Jamu

- Editor

Senin, 17 Oktober 2011

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Kita tahu “jamu”itu kata benda, dan “jejamu”, minum jamu, kata kerja.Kata benda dan kata kerja itu merujuk pada satu makna: kesehatan.

Dalam konteks lain: penyembuhan. Kesehatan dan penyembuhan berhubungan langsung dengan survival. Ketika potret kesehatan masyarakat buruk, fasilitas obat-obatan dan pengobatan umum terbatas, sakit dan kematian menjadi ancaman nyata; dan paling menakutkan, apalagi bila kehidupan ekonomi masyarakat bersangkutan juga parah. Dengan begitu, survival dalam posisi di ujung tanduk.

Agar manusia survive dalam tata kehidupan yang sulit tadi, muncul budi daya,usaha, langkah, atau upaya, karena manusia tak boleh menyerah pada kesulitan secara fatalistik begitu saja.Dari akar kata budi daya, sekaligus dari proses panjang yang ditempuh serta hasilnya,maka terbentuk makna kebudayaan. Maka jelas, jamu itu salah satu wujud hasil pemikiran, kreasi, dan penciptaan dalam suatu masyarakat. Biasanya, terutama masyarakat tradisional, yang selalu dihadapkan pada segenap keterbatasan fasilitas untuk sehat,dan untuk survive tadi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Dilihat dari satu aspek yang lebih khusus,yaitu ketika jamu diterima makin luas dan makin luas di dalam masyarakat, dan kebiasaan orang minum jamu, atau “jejamu” makin melembaga, maka terbentuklah tradisi pembuatan jamu, pada satu sisi dan tradisi minum jamu di sisi lain.Sesudah jamu diterima pasar, dan dikonsumsi, maka pelan-pelan terbentuklah tradisi. Bila hal ini makin diterima di masyarakat yang lebih luas dan makin melembaga, mapanlah posisi budaya jamu tradisional yang kita gunakan dalam bahasa sehari-hari sekarang.

Konsep ini lahir sesudah terjadi perubahan-perubahan sosial yang cepat dan menukik di dalam masyarakat.Tata kehidupan dan cara-cara pengelolaan hidup menjadi semakin berkembang, semakin maju dan modern, dan muncullah obat dan sistem pengobatan modern.Pertemuan dua dunia ini terjadi dengan nyaman dan aman, tapi ada kalanya diwarnai ketegangan dan penuh semangat saling mengejek. Saya akrab dengan jamu sejak kecil.Dan sesudah dewasa, saya pun belajar sedikit antropologi kesehatan, yang membuat apresiasi saya pada jamu makin bagus.

Saya hormat betul pada tradisi dan jamu tradisional tanpa menyingkur— mana mungkin—apa yang modern. Selagi bisa, saya membela semua jenis produk nasional kita agar tak tergilas di pertarungan pasar bebas yang tak sehat.Tanpa menyinggung siapa-siapa, saya harus menekankan lagi bahwa saya menyukai sirih, bukan untuk bergaya melainkan untuk kebutuhan sehat. Saya juga makan cengkih, bukan hanya untuk hangat, melainkan juga untuk penyegar aroma napas. Ini kebutuhan mendalam, bukan lifestyleyang mudah luntur.

Orang lain bolehlah gemar mobil mewah atau apa,saya tak akan bersikap sinis. Maka hak saya untuk menyukai sirih jangan dianggap gangguan.Suka sirih dan cengkih ini hasil pendidikan Mbah Tjokro, ahli jamu, yang hidup lebih lima puluh tahun lalu. Saya membantu menyiapkan bahanbahan, antara lain sirih,cabe— bukan cabai atau lombok— cengkih, bunga sirih, daundaun legundi—pahit melebihi brotowali—adas pulawaras, jinten,kunir, jahe,lempuyang, merica hitam, merica biasa, babakan pule, bengle, dan ada juga brotowali, yang diramu tersendiri.

Unsur-unsur dari alam itu diramu dan dipipis dengan watu gandik, batu bulket, disiapkan khusus, dan dengan batu hitam ceper, sebagai landasan pemipisan. Mipis itu intinya menumbuk hingga halus lembut semua unsur tadi, sesudah dikombinasikan satu sama lain dengan ukuran dan pencampuran sesuai kebutuhan. Saya masih bocah dan belum paham bagaimana resepnya. Hingga hari ini, resep jamunya tak ada yang tahu, dan sudah hilang bersama Mbah Tjokro, yang sejak lama menghadap Tuhan.

Tak ada seorang pun penerus di keluarga kami. Juga di antara para tetangga. Saya dilatih di dalam antropologi, dan memahami,bahwa apa yang agung, dan mulia, macam jamu Mbah Tjokro,bisa mati, bisa lenyap, tanpa bekas. Ini bisa terjadi karena himpitan modernitas yang agresif dan meluas. Bisa juga karena kondisi manusia: usia beliau terbatas. Maka di kampungku, jamu tradisional itu mati secara alamiah. Kematian ini patut disayangkan, tapi tak perlu ditangisi.Apa yang hidup akhirnya memang mati.Tapi apa yang hidup punya naluri mempertahankan kehidupannya.

Di tempat lain, di mana jamu masih hidup,saya ikut melindungi dan mempertahankan hidupnya. Untuk apa saya melakukan ini? Mungkin untuk bakti pada pusaka bangsa. Kita menganggap jamu bagian dari pusaka itu. Mohon dicatat, pusaka bukan hanya senjata macam keris atau tombak. Dalam tradisi keraton,perempuan,juga putri boyongan, dianggap pusaka kedaton juga.Selebihnya, saya berbakti pada masyarakat, pada bangsa,pada negara yang harus merawat pusaka tadi agar tak dicaplok bangsa lain. Hutan tropis kita mahakaya akan bahan-bahan obat atau jamu yang sudah dicuri bangsa lain dan diam-diam dipatenkan.

Kita harus bangkit. Jamu bukan hanya menyehatkan badan, tapi juga menyehatkan ekonomi perajin cilik. Pabrik besar? Jelas lebih sehat ekonominya. Sebagai bagian dari tradisi, jamu direkam atau diabadikan dalam buku-buku. Banyak variasi buku tentang jamu,diselingi mantra-mantra. Jamu biasa, yang diminum harian; jamu khusus bikin langsing, bikin kulit lembut bersinar seperti betis Ken Dedes yang berkilau; dan juga jamu penguat gairah dan tenaga seksual.

Kitab primbon juga memuat jamu.Keraton Yogya menerbitkan juga sebuah buku megah: Kraton Yogya: The History and Cultural Heritage.Di dalamnya adapenjelasanmengenaijamu. Ini membuktikan, di kampung saya jamu mati, dan saya tak menangis.Tapi di tempat lain, di mana jamu hidup,dan menghidupi, saya membela hak hidupnya.

Kalau kalah? Melawan. Kalah lagi? Melawan lagi. Tetap kalah? Melawan terus. Masih kalah? Saya akan belajar,apa rahasia yang membuat musuh itu menang. Dan dengan ilmu rahasia itu, lawan saya kalahkan.?

M SOBARY
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email: dandanggula@hotmail.com

Sumber: Koran Sindo, 17 Oktober 2011

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Kincir Angin: Dari Ladang Belanda Hingga Pesisir Nusantara
Surat Panjang dari Pinggir Tata Surya
Ketika Matahari Menggertak Langit: Ledakan, Bintik, dan Gelombang yang Menggetarkan Bumi
Mengalirkan Terang dari Gunung: Kisah Turbin Air dan Mikrohidro yang Menyalakan Indonesia
Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit
Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua
Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS
Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Berita ini 8 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 27 Juli 2025 - 21:58 WIB

Kincir Angin: Dari Ladang Belanda Hingga Pesisir Nusantara

Kamis, 17 Juli 2025 - 21:26 WIB

Surat Panjang dari Pinggir Tata Surya

Selasa, 15 Juli 2025 - 08:43 WIB

Ketika Matahari Menggertak Langit: Ledakan, Bintik, dan Gelombang yang Menggetarkan Bumi

Senin, 14 Juli 2025 - 16:21 WIB

Mengalirkan Terang dari Gunung: Kisah Turbin Air dan Mikrohidro yang Menyalakan Indonesia

Kamis, 10 Juli 2025 - 17:54 WIB

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Berita Terbaru

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Tarian Terakhir Merpati Hutan

Sabtu, 18 Okt 2025 - 13:23 WIB

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Hutan yang Menolak Mati

Sabtu, 18 Okt 2025 - 12:10 WIB

etika

Cerpen: Lagu dari Koloni Senyap

Kamis, 16 Okt 2025 - 10:46 WIB