Kendala pasien glaukoma stadium lanjut untuk mendapatkan implan tak lagi jadi masalah. Produk implan glaukoma karya anak bangsa kini telah dipasarkan dengan harga lebih terjangkau, aman, dan mudah didapatkan.
KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA–Ilustrasi. Para pasien dari berbagai Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di Kabupaten Sumbawa, mengikuti proses skrining mata. Pemeriksaan ini penting dilakukan untuk mendeteksi adanya gangguan mata seperti glaukoma. Glaukoma menjadi salah satu gangguan mata yang menjadi penyebab buta terbanyak kedua setelah katarak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Selama ini, tidak semua pasien glaukoma dengan stadium lanjut bisa mendapatkan implan. Selain terkendala biaya yang tinggi, ketersediaan produk implan cukup terbatas karena harus diimpor. Padahal, jika tidak segera mendapatkan implan, risiko kebutaan bisa terjadi pada pasien.
Di Indonesia, glaukoma menjadi penyebab kebutaan kedua terbanyak setelah katarak. Berbeda dengan katarak, kebutaan yang diakibatkan oleh glaukoma bersifat permanen. Dari data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), diperkirakan ada 3,2 juta orang mengalami kebutaan akibat glaukoma.
Sementara di Indonesia, menurut hasil Jakarta Urban Eye Health Study pada 2008, prevalensi glaukoma sebanyak 2,53 persen. Dari jumlah itu, diperkirakan masih banyak pasien yang belum terdeteksi sehingga semakin berisiko pada kondisi yang lebih buruk seperti kebutaan.
Glaukoma merupakan gangguan penglihatan yang disebabkan oleh meningkatnya tekanan pada bola mata. Kondisi ini dapat mengakibatkan kerusakan pada serabut saraf retina sehingga mengganggu lapang pandang. Pada kondisi normal, tekanan pada bola mata sekitar 10-20 milimeter air raksa (mmHg). Sementara, tekanan pada penderita glaukoma bisa lebih dari 20 mmHg, bahkan untuk glaukoma tingkat lanjut mencapai lebih dari 40 mmHg.
Pada glaukoma tingkat lanjut, implan menjadi metode yang harus dilakukan jika berbagai cara untuk menurunkan tekanan intraokular (tekanan bola mata), seperti konsumsi obat, laser, dan operasi tidak juga berhasil. Kondisi tersebut bisa disebut sebagai glaukoma refrakter. Selain itu, implan juga bisa diberikan pada pasien glaukoma sekunder. Biasanya, pada pasien glaukoma yang disebabkan oleh komplikasi diabetes dan hipertensi, trauma seperti kecelakaan, serta kegagalan dalam operasi.
Namun, akses terhadap implan glaukoma di Indonesia masih sangat terbatas. Produk yang tersedia di pasaran merupakan produk impor dengan harga yang mahal. Rata-rata harga implan sekitar Rp 8 juta hingga Rp 10 juta.
Kondisi inilah yang mendorong Virna Dwi Oktariana, staf pengajar Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM) mengembangkan implan glaukoma yang bisa diproduksi secara massal di dalam negeri.
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA–Virna Dwi Oktariana
Pada 2011, Virna pun memulai penelitian tersebut sekaligus sebagai bahan disertasi dalam memperoleh gelar doktor. Disertasi Virna berjudul “Inovasi Implan Glaukoma Desain Baru Berbahan Polymethylmethacrylate: Repsons Jaringan pada Kelinci dan Efektivitas pada Pasien Glaukoma Stadium Lanjut”.
Sejak awal, dia berprinsip bahwa hasil penelitiannya harus bisa menjadi produk pasar yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat luas. Untuk itu, sejak awal penelitian ia bekerja sama dengan industri, yakni PT Rohto Laboratories Indonesia.
“Dari 2011 sampai 2015 akhirnya kami baru menemukan bahan yang cocok untuk implan ini. Kami pilih material polymethyl methacrylate (PMMA) sebagai bahan plate implan dan silikon untuk bagian selang implan. PMMA ini memang sudah bisa diproduksi oleh PT Rohto dan terbukti aman. Selain itu, bahan ini juga lebih licin dan nyaman untuk dipakai dibanding bahan biomaterial sebelumnya, seperti polipropilen,” kata Virna.
Selain pemilihan bahan, tim peneliti juga menentukan desain dari piringan atau plate pada implan. Bentuk yang dipilih menyerupai oval dengan pertimbangan lebih nyaman dipasang di permukaan bola mata manusia. Pada jenis implan lainnya, biasanya berbentuk bulat atau prisma.
Penelitian ini terus berlanjut dengan uji klinis pada binatang coba dan pada 2016 dilakukan uji klinis pada manusia. Awalnya, sebagai bahan penelitian untuk disertasi ada 12 pasien yang melakukan uji klinis. Hasilnya, keberhasilan yang diperoleh mencapai sekitar 70 persen. Hasil ini cukup baik dan kompatibel dengan produk implan yang sudah dipasarkan.
Setelah Virna lulus dari program doktoralnya, penelitian terus dilanjutkan. Hingga awal 2019, setidaknya sudah ada lebih dari 200 pasien glaukoma stadium akhir yang melakukan implan dengan produk ini. Selain di Jakarta, Virna juga memberikan pelatihan kepada dokter ahli mata lain yang berada di Sumatera, Jawa, Bali, dan Sulawesi.
“Saya harap setelah produk ini sudah bisa diproduksi dan dipasarkan secara massal sudah ada sejumlah dokter yang bisa menggunakannya. Sampai saat ini sudah ada sekitar 20 dokter yang sudah mendapat pelatihan. Kabar baiknya, dari tindakan implan yang dilakukan di luar Jakarta justru keberhasilannya banyak yang mencapai 100 persen,” katanya.
Virna Glaucoma Implant
Prinsip yang dipegang oleh Virna sejak awal untuk menjadikan hasil penelitiannya sebagai produk massal berbuah baik. Awal tahun 2019 ini, produk hasil penelitiannya yang dikerjasamakan dengan PT Rohto Laboratories Indonesia ini mendapat ijin edar dari Kementerian Kesehatan dengan nomor AKD 21202910254. Hak paten atas desain produk pun sudah diajukan.
Secara resmi, produk ini dipasarkan dengan nama Virna Glaucoma Implant, sesuai nama penelitinya. Harga jual yang dipatok pun jauh lebih terjangkau dari produk implant sebelumnya. Produk ini dijual hanya sekitar 25-30 persen dari harga produk impor yang selama ini digunakan.
“Sejak awal saya sudah sampaikan ke PT Rohto untuk mematok harga yang paling terjangkau. Misi saya dalam menghasilkan produk ini adalah bisa bermanfaat, aman, nyaman, mudah dijangkau, dan mudah digunakan juga,” ujar Virna.
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA–Virna Glaucoma Implant
Dekan FKUI Ari Fahrial Syam menambahkan, hasil riset akademisi yang bisa sampai pada tahap hilirisasi seperti Virna Glaucoma Implant perlu terus didorong. Para peneliti dan ilmuwan sejak awal harus memiliki pola pikir menghasilkan hasil penelitian yang bisa diproduksi secara massal dan bermanfaat bagi masyarakat.
Hilirisasi riset, terutama riset di bidang kesehatan perlu ditingkatkan untuk mendukung kemandirian bangsa dalam menghasilkan produk obat dan alat kesehatan. Saat ini, sekitar 90 persen kebutuhan alat kesehatan masih diimpor.
Deteksi dini
Meski produk implan glaukoma yang lebih terjangkau sudah diproduksi secara massal, Virna menuturkan, kesadaran masyarakat untuk melakukan deteksi dini dengan pengujian atau screening mata harus ditingkatkan. Tidak sedikit pasien yang datang ke rumah sakit pada stadium lanjut.
Dari 64 pasien glaukoma sudut terbuka yang datang ke RSCM Jakarta, hanya 35,1 persen yang datang dengan stadium ringan dan sedang. Sebesar 51, 4 persen datang dalam kondisi sudah lanjut. Bahkan, 13,5 persen telah mengalami glaukoma absolut atau buta total.
“Glaukoma ini bisa dicegah kebutaannya jika dideteksi sejak dini. Namun, jika sudah terlambat hingga mengalami kebutaan sudah tidak bisa dilakukan tindakan apapun untuk mengembalikan fungsi penglihatannya yang sudah hilang,” kata Virna.–DEONISIA ARLINTA
Editor YOVITA ARIKA
Sumber: Kompas, 1 Juli 2019