PENILAIAN bahwa otonomi kampus berarti otonomi dalam pembiayaan, ada benarnya. Inilah salah satu soal pelik yang dihadapi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta yang kini tengah mempersiapkan diri menjadi Perguruan Tinggi Berbadan Hukum (PT-BH). “Otonomi pembiayaan tidak berarti 100 persen kebutuhan universitas dibiayai oleh masyarakat seperti dilakukan oleh universitas swasta,” kata Rektor UGM Yogyakarta, Prof Dr Ichlasul Amal MA.
Tahun 1997 sampai tahun 1998 subsidi pemerintah ke UGM turun dari 75 persen ke 55 persen dari belanja UGM. Jumlah dana 1998 itu (hanya) setara 25 persen total kebutuhan UGM akibat jatuhnya nilai rupiah. Sebagai bandingan, subsidi dana kepada UGM sebagai universitas medium-dalam arti besarnya mahasiswa-menurut Amal hanya seperduapuluh dari biaya sebuah universitas medium di Inggris, atau seperlimabelas dari biaya universitas di Texas.
“Jadi bisa dibayangkan kalau kualitas kita kalah. Dan, dosen-dosennya juga miskin..,” kata Prof Amal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tahun 2000 nanti, perolehan subsidi akan makin sulit. Pemerintah hanya memberikan subsidi dalam bentuk block grant, dan dana rutin. Sedang dana pembangunan sudah dihapus. Block grant pun jumlahnya kecil, dan dianggap sebagai investasi kontrak studi pemerintah pada PT-BH berdasar permintaan pemerintah akan jenis dan jumlah lulusan. Dana rutin masih diberikan sebatas untuk pembayaran gaji dan biaya operasional.
“Maka pengembangan universitas tidak lagi seperti dulu, guaranteed, dijamin pemerintah pasti dapat. Sekarang dasarnya harus kompetisi. Jadi kalau tak memiliki proposal yang meyakinkan untuk penelitian dan pengembangan, kita tidak dapat dana,” katanya.
Pendanaan UGM sebagai PT-BH akan berasal pada lima sumber pokok yaitu SPP mahasiswa, professional services (jasa kepakaran), usaha-usaha pendukung (seperti toko buku, kursus, koperasi), commercial venture (bentuk usaha murni bisnis), serta block grant tadi dan dana rutin (gaji dan operasional).
Besarnya SPP mulai tahun depan akan dipatok tarif minimal yang dikonsultasikan, sedang mahasiswa yang tidak mampu bisa mengajukan keberatan dan bukti kemampuan mereka. Tahun akademik lalu rata-rata SPP Rp 400.000 (IPS) dan Rp 450.000 (IPA) per semester.
“Fakultas Kedokteran misalnya, butuh alat-alat canggih dengan basis komputer seharga Rp 1 milyar untuk 20 mahasiswa. Untuk menutup kebutuhan itu, jika SPP mahasiswa Rp 500.000/tahun, maka butuh 200 mahasiswa untuk mencapai Rp 1 milyar,” ujar Purek II Bidang Administrasi Dr Ir Mas’oed Machfoedz MBA.
Akan tetapi, di mana pun di dunia, venture tidak mungkin memenuhi semua kebutuhan. “Dan Yogya kurang kondusif untuk usaha seperti itu, karena tidak ada industri yang besar,” kata rektor sambil mengemukakan bahwa selama ini SPP sebenarnya terlalu murah bagi mereka yang mampu, tetapi terlalu mahal bagi yang kurang mampu.
Di sisi lain, Rektor UGM secara jujur menilai bahwa evaluasi kualitas lulusan UGM dan PTN-PTN yang dikategorikan PTN pembina sebenarnya juga tak ada. Jaminan bahwa PTN murah, itu benar tetapi bagaimana kualitasnya, seringkali tidak jelas. Sedangkan jaminan (kualitas) ada, karena seringkali inputnya sudah bagus. Jadi karena inputnya bagus, maka kualitasnya bagus.
Dengan otonomi kampus nanti, diduga inputnya kurang lebih sama dengan input PTS. Karenanya UGM akan bersaing dengan PTS, dalam kualitas pendidikan dan fasilitasnya.
***
DENGAN perubahan seperti itu, wajar muncul protes dari mahasiswa. Penolakan terhadap universitas ber-BH, sudah marak sekitar September lalu. Sejumlah surat kabar-karena ketidaklengkapan informasi dan di sisi lain ingin menjual berita-, cenderung mengangkat berita-berita sekitar naiknya pembiayaan yang bakal ditanggung mahasiswa. Dan dibanding UI, IPB, serta ITB, reaksi mahasiswa paling gencar memang muncul dari UGM.
Protes terang-terangan “Menolak Otonomi Kampus Versi Rektorat” datang dari gabungan 28 kelompok organisasi kemahasiswaan dan Komite Aksi Pendidikan Kerakyatan. Selain beberapa kali berbantah dengan Tim Otonomi UGM, selama bulan puasa 10-18 Desember 1999, mereka menggelar Kemah Anti Otonomi di Boulevard UGM. Mereka mempertanyakan “otonomi” kampus yang arahnya cenderung akan menekan dan memberatkan mahasiswa.
Majelis Wali Amanat (MWA) sebagai representasi menteri, pemda setempat, kalangan industri, dan komponen masyarakat, digugat perannya. Benarkah konsep swakelola (otonom) itu bisa dijalankan, atau sebatas swadana? PT kemudian berubah jadi badan usaha yang mengumpulkan dana dari kegiatan bisnis dan kenaikan SPP mahasiswa.
“Kenaikan SPP ini merupakan salah satu yang kami khawatirkan, dan ternyata sudah diberitakan memang rata-rata bakal naik. Pendidikan pasti akan diorientasikan pada dunia industri, sehingga mahasiswa “dijual-belikan” untuk pengajuan subsidi yang harus diperebutkan antar-PT itu,” kata Monika, mahasiswi Fakultas Psikologi.
Sedangkan Dedi Sushandoyo (Fakultas Teknik) dan Hanafi (Fisipol) melihat Bank Dunia punya kepentingan untuk tetap bisa menawarkan modalnya ke Indonesia, melalui bantuan mereka sehingga otonomi kampus terjadi di Indonesia. “Jadi jelas, ini berkaitan dengan sistem kapitalis global, dan arah itu kentara sekali,” ujar Dedi.
***
REKTOR UGM mengakui, banyak faktor yang sampai sekarang belum pasti, terutama yang berkaitan dengan (kebijakan) pemerintah sendiri misalnya tentang sistem kepegawaian, dan status hukum universitas yang mendapat otonomi. Status hukum universitas sesuai dengan PP 61/1999 diatur seperti Perusahaan Umum.
“Akan tetapi, banyak yang masih mempertanyakan, apa iya rektor harus tanggung renteng terhadap kasus hukum? Yang terjadi di beberapa negara, sebagaimana di Thailand, status hukum dari universitas mestinya dibuat atas dasar UU yang tersendiri. Jadi eksklusif, ex of parliament. Misalnya UU tentang Status Hukum UGM, demikian juga UU tentang Status Hukum ITB, dan seterusnya. Dalam beberapa item, bisa saja berbeda karena memang berbeda. Di Thailand dan di mana-mana di luar negeri begitu,” katanya.
Pemberlakuan otonomi kampus, juga akan berdampak pada pendapatan para tenaga dosen maupun pusat-pusat penelitian dan kegiatan di fakultas. Dulu seorang dosen, atau pusat penelitian masih mungkin memperoleh order proyek plus imbalannya tanpa kewajiban membayar komisi kepada universitas. Di era otonomi kampus, tidak bakal terjadi. Universitas akan ketat meminta fee, tetapi sistemnya masih akan dirumuskan.
Akuntabilitas dan transparansi, yang dipersyaratkan dalam PT ber-BH, mengharuskan universitas untuk mengindentifikasi kekayaan tiap fakultas, berapa income seorang dosen, karyawan nonakademik dan seterusnya. Sebab di UGM dikenal istilah low salary high income bagi para “dosen terbang” dan “pengasong” yang laris diundang ceramah ke mana-mana. Untuk forum seperti itu, seorang dosen biasanya mendapat Rp 5 juta sekali bicara. “Tetapi masalahnya ada dosen yang taat membayar fee lima persen pada universitas, tetapi lebih banyak yang tidak taat untuk membayarnya,” kata Dr Mas’oed Mahfoedz MBA.
Padahal fee kerja sama ini setelah dikumpulkan jadi Rp 4 milyar, plus bunga yang ketika itu sampai 50 persen. Sejumlah bank yang punya hubungan khusus dengan UGM, juga memberikan tambahan bunga. Kalau rata-rata bunga 40 persen, bank bersangkutan berani 50 persen. Dalam waktu satu setengah tahun akumulasi dana mencapai Rp 6,4 milyar.
Dana itu Rp 400 juta di antaranya diberikan kepada 600 mahasiswa miskin saat hadapi krisis moneter @ Rp 100.00/bulan. Dan secara keseluruhan komitmen mempertahankan kerakyatan itu telah dibuktikan UGM sejak tahun 1998-1999 dengan memberi beasiswa dan potongan SPP pada 8.000 mahasiswa.
***
BAHWA universitas bukan sebuah perusahaan gemuk, bisa disimak dari masukan dana, yang kemudian menjadi dana abadi. Sampai tahun ini dana abadi UGM hanya berjumlah Rp 6,4 milyar. Dana itu diperoleh dari dana luar negeri yang diberikan seorang dermawan luar negeri senilai Rp 1,4 milyar dengan catatan simpanan pokok itu tak boleh diambil, kecuali pemanfaatan bunganya.
Sejak Prof Ichlasul Amal memimpin UGM muncul kebijakan dana-dana yang sudah masuk jangan dikonsumsi, kecuali memanfaatkan bunganya, seperti bantuan dari Pemerintah Australia yang ditabung ketika bunga bank tinggi. Pemasukan lain, adalah akumulasi fee (dana kerja sama) sebesar lima persen yang harus diserahkan perorangan/pusat studi/fakultas ke universitas.
Dengan jumlah mahasiswa mencapai 40.404 orang meliputi program D-3, S-1, ekstensi, S-2, profesi, magister manajemen, dan S3, UGM merupakan universitas terbesar di Indonesia. Sedangkan dukungan staf pada 18 fakultas, unit pelaksana akademik dan administrasi sebanyak 5.670 orang terdiri dari staf akademik 2.270 orang, nonakademik 2.400 orang, dan staf honorer sekitar 1.000 orang.
“UGM ibarat menghela gerbong besar dengan penumpang 46.500 yang terdiri dari mahasiswa dan staf. Ini berat, meskipun merupakan cerminan kepercayaan masyarakat pada UGM,” ujar Sahid Susanto, anggota Tim Inti Persiapan Penerapan Otonomi UGM.
Dies Natalis ke-50 merupakan turning point untuk mereview komitmen kerakyatan UGM sebagai universitas ndeso”. Namun, menurut rektor, semangat untuk membela rakyat kecil dalam aktualisasinya harus dilihat secara realistis. Apalagi bantuan dari pusat makin kecil.
“Terus terang pada periode lalu, mahasiswa miskin sebenarnya telah mensubsidi mahasiswa kaya. Maka ke depan, mahasiswa yang kuat diminta lebih banyak memberikan bantuan, sedang yang miskin ada kemungkinan memperolah beasiswa entah berupa keringanan SPP maupun keringanan bulanan.”
Komitmen kerakyatan UGM itu, niscaya bukan sekadar etalase sebuah perusahaan yang kini memakai BH. Masyarakat tentu juga berharap semangat kerakyatan dan pembelaan pada kaum lemah itu, merupakan sumber identitas Gadjah Mada yang tumbuh di tengah masyarakat Yogya yang dikenal sederhana dan jujur itu. (hrd)
Senin, 20 Desember 1999