Perubahan iklim telah memicu pergeseran pola hujan, di tandai kekeringan lebih panjang dan di sisi lain hujan ektrem lebih sering. Hal ini bisa mengancam produktivitas tanaman. Karena itu, dibutuhkan adaptasi dan inovasi di sektor pertanian untuk mengatasi persoalani ini.
Ketua Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Suryo Wiyono, Jumat (15/2/2019), di Jakarta, mengatakan, kekeringan telah menjadi ancaman besar bagi tanaman pangan, utamanya padi di Indonesia. Selain bisa menurunkan produktivitas, hal ini juga bisa memicu peningkatan penyakit blas.
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA–Ilustrasi _ Petani memanen dini padi di tengah banjir yang melanda sawahnya di Desa Kalipecabean, Kecamatan Candi, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, Senin (21/1/2019). Hujan deras yang terjadi sehari sebelumnya itu membuat beberapa wilayah di Sidoarjo dilanda banjir. –KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Padi yang kekeringan akan kekurangan kalium dan silika, tanaman jadi lebih rentan dan mudah terserang. Selain itu, perbedaan suhu maksimum dan minimum yang besar juga memicu embun mudah terbentuk dan ini menjadi penyebab blas yang dipicu oleh cendawan,” kata Suryo.
Menurut Suryo, penyakit blas disebabkan jamur Pyricularia oryzae. Penyakit itu bertahan pada jerami, rumput-rumputan, dan benih, serta disebarkan angin. Penyakit itu di daerah dikenal sebagai busuk leher, patah leher, atau teklik. Ciri-cirinya, ada bercak daun atau busuk pada leher saat bermalai. Ketika dipanen, bulir padi tak berisi atau puso.
Penyakit blas awalnya dikenal sebagai penyakit yang dominan pada padi gogo. Menurut survei tim IPB tahun 1990-1992, penyakit itu belum dijumpai pada padi sawah di pantai utara (pantura) Jawa. Namun, sejak tahun 2007, penyakit itu mulai melonjak pada padi sawah.
Suryo mengatakan, merebaknya serangan blas itu bisa dipengaruhi perubahan iklim. Percobaan di Filipina menunjukkan, peningkatan konsentrasi karbon dioksida (CO2) meningkatkan infeksi penyakit tersebut.
Sebaliknya, dalam kondisi yang lebih basah akibat curah hujan tinggi, padi juga rentan terserang wereng coklat. “Jadi, kalau tahun-tahun La Nina yang basah, biasany akan meningkat serangan wereng coklat. Sedangkan kalau El Nino, maka blas akan meningkat,” kata Suryo.
Padahal, kajian dari Jianjun Yin dalam jurnal Geophysical Research Letters (2018), menemukan suhu permukaan Bumi rata-rata naik 0,9 derajat celsius tahun 1900-2013. Lonjakan suhu tertinggi terjadi tiga tahun terakhir yang naik 0,24 derajat celsius atau naik lebih dari 25 persen dari penambahan suhu sejak tahun 1900.
Data terakhir dari Organisasi Meteorologi Dunia (World Meterologi Organization/WMO) juga menyebutkan, peningkatan suhu global rata-rata telah mencapai 1 – 1,2 derajat celsius dibandingkan tahun 1900-an. Sementara kajian Siswanto dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menemukan, peningkatan suhu di Jakarta mencapai 1,6 derajat celsius atau lebih tinggi dari rata-rata global.
Perubahan suhu itu, menurut Siswanto, menyebabkan intensiats hujan ektrem meningkat, namun rata-rata tahunannya cenderung menurun. Kajian peneliti BMKG Supari juga menunjukkan, kawasan di selatan Katulistiwa, termasuk Pulau Jawa hingga Nusa Tenggara Timur, hujan rata-rata per tahunnya cenderung berkurang sehingga menjadi lebih kering.
Tahan Kering
Suryo mengatakan, untuk menghadapi perubahan cuaca dan lingkungan ini, dibutuhkan inovasi di bidang pertanian. Salah satu dikembangkannya dalam lima tahun terakhir adalah mengembangkan padi sawah tahan kering.
“Kami telah menemukan sejenis cendawan Penicilliumendofityang mampu meningkatkan toleransi padi terhadap kekeringan. Ini sudah kami uji sukses di rumah kaca dan saat ini sedang diuji lapangan di lahan pertanian di daerah Bojonegoro. Sejauh ini menunjukkan hasil yang baik,” katanya.
Dengan cendawan ini mampu meningkatkan perakaran padi lebih ekstensif dan menurunkan jumlah stomata yang membuka, sehingga mampu meningkatkan daya tahan padi terhadap kekeringan. “Kami sedang melihat respon tanaman padi yang mendapat perlakukan ini terhadap penyakit blas. Secara teori, karena lebih tahan kering, seharusnya lebih tahan penyakit blas,” ujarnya.
Metode itu juga diterapkan untuk jenis tanaman lain, selain juga mencari jenis mikroba endemik lain yang bisa meningkatkan daya tahan padi. “Salah satunya yang sedang kami isolasi adalah yang kami temukan di perakaran rerumputan di padang sabana dari daerah Sumba,” kata Suryo.
Oleh AHMAD ARIF
Sumber: Kompas, 16 Februari 2019