Sebagai negara yang rentan bencana, Indonesia belum memiliki sistem monitoring peringatan dini yang baik. Teknologi untuk itu sudah ada, tetapi penerapannya terkendala anggaran.
Inovasi teknologi mutlak dibutuhkan sebagai upaya peningkatan mitigasi dan pengurangan risiko bencana di Indonesia. Salah satu upayanya melalui monitoring peringatan dini bencana, terutama untuk bencana gempa dan tsunami. Namun, sebagai negara yang rentan bencana, Indonesia belum memiliki sistem monitoring peringatan dini yang baik.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat, Indonesia memiliki 295 sumber gempa patahan aktif yang tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Wilayah Indonesia pun sangat aktif mengalami gempa. Dalam satu tahun terdata ada sekitar 5.000-6.000 kali gempa dalam berbagai magnitudo. Gempa yang berkekuatan lebih dari magnitudo 5 sebanyak 250-350 kali. Dalam dua tahun, gempa berpotensi tsunami pun terjadi 1 kali.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
ARSIP BPPT–Awak tim pelayaran Indonesia Prima mempersiapkan penempatan buoy Rama di Samudra Hindia, yakni di perairan Luar Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia sebelah barat Sumatera (sekitar Lintang 0 derajat dan lokasi di 90 derajat Bujur Timur). Data-data dari buoy Rama bermanfaat untuk perbaikan prediksi cuaca dan iklim di Indonesia.
Deputi Bidang Teknologi Pengembangan Sumber Daya Alam (TPSA) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Hammam Riza mengungkapkan, penguasaan teknologi yang optimal penting untuk kesiapsiagaan bencana. “Teknologi peringatan dini atau early warning system mutlak dibutuhkan untuk langkah mitigasi awal, serta meminimalisir korban jiwa saat bencana,” ujarnya di Jakarta, Kamis (4/10/2018).
Terkait mitigasi gempa, Hammam menambahkan, BPPT telah menghasilkan sejumlah inovasi dan layanan teknologi yang siap untuk diterapkan. Untuk tahap prabencana atau mitigasi, teknologi yang bisa digunakan, seperti SIJAGAT (teknologi kajian keandalan gedung bertingkat terhadap ancaman gempa bumi), SIKUAT (teknologi monitoring gedung bertingkat terhadap bencana gempa bumi), Bouy dan CBT atau cable based tsunameter (sistem deteksi dan peringatan dini gempa dan tsunami), rumah komposit tahan gempa, serta operasi teknologi modifikasi cuaca.
Selain itu, BPPT juga menghasilkan sejumlah teknologi sebagai upaya tanggap darurat bencana, yaitu biskuneo (biskuit tahan lapar) dan pengoperasian kapal baruna jaya. Kapal Baruna Jaya I telah dikirimkan ke Sulawesi Tengah pada Rabu (3/10/2018). Selain untuk membawa bantuan logistik, kapal ini juga dilengkapi dengan perangkat multibeam echosounder untuk mengkaji permukaan dasar laut dan kedalaman air sebagai kajian antisipasi bencana.
Teknologi pasca bencana pun telah dikembangkan, yaitu teknologi air siap minum (arsinum). Teknologi ini telah diterapkan di Lombok Utara. Sejak 9 September 2018, teknologi arsinum telah menghasilkan 65.000 liter air siap minum yang aman bagi warga terdampak gempa di sana.
Sistem peringatan dini tsunami
Selain gempa, ancaman bencana tsunami juga rentan terjadi di Indonesia. Hampir seluruh wilayah di Indonesia, mulai dari pesisir Barat Pulau Sumatera, Selatan Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara Timur, Timur Pulau Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua berada di daerah rawan tsunami.
Skema pemodelan atau simulasi kedatangan tsunami yang berjalan saat ini dinilai tidak cukup akurat memberikan peringatan dini pada masyarakat ketika gelombang tsunami datang. Berangkat dari kenyataan tersebut, pembangunan infrastruktur sistem peringatan dini tsunami berbasis teknologi mendesak diwujudkan.
Perekayasa Ahli Madya Pusat Teknologi Reduksi Risiko Bencana BPPT Iyan Turyana mengatakan, pihaknya pernah mengembangkan inovasi Buoy untuk mendeteksi tsunami. Tahun 2006, pasca gempa-tsunami Aceh pada 2004, pemerintah telah merencanakan pembangunan Buoy sebanyak 24 unit. Buoy yang akan disebarkan di sejumlah wilayah di Indonesia. Dari jumlah tersebut 15 unit diperoleh dari bantuan luar negeri.
Namun, saat ini, tidak ada satu pun Buoy yang berfungsi. Perawatan alat tidak dilaksanakan dengan optimal karena keterbatasan anggara. Selain itu, kesadaran masyarakat akan teknologi ini juga sangat minim sehingga justru dirusak atau bahkan dicuri.
Selain Buoy, teknologi yang juga bisa diterapkan di Indonesia adalah CBT (cable based tsunameter). Teknologi ini merupakan teknologi kabel laut untuk sensor gempa dan tsunami. Letaknya berada di dasar laut sehingga relatif aman dari jangkauan masyarakat. Selain itu, teknologi ini dinilai lebih efisien untuk biaya operasionalnya.
Iyan menyatakan, dasar hukum terkait sistem peringatan dini tsunami sebenarnya telah ditetapkan. Namun, implementasinya belum sesuai. Dalam Surat Keputusan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Nomor 21 Tahun 2006 disebutkan, BPPT mengelola operasional buoy dan memberikan datanya ke BMKG.
“Menkokesra-nya saja saat ini sudah tidak ada. Sebaiknya, ada regulasi yang lebih kuat untuk mengatur operasional InaTEWS (sistem peringatan dini tsunami Indonesia). Dukungan pendanaan juga diperlukan,” katanya.–DEONISIA ARLINTA
Sumber: Kompas, 5 Oktober 2018