Perusahaan produsen telepon seluler asal China, Huawei, tetap percaya diri meskipun masuk ke dalam daftar hitam perdagangan Pemerintah Amerika Serikat. Namun, tidak dapat dimungkiri, perusahaan tersebut dapat kehilangan gelar sebagai penjual ponsel terbesar kedua di dunia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
AP PHOTO/NG HAN GUAN—Suasana aktivitas warga di depan sebuah toko Huawei di Beijing, China, Senin (20/5/2019). Google memastikan, pengguna telepon seluler pintar Huawei masih bisa mendapatkan layanan produk mereka meski perusahaan AS itu telah menghentikan kerja sama bisnis dengan Huawei menyusul kebijakan Pemerintah AS memasukkan Huawei dalam daftar hitam perdagangan AS.
Perusahaan produsen telepon seluler asal China, Huawei, tetap percaya diri meskipun masuk ke dalam daftar hitam perdagangan Pemerintah Amerika Serikat. Namun, tidak dapat dimungkiri, perusahaan tersebut dapat kehilangan gelar sebagai penjual ponsel terbesar kedua di dunia.
Kementerian Perdagangan AS mengumumkan larangan efektif kepada perusahaan AS untuk menjual atau mentransfer teknologi kepada Huawei dan sejumlah perusahaan asal China lainnya. Implementasi kebijakan tersebut mulai berlaku dalam 90 hari sejak Senin (20/5/2019).
”Politisi AS meremehkan kekuatan perusahaan kami. Penangguhan kebijakan hingga 90 hari tidak akan memberikan dampak besar kepada kami, kami siap menghadapinya,” kata pendiri Huawei Technologies Co Ltd, Ren Zhengfei, Selasa (21/5/2019).
Setengah dari pasokan cip untuk perakitan ponsel Huawei berasal dari luar, termasuk AS, dan sisanya dari perusahaan China. Menurut Ren, meskipun perusahaan membeli cip dari AS, hal ini bukan berarti perusahaan China tidak dapat membuat cip sejenis.
Adapun perusahaan pembuat cip asal Jerman, Infineon, menyatakan akan tetap melanjutkan penjualan cip kepada Huawei. Dalam keterangan tertulis, Infineon menyebutkan produk-produknya tidak masuk dalam larangan ekspor AS karena hanya barang yang berasal dari AS yang terdampak.
Kebijakan AS, menurut Ren, merupakan upaya untuk menggagalkan bisnis Huawei negara itu. Huawei akan segera merilis teknologi baru yang dinilai dapat membuat perusahaan itu menjadi pemimpin di bidang teknologi 5G.
Ren menuturkan, teknologi 5G Huawei tidak akan terpengaruh atas kebijakan AS. Ia mengklaim, teknologi Huawei tidak akan dapat disaingi perusahaan lain dalam dua atau tiga tahun ke depan.
Masuknya Huawei dalam daftar hitam merupakan dampak dari keputusan Presiden AS Donald Trump bahwa perusahaan tersebut mengancam keamanan nasional negara. Intelijen AS menduga Huawei didukung militer China. Teknologi Huawei dicurigai memberi peluang bagi intelijen China masuk ke dalam jaringan komunikasi negara lain.
Kecurigaan tersebut telah dicetuskan AS berkali-kali selama beberapa tahun terakhir. Namun, Huawei selalu membantah tuduhan AS.
Krisis besar
Kebijakan AS dapat membuat Huawei kehilangan gelar sebagai penjual ponsel terbesar kedua di dunia. Perusahaan internet raksasa AS, Google, mulai berhenti bekerja sama dengan Huawei pada pekan ini. Penghentian kerja sama dengan Google akan membuat sistem operasi Android pada ponsel baru Huawei tidak dapat beroperasi.
Sebagai akibat, para pengguna ponsel Huawei seri terbaru yang dirilis setelah kebijakan berlaku tidak dapat mengakses layanan dan aplikasi Google, seperti fitur pencarian, aplikasi Gmail dan aplikasi Google Map. Dampak tersebut dapat memengaruhi pertimbangan para pengguna ponsel Huawei.
”Ini adalah krisis besar bagi Huawei. Bukannya menjadi perusahaan manufaktur ponsel terbesar pada tahun ini, Huawei malah harus berjuang untuk tetap di peringkat kedua dan bahkan bisa turun peringkat,” kata analis industri dari Recon Analytics, Roger Entner.
Mengutip data International Data Corporation (IDC), Samsung memimpin penjualan ponsel di pangsa pasar global sebesar 23,1 persen pada triwulan I-2019. Huawei berada di peringkat kedua (19 persen) dan Apple di peringkat ketiga (11,7 persen).
Roger berpendapat, sulit bagi Huawei menciptakan ponsel yang kompetitif tanpa dibekali dengan aplikasi yang populer. Untuk itu, Huawei kemungkinan akan menggunakan sistem Android dari Google yang disediakan secara gratis.
Selain Google, pemasok perangkat keras, seperti Qualcomm, Broadcom, dan Intel, juga akan dituntut untuk menahan pengiriman barang ke Huawei. Penjualan teknologi ke Huawei harus memperoleh izin dari Pemerintah AS, kecuali ada pengecualian yang diberlakukan.
Pendiri Recon Analytics, Roger Entner, berpendapat, perusahaan AS, seperti Google, tidak akan merasakan dampak langsung dari pemutusan kerja sama dengan Huawei. Hal ini karena konsumen akan beralih menggunakan ponsel dengan sistem Android yang lain.
Pangsa pasar penjualan ponsel Huawei di AS juga masih terbatas. Selain itu, teknologi telekomunikasi jaringan Huawei yang digunakan di AS juga terbatas pada penyedia wireless dan internet yang kecil.
Simbol China
Kebijakan AS terhadap Huawei menambah daftar panjang aksi perang dagang antara AS dan China. Washington melihat Huawei sebagai simbol dari China yang mulai merebut dominasi teknologi dan ekonomi di ranah global dari AS.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Lu Kang mengatakan, China akan mengawasi perkembangan dari situasi. Namun, ia tidak memberikan indikasi kemungkinan bagaimana China akan merespons.
Menteri Perdagangan AS Wilbur Ross mengatakan, pemerintah akan memberikan lisensi sementara (temporary general license) agar perusahaan operator dan Pemerintah AS memiliki waktu cukup untuk menentukan langkah jangka panjang bagi operator telekomunikasi asing dan lokal yang menggunakan teknologi Huawei dalam layanannya.
”Pendeknya, lisensi ini akan mengizinkan operasional pengguna ponsel Huawei dan jaringan broadband perdesaan yang telah ada tetap berlanjut,” ucap Ross (REUTERS/AFP/AP)
Oleh ELSA EMIRIA LEBA
Editor: PASCAL S BIN SAJU
Sumber: Kompas, 21 Mei 2019