75 Tahun Pendidikan Tinggi Pertanian
Pendidikan tinggi pertanian Indonesia memasuki 75 tahun sejak dimulai pertama kali di masa Hindia Belanda pada 1940. Peran penting pendidikan tinggi pertanian diakui, tetapi juga sarat beragam tantangan yang butuh keberpihakan dan kebijakan politik dari pemerintah untuk memperkuatnya.
Pendidikan tinggi pertanian diharapkan bukan sekadar melahirkan ilmuwan pertanian. Kemampuan untuk mengaplikasikan ilmu dan teknologi pertanian yang diajarkan di bangku kuliah guna menopang kinerja pertanian dalam artian luas juga diharapkan dari lulusan pendidikan pertanian.
Persoalan itu mengemuka dalam sarasehan bertema “75 Tahun Pendidikan Tinggi Pertanian Indonesia” yang digelar Ikatan Alumni Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Career Development and Alumni Affairs IPB, Kamis (1/10), di Bogor. Kegiatan yang juga rangkaian Dies Natalis Ke-52 IPB itu merupakan upaya mendapatkan masukan untuk membuat buku putih pendidikan tinggi pertanian.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ketua Ikatan Alumni Fakultas Pertanian IPB Bayu Krisnamurthi mengatakan, peringatan 75 tahun pendidikan tinggi pertanian itu sebagai refleksi bahwa pengembangan pendidikan tinggi pertanian tidak bisa lagi sendiri, tetapi mesti multidisplin.
Rektor IPB Herry Suhardiyanto berpendapat, pendidikan tinggi pertanian dari masa ke masa punya orientasi yang berbeda sesuai zamannya. Pada masa awal, pendidikan tinggi pertanian diarahkan untuk mendukung perkebunan (rempah-rempah). Pada masa Presiden Soekarno, pertanian menyangkut persoalan makanan rakyat yang berarti hidup matinya masyarakat. Pada zaman Soeharto, pertanian dikembangkan dalam kelompo ktani sehingga Indonesia mencapai swasembada beras.
Ernan Rustiadi, pengajar di IPB, menyatakan, seiring perkembangan teknologi, pertanian bukan lagi semata soal pangan meski tetap penting. Bidang pertanian pun berkembang disinergikan dengan aspek kehidupan lain, mulai dari energi, kesehatan, perubahan iklim, hingga perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.
Tantangan
Di tengah pengakuan pentingnya peran pertanian, pendidikan tinggi pertanian di Indonesia menghadapi tantangan menurunnya minat generasi muda meneruskan pendidikan ke bidang pertanian. Selain itu, yang memilih pendidikan tinggi pertanian bukan yang terbaik dan setelah pendidikan tidak bekerja pada sektor pertanian.
Guru Besar IPB Syafrida Manuwoto mengatakan, tren dunia menunjukkan kecenderungan menurunnya minat ke pertanian. Karena itu, disiplin pertanian dikawinkan dengan ilmu lain, seperti teknologi, molekuler, termasuk ilmu nano, sehingga terkesan “seksi” agar diminati kembali. Pengembangan pendidikan tinggi pertanian perlu dibuat dalam buku putih yang memiliki dampak politik dan kekuatan politik sehingga terus menjadi komitmen semua pihak, terutama pemerintah untuk memajukannya.
Herry Suhardiyanto juga menyoroti ketidakselarasan antara jumlah lulusan, kompetensi, dan kebutuhan di bidang pertanian. Indonesia tidak punya skenario rancangan kebutuhan tenaga kerja dalam periode tertentu.
Dekan Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, sekaligus Sekretaris Jenderal Forum Komunikasi Perguruan Tinggi Pertanian Se-Indonesia Jamhari berpendapat, perkembangan pendidikan tinggi pertanian belum bisa dikonversikan dengan kemajuan sektor pertanian di Indonesia. Standar pendidikan tinggi pertanian dengan industri belum terkoneksi. Terlebih lagi, tantangan untuk menyinergikan standar kompetensi di tingkat ASEAN.
Dari 1.389 program studi pertanian, sebanyak 69 persen di level S-1. Ada tuntutan agar pendidikan tinggi pertanian juga menyeimbangkan teori dan praktik.
Menurut Musliar Kasim, dosen Fakultas Pertanian Universitas Andalas, Padang, mahasiswa pendidikan tinggi pertanian umumnya memilih bidang itu sebagai pilihan terakhir. Mereka perlu diajak mengenali pertanian dengan terjun langsung sejak awal kuliah.
Ninuk Mardiana Pambudy, alumnus Fakultas Pertanian IPB yang juga Wakil Pemimpin Redaksi Kompas berpendapat, fakultas yang diminati di perguruan tinggi justru ekonomi dan bisnis. Daya tarik bekerja di pertanian, perikanan, dan peternakan kalah jauh dibandingkan dengan industri media dan hospitality. Apalagi, imbalan finansial di sektor pertanian kalah kompetitif. (ELN/DNE)
——————————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 Oktober 2015, di halaman 11 dengan judul “Ilmuwan Topang Pertanian”.