Jurus Ampuh Atasi Perubahan Iklim

- Editor

Senin, 11 November 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Perubahan iklim telah menjadi hantu cukup menakutkan dunia. Sejumlah media massa mengabarkan adanya bencana yang mengikuti fenomena tersebut. Peningkatan suhu bumi menciptakan gelombang panas di sejumlah wilayah, yang merenggut korban jiwa.

The Guardian menulis bahwa di Perancis, misalnya, sedikitnya 1.500 orang meninggal pada Agustus 2019 akibat tak tahan dengan serangan gelombang panas yang mencapai 46 derajat celsius. Serangan ini rupanya bukan yang pertama. Gelombang panas di Perancis juga pernah terjadi pada 2003, dan menelan korban jiwa 10 kali lebih banyak dibandingkan 2019.

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA–Kemarau panjang menyebabkan lahan persawahan mengering di sebagian wilayah Kecamatan Sadang, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, Kamis (31/10/2019).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Hal sama terjadi di Jepang. Gelombang panas 41 derajat celsius yang melanda Kumagaya, tak jauh dari Tokyo, pada Juli 2018, menewaskan 40 orang, dan 3.544 orang dibawa ke rumah sakit. Angka ini melampaui jumlah orang yang dibawa ke rumah sakit akibat serangan gelombang panas tahun sebelumnya (3.454 orang).

Sementara bagian timur Jepang dilanda gelombang panas, wilayah barat Jepang mengalami bencana banjir akibat curah hujan yang tinggi. BBC memberitakan bahwa awal Juli 2018, di 13 prefektur, di antaranya Hiroshima dan Okayama, dilanda banjir dan longsor. Korban tewas mencapai 222 orang dan sekitar 8 juta orang mengungsi.

Tren cuaca ekstrem di Indonesia ditandai bertambahnya frekuensi dan skala bencana hidrometeorologi. Data Badan Meteorologi, Klimatologi, Geofisika (BMKG) pada Januari hingga pertengahan Februari 2019 menyebutkan bahwa bencana hidrometeorologi di Indonesia telah menewaskan 105 orang (Kompas, 12/2/2019).

Di samping bencana, perubahan iklim juga berpotensi memunculkan krisis pangan. Para petani di Kabupaten Demak dan Grobogan, misalnya, belum dapat menanami sawah-sawah mereka karena tidak ada air hingga akhir Oktober (Kompas, 25/10/2019). Dalam kondisi normal, sawah irigasi mulai ditanami September, sedangkan sawah tadah hujan bisa ditanami antara Oktober dan November. Tahun ini diperkirakan keduanya ditanami bersamaan.

Ancaman krisis pangan diperkuat Laporan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO). Laporan itu menyebutkan bahwa tahun 2017 jumlah orang yang kekurangan gizi sudah mencapai 821 juta jiwa, sebagian karena kekeringan parah akibat El Nino yang kuat pada 2015-2016 (Kompas, 2/4/2019).

Perubahan iklim
Kondisi bumi dan iklim yang berubah telah mulai dideteksi pada abad ke-19. Laman Global Climate Change, NASA, menuliskan, pada periode 1860-an fisikawan Irlandia, John Tyndall, mengidentifikasi efek rumah kaca terhadap planet Bumi. Menurut Tyndall, adanya perubahan pada komposisi gas di atmosfer akan mengakibatkan perubahan iklim Bumi.

Tahun 1896 temuan Tyndall diperkuat penelitian ilmuwan kimia Swedia, Svante August Arrhenius. Dengan menggunakan prinsip dasar kimia fisik, Arrhenius memperkirakan bahwa perubahan level karbon dioksida (CO2) di atmosfer dapat mengubah iklim Bumi melalui efek rumah kaca. Arrhenius juga menyampaikan deteksi awal tentang kaitan level CO2 di atmosfer dengan peningkatan suhu Bumi.

Efek rumah kaca sendiri merupakan proses pemanasan permukaan Bumi akibat komposisi dan keadaan atmosfer. Proses efek rumah kaca terjadi ketika panas matahari terperangkap di atmosfer Bumi. Gas-gas di dalam atmosfer, seperti CO2, dapat menahan panas matahari.

Dalam kondisi normal, seharusnya panas Matahari yang masuk ke atmosfer dipantulkan kembali ke luar angkasa sehingga secara alamiah suhu Bumi tetap hangat saat malam hari. Namun, proses efek rumah kaca mengakibatkan panas matahari tidak memantul kembali ke luar angkasa, melainkan terperangkap di atmosfer. Hal inilah yang menyebabkan suhu Bumi meningkat.

Terminologi climate change dan global warming sendiri baru populer pada pertengahan 1970-an. Saat itu, menurut laman The New York Times, Wallace S Broecker, geolog dari Universitas Columbia, AS, menyusun makalah berjudul ”Climate Change: Are We on the Brink of a Pronounced Global Warming?”.

Dalam makalah yang diterbitkan pada 1975 itu, Broecker mengumandangkan peringatan awal akan datangnya krisis di Bumi jika manusia terus-menerus memuntahkan CO2 ke atmosfer. Menurut dia, akumulasi karbon dioksida akan meningkatkan temperatur Bumi dan terjadinya kejutan-kejutan tak menyenangkan sebagai akibat perubahan iklim.

Prediksi Broecker tampaknya menjadi kenyataan. Tak perlu menunggu satu abad kemudian, penanda perubahan iklim Bumi dan pemanasan global telah terjadi. NASA mencatat beberapa perubahan. Pertama, rata-rata temperatur permukaan Bumi meningkat 0,9 derajat celsius sejak akhir abad ke-19, perubahan yang mayoritas didorong emisi CO2 dan gas lainnya ke atmosfer oleh manusia.

Perubahan kedua, lapisan, batuan, dan lautan es yang mencair dan berkurang secara masif. Data NASA menunjukkan, Greenland kehilangan lapisan es rata-rata 286 miliar ton per tahun dan es di Antartika (Kutub Selatan) berkurang 127 miliar ton, antara 1993 dan 2016. Perubahan ketiga, permukaan air laut naik sekitar 20,3 sentimeter selama seabad terakhir. Dalam dua dekade belakangan bahkan kenaikannya dua kali lipat ketimbang seabad terakhir, dan terus bertambah setiap tahun.

Adapun perubahan keempat, terjadinya cuaca ekstrem. Rilis Badan Meteorologi Dunia (WMO) pada Februari 2019 menyebutkan, empat tahun terakhir, yakni 2015 hingga 2018, merupakan tahun terpanas yang pernah tercatat. Menurut WMO, rekor suhu panas tertinggi terjadi di dua negara, yaitu Kuwait di kota Mitribah, dengan suhu 53,9 derajat celsius, dan Pakistan (kota Turbat), bersuhu 53,7 derajat celsius.

Langkah strategis
Apa yang perlu dilakukan masyarakat dan para pemimpin dunia untuk mengatasi persoalan ini? Akar persoalan pemanasan global adalah meningkatnya emisi CO2 di atmosfer. Global Carbon Project menyebutkan peningkatan emisi global selama delapan tahun terakhir. Tahun 2010 emisi CO2 global dari pembakaran bahan bakar fosil ada di angka 33,1 gigaton. Empat tahun kemudian melonjak menjadi 35,6 gigaton. Peningkatan kembali terjadi tahun lalu dan mencapai 37,1 gigaton.

Peningkatan CO2 dipicu terutama oleh ulah manusia sehari-hari yang menghabiskan sumber daya alam dari fosil untuk menjalankan kendaraan pribadi mereka, menggerakkan mesin-mesin industri, serta menggunakan berbagai peralatan elektronik. Selain itu, manusia menebang secara masif hutan-hutan alam, bahkan tanpa menanaminya kembali.

Laporan Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change/IPCC) tahun 2019 secara tegas menyebutkan pentingnya mengambil tindakan perlindungan hutan dan reforestasi sebagai kunci menghentikan kenaikan suhu Bumi dan perubahan iklim.

Masyarakat adat
Kondisi saat ini menjadi sinyal kuat untuk mengalihkan pandangan kepada cara hidup masyarakat adat yang dengan kearifan lokal mereka selalu menjaga hutan. Riset yang dilakukan Woods Hole Research Center yang dipublikasikan menjelang Konferensi Iklim PBB 2015 di Paris memperlihatkan bahwa hutan-hutan adat di Lembah Amazon, Mesoamerika, Republik Demokratik Kongo, dan Indonesia menyimpan 20 persen karbon dari hutan tropis dunia.

Karbon yang tersimpan di dalam hutan-hutan adat tersebut setara dengan 168,2 gigaton CO2, tiga kali lipat gas rumah kaca pemicu perubahan iklim global tahun 2014, yaitu 52,7 gigaton. Dari jumlah itu, Indonesia sendiri diprediksi bisa menyimpan setara sekitar 32,7 gigaton CO2.

Selama ini, masyarakat adat telah memberi kontribusi dengan menjaga hutan adatnya meskipun kehidupannya justru dimarjinalkan. Marjinalisasi terutama ketika hutan adat yang telah dijaga turun-temurun selama puluhan, bahkan ratusan tahun, diklaim sebagai hutan negara. Akibatnya, masyarakat adat tak dapat memanfaatkan isi hutan, sekaligus kehilangan kedaulatan untuk menjaganya.

Langkah paling efektif menurunkan emisi gas rumah kaca adalah dengan memberi pengakuan dan perlindungan hak- hak masyarakat adat atas hutan adat mereka. Sejak 2016 hingga April 2019, pemerintah telah menetapkan 49 hutan adat dengan luas 22.193 hektar yang bisa dikelola masyarakat adat sendiri tanpa menghilangkan fungsinya sebagai hutan lindung.

Di samping itu, April 2019 pemerintah juga mengeluarkan Peta Hutan Adat dan Wilayah Indikatif Hutan Adat Fase I. Peta hutan adat seluas 472.981 hektar terdiri dari 384.896 hektar hutan negara dan 68.935 hektar areal penggunaan lain serta penetapan SK hutan adat seluas 19.150 hektar. Berdasarkan data KLHK, jumlah tersebut masih jauh dari usulan hutan adat dari berbagai pihak yang mencapai 9,3 juta hektar.

Masyarakat adat telah memberi contoh bagaimana menjaga hutan yang sangat penting bagi pengurangan gas rumah kaca dan menjaga suhu Bumi tidak terus naik. Pengakuan atas hak-hak masyarakat adat, termasuk hak atas hutan adatnya, merupakan langkah strategis mengerem pemanasan global dan perubahan iklim. (Litbang Kompas)–BI PURWANTARI

Sumber: Kompas, 11 November 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya
Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri
PT INKA Fokus pada Kereta Api Teknologi Smart Green, Mesin Bertenaga Air Hidrogen
7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya
Anak Non SMA Jangan Kecil Hati, Ini 7 Jalur Masuk UGM Khusus Lulusan SMK
Red Walet Majukan Aeromodelling dan Dunia Kedirgantaraan Indonesia
Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu
Madura di Mata Guru Besar UTM Profesor Khoirul Rosyadi, Perubahan Sosial Lunturkan Kebudayaan Taretan Dibi’
Berita ini 0 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 21 Februari 2024 - 07:30 WIB

Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:23 WIB

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:17 WIB

PT INKA Fokus pada Kereta Api Teknologi Smart Green, Mesin Bertenaga Air Hidrogen

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:09 WIB

7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya

Rabu, 7 Februari 2024 - 13:56 WIB

Anak Non SMA Jangan Kecil Hati, Ini 7 Jalur Masuk UGM Khusus Lulusan SMK

Minggu, 24 Desember 2023 - 15:27 WIB

Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu

Selasa, 21 November 2023 - 07:52 WIB

Madura di Mata Guru Besar UTM Profesor Khoirul Rosyadi, Perubahan Sosial Lunturkan Kebudayaan Taretan Dibi’

Senin, 13 November 2023 - 13:59 WIB

Meneladani Prof. Dr. Bambang Hariyadi, Guru Besar UTM, Asal Pamekasan, dalam Memperjuangkan Pendidikan

Berita Terbaru

US-POLITICS-TRUMP

Berita

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Feb 2024 - 14:23 WIB