Nama Aiko Kurasawa (68) sebagai ahli Indonesia atau Indonesianis asal Jepang tak sepopuler Nakamura yang mendalami tentang Taman Siswa, ataupun Saya Siraishi dalam bidang kebudayaan. Namun, Aiko termasuk Indonesianis yang sampai kini tetap bolak-balik Indonesia-Jepang.
”Tiap tiga bulan sekali saya ke Jakarta. Selain menengok suami, Inomata, juga menyegarkan pengetahuan dan referensi mata kuliah saya tentang sejarah ekonomi Indonesia,” kata Aiko di rumahnya, kawasan Jagakarsa, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Selama 1-2 bulan dia di Jakarta. Dia bertemu sejumlah sejarawan, termasuk peneliti senior sejarah ekonomi
Dr Thee Kian Wie. Dia juga melakukan penelitian sekaligus menyegarkan rasa cintanya pada bangsa Indonesia. ”Kepergian Pak Thee kehilangan besar bagi saya.”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pilihannya sebagai ilmuwan tentang Indonesia didorong rasa malu atas perilaku masa lalu Jepang yang menjajah Indonesia pada 1942-1945 dan berlanjut pada penanaman investasi besar-besar yang berpuncak pada Peristiwa Malari 1974.
Dalam konteks pendudukan Jepang, menyusul penelitian Anthony Reid, Michael van Langenburg, Anton Lucas, dan sejumlah Indonesianis lainnya, Aiko menitikberatkan penelitian pada masyarakat kalangan bawah.
Ia melanjutkan penelitian yang dilakukan Sigethada Nishijima dan Koichi Keichi Kishi, serta mengapresiasi Ken’ichi Goto. Bagi Aiko, Ken’ichi adalah pelopor sejarawan generasi baru Jepang. Kelompok ilmuwan yang ”alergi” terhadap sejarah perang.
Tesis Aiko tentang perubahan sosial pedesaan Jawa pada 1942-1945 dan disertasi doktornya dari Universitas Cornell, Ithaca, AS, pada 1987 menjadi anak tangga kecintaannya pada Indonesia.
Cintanya pada Indonesia dimulai saat menjadi mahasiswa Universitas Tokyo. Ia lulus dengan skripsi tentang pemberontakan Peta di Blitar pada 1944. Ia lalu melanjutkan studi kandidat doktornya di AS.
”Ini karena di Jepang, sebelum tahun 1970-an, tak ada data tentang Indonesia. Jepang ingin melupakan pengalaman buruk masa lalunya di Asia Tenggara, termasuk Indonesia,” katanya.
Mengajak mahasiswa
Setelah meraih doktor, Aiko kembali mengajar di Universitas Setsunan, Osaka yang dia jalani sejak 1981. Pada 1991, dia menjadi anggota staf peneliti pada Kedutaan Besar Jepang di Jakarta. Di sini dia bertemu Inomata yang bekerja pada salah satu lembaga swadaya masyarakat (LSM) semipemerintah Jepang.
Pada 1993, dia kembali ke Jepang, mengajar pascasarjana Universitas Nagoya. Kini ia menjadi profesor emeritus di Universitas Keio dengan spesialisasi sejarah ekonomi Asia Tenggara, khususnya Indonesia.
Setiap kali ke Indonesia, dia menyertakan sejumlah mahasiswa Jepang untuk tinggal beberapa hari dalam keluarga di sejumlah kota atau desa. ”Sudah lebih dari 10 tahun
(program ini) berjalan,” kata Aiko yang biasanya menampung puluhan mahasiswa Jepang di rumahnya, sebelum mereka tinggal pada keluarga Indonesia.
Dia bercerita, saat membuat tesis tentang pendudukan Jepang, ia sempat memperoleh kritik dari sebagian orang Jepang. Seiring berjalannya waktu, pada 1990-an kaum muda Jepang relatif lebih terbuka.
Selain ”memperkenalkan” mahasiswa Jepang dengan keluarga kalangan bawah di Indonesia, Aiko juga secara rutin melihat berbagai persoalan Indonesia masa kini. Minatnya berkembang, tidak lagi hanya di bidang ekonomi. Dia juga mengamati bidang lain dalam konteks sejarah hubungan Indonesia-Jepang, khususnya ketika Jepang menguasai Indonesia.
Berbagai persoalan yang semula tidak terkuak dan tak diketahui publik, lewat penelitian pustaka dan bibliografi yang dilakukan Aiko, memunculkan sisi-sisi positif dan negatif Jepang di Indonesia terutama pada masa pendudukan.
Masalah jugun ianfu, juga masalah romusa, tak lepas dari jasa Aiko. Dari berbagai masalah itu, dia tertarik meneliti lebih jauh tentang keterlibatan sejumlah personel Angkatan Laut Jepang, khususnya Laksamana Tadhasi Maeda (1898-1977), dalam proses kemerdekaan Indonesia.
Merana
Dukungan dan peranan Maeda sebagai pimpinan Kaigun Bukanfu atau Kantor Penghubung Angkatan Laut Jepang di Jakarta dalam proses kemerdekaan Indonesia dianggap Aiko kurang diketahui publik.
Padahal, Maeda adalah salah satu dari beberapa orang Jepang yang berjasa bagi kemerdekaan Indonesia. Selain Maeda, orang Jepang lain yang terlibat di sini di antaranya Tomegoro Yoshizumi, Chou Shinmo, Nishijima, dan sejumlah desertir Jepang.
”Peranan mereka jauh lebih besar dari apa yang selama ini sudah diketahui publik di Indonesia, apalagi di Jepang,” katanya.
Aiko bercerita, tak sedikit dari mereka yang pada masa tuanya merana. Salah satunya adalah Maeda. ”Saya melihat sendiri hidupnya merana. Dia tinggal di Kota Tokyo dengan uang pensiun yang pas-pasan,” katanya.
Setelah Indonesia merdeka, lanjut Aiko, Maeda pernah sekali ke Indonesia bersama sejumlah mantan tentara dan simpatisan atas biaya Nishijima. ”Saat kembali ke Jepang, jatah makanan di pesawat dia bungkus dan dibawa pulang untuk istrinya.”
Berbeda
Tentang peranan tentara pada masa itu, menurut Aiko, terjadi perbedaan inklinasi antara Angkatan Darat dan Angkatan Laut Jepang di kawasan Asia Tenggara. Angkatan Darat Jepang tak ingin Indonesia merdeka, sedangkan Angkatan laut Jepang sebaliknya.
”Tentara Angkatan Laut Jepang masa itu sering memberikan pelatihan, termasuk tentang ideologi, bagi para tokoh muda pergerakan Indonesia,” ujar Aiko yang penelitiannya tentang peristiwa G30S 1965 di mata orang Jepang dijadikan buku dan sedang dalam proses penerjemahan ke dalam bahasa Indonesia.
Pada masa itulah sejumlah orang Jepang membelot dari kepentingan bangsanya. Di antara mereka adalah Maeda, perwira intelijen Tomegoro Yoshizumi, perwakilan Angkatan Darat Jepang Miyoshi, dan Nishijima, warga sipil.
Mereka hadir dalam perumusan
teks Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 16 Agustus 1945. Mereka membiarkan para tokoh muda Indonesia, seperti Soekarno, Hatta, Wikana, dan Achmad Subardjo, merencanakan pilihan bagi bangsa Indonesia.
Ketika Jepang kalah, Maeda termasuk salah satu tentara yang diselidiki keterlibatannya oleh tentara Sekutu. Maeda tak sampai dibawa ke pengadilan. Dia bebas, tetapi tak berstatus veteran perang. Dia dianggap warga sipil dengan hak pensiun pas-pasan.
Sebagai ilmuwan dan sejarawan, Aiko merasa cukup memberikan berbagai perspektif atas peristiwa sejarah pendudukan Jepang di Indonesia. Tujuannya semata untuk mencerahkan, bukan menggalang aksi.
Aiko Kurasawa
? Lahir: Osaka, Jepang, 26 Juni 1946
? Suami: Inomata u Anak: – Hiromi – Isaka
? Pendidikan:
– S-1 dari Universitas Tokyo, Jepang, dengan skripsi tentang Pemberontakan Peta (Pembela Tanah Air) di Blitar, lulus 1970- S-2 dari Universitas Tokyo dengan penelitian tentang Perang Surabaya, 1972
– S-3 dari Universitas Cornell, Ithaca, AS, dengan disertasi tentang perubahan sosial pedesaan Jawa tahun 1942-1945, 1987
? Pekerjaan: Profesor Emeritus Universitas Keio, Tokyo, Jepang
Oleh: ST SULARTO
Sumber: Kompas, 30 September 2014