan tentang kerentanan di Kota Palu dan sekitarnya. Ekspedisi Cincin Api Kompas tahun 2011-2012 juga mengulas khusus mengenai jejak gempa dan tsunami di pesisir Kota Palu. Tahun itu juga, Litbang Kompas telah membuat survei sosial tentang perepsi dan pengetahuan masyarakat terkait ancaman gempa dan tsunami. Hasilnya, sebagian besar masyarakat di Kota Palu tidak mengetahui ancaman bencana dan tidak bersiap untuk itu.
Tanggal 31 Mei 2017, Kompas juga menulis artikel dengan judul Waspadai Gempa Besar di Sulawesi dengan penekanan ancaman dari sesar Palu-Koro. Namun, hingga gempa bumi diikuti tsunami melanda pada Jumat lalu, upaya mitigasi dan kesiapsiagaan begitu minim dilakukan.
?Sejak gempa dan tsunami Aceh tahun 2004, sudah lebih dari 200.000 jiwa meninggal karena gempa bumi dan tsunami. “Butuh berapa nyawa lagi untuk menyadarkan kita bahwa negara ini sangat rentan gempa dan tsunami? Kita butuh perubahan radikal untuk membangun kesiapsiagaan, baik dari aspek fisik maupun sosial,” ujar Gegar.
?Dari data-data yang ada, jejak gempa dan tsunami terekam sejak dari Aceh hingga Papua. Sampai saat ini, gempa dan tsunami tak bisa diprediksi kapan dan dimana akan terjadinya, namun hanya soal waktu bencana geologi ini akan kembali terjadi, bisa di mana saja di negeri ini..–AHMAD ARIF
Sumber: Kompas, 30 September 2018