Indikasi Perubahan Iklim Indonesia

- Editor

Selasa, 9 April 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Belakangan terjadi perkembangan kondisi cuaca dan iklim yang marak dengan badai lokal atau ”local storm”. Hasil pengamatan data meteorologi dan klimatologi sebelum 2000, perkembangan awan badai belum segiat sekarang.

Belakangan terjadi perkembangan kondisi cuaca dan iklim yang marak dengan badai lokal atau local storm. Kondisi ini umumnya dipicu kehadiran awan badai (cloud storm) yang umumnya dari awan kumulonimbus, disingkat Cb. Awan Cb banyak berdampak pada bencana hidrometeorologi, terutama pada lingkungan yang sudah jadi hutan ”beton” atau kawasan minim pohon-pohon besar.

Hasil pengamatan data meteorologi dan klimatologi sebelum 2000 menunjukkan perkembangan awan badai atau awan Cb masih terbatas, umumnya belum marak dan segiat sekarang. Awan Cb belum banyak terjadi pada periode 1970-1990.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Panas jadi stimulus
Saat saya menjadi analis dan prakirawan cuaca, kala itu pada peta hasil pengamatan cuaca dan iklim masih jarang ditemukan pertumbuhan awan badai atau Cb. Yang ada hanya awan kumulus dan towering cumulus. Awan kumulus dan towering cumulus akan jadi awan badai atau Cb jika ada dukungan unsur termal dan mekanis/dinamis yang cukup.

Karena pada 1970-1980 kondisi hutan dan lahan di Indonesia masih rimbun, belum banyak pengusahaan atau eksploitasi kawasan hijau, kondisi cuaca dan iklim mantap dengan pola angin musim dan cuaca yang beraturan. Ini yang dijelaskan dalam pelajaran Geografi pada tingkat sekolah dasar hingga sekolah menengah.

Perkembangan awan penghasil badai, dampaknya dalam bentuk hujan badai, angin kencang/badai, dan petir bersahut-sahutan/badai petir, baru mulai memasuki pasca-1990.

Kondisi ini bersamaan dengan indikasi atmosfer Bumi bagian bawah yang kian hangat dengan lahirnya gejala alam El Nino. Terkuat untuk pertama kalinya tahun 1982/1983 yang diikuti dengan bencana kebakaran lahan dan hutan yang pertama kali di tahun 1982.

Sepertinya atmosfer Bumi masih berlanjut dengan giatnya periode hangat muka laut di kawasan ekuator/tropis Samudra Pasifik atau dikenal gejala El Nino kian giat dan sering terjadi, seperti 1987/1988, 1990-1994, 1997/1998. Umumnya bencana kebakaran lahan dan hutan mengikuti El Nino, bahkan swasembada beras terganggu setelah dapat penghargaan internasional tahun 1985.

Awan Cb mulai terjadi dan giat dengan dampak lingkungan saat giat badai tropis di selatan Jawa awal 1993 dengan gugusan atau barisan awan Cb. Badai terjadi di sepanjang pantai utara Pulau Jawa, tetapi kala itu dampak bencana hidrometeorologinya tidak terlalu parah.

Baru awal Februari 1996, seiring adanya dorongan udara dingin daratan Asia (seruak dingin/cold surge) yang umumnya masuk golongan proses adveksi bagian dari proses termal terkait dengan proses konveksi yang berpadu dengan adanya konvergensi sebagai proses mekanis dan dinamis—lahirlah suatu awan Cb yang masuk dalam kriteria gugusan/sekumpulan awan Cb. Ini disebut sistem awan konveksi kompleks, istilah kerennya di dunia meteorologi adalah MCC (mesoscale convective complex) atau MCS (mesoscale convective system) cloud.

Masuk MCC
Kegiatan awan Cb yang masuk kriteria MCC atau MCS adalah hujan badai lebih dari satu jam dengan kawasan yang cukup luas. Di kawasan Jabodetabek pada 8 Mei 2021 sepertinya terjadi awan Cb dari jenis MCC atau MCS karena curah hujan lebat mendekati sangat lebat 50-100 milimeter/ hari dan kegiatan awan mencakup luas separuh kawasan Jabodetabek. Dampaknya muncul genangan lokal dan sesaat.

Kehadiran awan Cb jenis MCC atau MCS di Jabodetabek 2021 ini berbeda dengan 1996 awal. Saat itu, Februari 1996, awan badai jenis MCC dan MCS menimbulkan curah hujan sangat lebat hingga ekstrem (kriteria BMKG) dengan kisaran 100-350 mm/hari konsentrasi di Jakarta. Hari kedua atau berikutnya diikuti hujan lebat hingga sangat lebat 50-150 mm/hari konsentrasi di Bogor.

Terjadilah banjir besar dan meluas di DKI untuk pertama kali sejak 1970. Situasi ini masih berlanjut dengan marak dan sering awan badai yang terjadi dan berkembang awal 2002 sepertinya awan Cb.

Kegiatan badai meluas tidak hanya di Jabodetabek, tapi juga di seluruh Indonesia dan seluruh penjuru dunia. Seperti Amerika, baik Utara maupun Selatan, Eropa dengan Inggris dan beberapa negara Eropa Timur. Awan badai terjadi diikuti hujan es atau hail storm. Australia, bahkan negara yang semula bergurun pasir, juga mengalami hujan badai dari awan Cb. Misalnya Arab Saudi, bahkan Pakistan yang terkenal kering.

Semua itu menggambarkan betapa awan Cb atau awan badai, yang dahulu mudah untuk ditebak dan berpola, kini dalam perkembangannya menunjukan situasi yang berbeda.

Pemerintah Arab Saudi serius menanggapi perkembangan ini dengan mengundang pakar cuaca dan iklim untuk membantu menyikapi serius. Bagaimana dengan Indonesia?

Apa kita cukup memantau, menganalisis, lalu menginformasikan kepada publik? Awan Cb sepertinya belum jadi kajian komprehensif. Perkembangan kejadian awan Cb yang marak dan meluas berdampak pada bencana hidrometeorologi yang meluas dari barat hingga timur benua maritim Indonesia. Karena itu, sudah selayaknya awan Cb dan pemicunya dikaji dan dicermati lebih dalam.

Hujan ekstrem
Tren atau kecenderungan hujan ekstrem umumnya terjadi awal tahun. Di Jakarta mula-mula 1996, lalu antara 2000 dan 2019 dengan satu sampai beberapa kali hujan lebat hingga sangat lebat, dengan curah hujan 50-150 mm/hari. Kejadian hujan sangat lebat meningkat awal 2020 dengan dua kali kejadian hujan sangat lebat-ekstrem. Pada 2021 terjadi satu kali hujan sangat lebat hingga ekstrem, dan 2–3 kali hujan lebat hingga sangat lebat.

Kondisi di atas menandakan adanya kecenderungan kenaikan kejadian awan badai seperti yang telah terjadi. Hal ini berdampak tidak hanya pada kawasan Jabodetabek, tetapi juga kawasan lain di Indonesia. Awan badai atau Cb terbentuk dari proses konveksi dan proses lain yang ada di atmosfer. Hujan awan Cb di darat umumnya berlangsung siang hingga sore.

Jika malam sepertinya bukan akibat proses konveksi, mungkin sudah menyatu dengan proses fisis dan dinamis sistem gangguan cuaca tropis mulai gelombang tropis, pemindahan massa udara maritim yang hangat dan basah, serta pengaruh dinamika dan gerak lain yang memicu terbentuknya awan Cb.

Peningkatan kapasitas untuk meninjau lebih lanjut perilaku dan tabiat awan badai akan sangat membantu memprakirakan kehadiran bencana hidrometeorologi dan mengantisipasi. Dengan demikian, kerugian bisa diminimalkan.

Paulus Agus Winarso, Praktisi Cuaca, Iklim, dan Lingkungan

Editor: YOHANES KRISNAWAN

Sumber: Kompas, 3 Juni 2021

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 1 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:13 WIB

Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom

Rabu, 23 Maret 2022 - 08:48 WIB

Gelar Sarjana

Minggu, 13 Maret 2022 - 17:24 WIB

Gelombang Radio

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB