Perjuangannya menekuni dunia kepurbakalaan sampai pada asumsi, bahwa kita manusia ini bukan garis keturunan manusia kera Australopithecus, sebagaimana dikatakan teori evolusi. ”Manusia modern (Homo sapiens) punya nenek moyang, sendiri. Sekarang sedang kita cari,” kata Dr Harry Widianto (42), peneliti prasejarah yang juga Kepala Balai Arkeologi (Balar) Yogyakarta sejak Setahun terakhir. Sebelumnya ia berdinas di kantor yang sama di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Doktor lulusan Perancis tahun 1993 ini dikenal sebagai ahli paleoantropologi, ilmu yang mempelajari sisa-sisa manusia purba, dari sisi anatomis tulang dan sisi antropologisnya. Di Indonesia, ilmuwan semacam ini hanya ada dua. Yang lain lebih senior Prof Dr.Teuku Jacob, mantan Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
”Tugas saya adalah mengungkap siapa sih manusia purba yang kita temukan, dengan melihat tulang-tulang, bentuk tengkorak, ciri-cirinya, dan lainnya,” kata Harry, alumni Jurusan Arkeologi, Fakultas Sastra UGM.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hipotesanya tentang penolakan manusia sebagai keturunan kera amat sederhana, hanya berangkat dari permainan logika. Tetapi permainan logika itu tentu kemudian didukung data, baik literatur maupun/ penelitian langsung terhadap temuan fosil.
Permainan logika yang dimaksud Harry adalah keganjilan pertanggalan (hitungan umur sebuah fosil), dalam teori evolusi. Perubahan bentuk manusia kera Australopithecus yang muncul sejak enam juta tahun lalu dan disebut sebagai manusia pertama, sampai manusia terakhir (manusia modern) ternyata tidak berjalan linier. ”Ada error yang sulit kita percaya,” tegasnya.
Disebutkan Harry, perubahan (evolusi) manusia kera Australopithecus menjadi Homo hobilis atau manusia kera dengan kadar otak lebih pandai (650 cc), membutuhkan waktu sekitar 4,5 juta tahun. Kemudian dari manusia Homo hobilis menjadi Homo erectus –manusia kera bertubuh tegap dengan volume otak 950 cc– membutuhkan waktu 2,3 juta tahun. Perjalanan evolusi sampai Homo erectus itu memang rasional dan ritmis, tetapi dari Homo erectus ke manusia modern (Homo sapiens), sangat tidak rasional dan frontal.
”Coba bayangkan,perubahan dari manusia Homo erectus ke Homo sapiens hanya membutuhkan waktu sekitar 160.000 tahun. Padahal perubahan fisiknya sangat drastis, dari manusia serupa kera ke manusia seperti kita ini. Tidak rasional, dibanding evolusi manusia-manusia sebelumnya, yang dalam waktu jutaan tahun saja secara fisik perubahannya sangat evolutif, artinya masih dalam wilayah rupa kera,”
tegasnya.
Bahkan kalau dibandingkan antara manusia Homo erectus dan Homo Sapiens dengan 100 ciri-ciri, yang cocok hanya sekitar 10 persen. ”Pokoknya Homo erectus yang konon disebut-sebut sebagai nenek moyang kita itu, secara fisik jauh barbeda dengan kita,” tegasnya.
KEHADIRAN Harry sebagai ahli paleoantropologi adalah sebuah perjuangan yang maha berat. “Ahli paleantropologi punya titik berat dalam hal penguasaan anatomi tulang. Yang tepat untuk menjadi ahli itu adalah mereka yang punya basic S1 (strata satu) ilmu biologi atau kedokteran. Sementara basic saya arkeologi yang sama sekali tidak bersentuhan dengan anatomi tulang,” tegas Harry, kalahiran Magelang, Jateng, tahun 1957.
Hanya semangat yang mendorong dia berani, ketika ditawari pimpinannya untuk tugas belajar di Perancis
”Pada enam bulan pertama di Perancis, sebelum resmi menjadi mahasiswa S3, saya dididik khusus untuk belajar anatomi tulang,” tegasnya.
Apa pun, yang pasti basic ilmu itu akhirnya tidak menjadi kendala, dengan konsekuensi belajar serius. Pagi kuliah, siang ke laboratorium sampai malam. ”Pokoknya, sampai di apartemen pukul 23.00. Setelah itu saya masih harus belajar, dan baru tidur pukul 02.00 dini hari. Kegiatan ini saya lakukan hampir setiap hari selama lima tahun di Perancis,” katanya
Lelaki pecinta sepak bola ini punya pengalaman lucu.Peristiwanya ketika Perancis menjadi ajang Piala Dunia 1998. Suatu hari, ketika tim sepak bola Perancis akan bertanding, dia berniat menonton. Sambil menunggu waktu, dia belajar di laboratorium.
Sejak siang, ratusan ribu warga Perancis sudah berbondong-bondong ingin menyaksikan timnya bermain sepak bola. Mereka berteriak-teriak di sepanjang jalan. Harry belum juga menghentikan belajarnya. Tetapi, begitu asyiknya membaca, dia dikejutkan lagi suara massa yang berteriak-teriak.
”Saya intip dari balik jendela, ternyata para penonton sepak bola sudah pulang. Jadi niat saya nonton bola gagal, hanya karena saya terlalu asyik membaca buku,” kata lulusan SMA Negeri I Magelang ini.
Piala Dunia 1998 diraih tim tuan rumah. ”Saya tentu saja juga ikut senang,” tambahnya. Sampai sekarang pun Harry bersama anaknya masih sering ”mengintip” pertandingan sepak bola kelas tarkam alias antarkampung di sekitar tempat tinggalnya di belahan timur Kota Yogyakarta.
Kehadirannya sebagai ahli paleoantropologi semakin dimatangkan dengan kegiatan ilmiah tentang ilmu yang ditekuni, seperti seminar di Thailand, Perancis, Jerman, Meksiko, dan Malaysia. Dia juga melakukan penelitian dan penggalian ke berbagai negara, di antaranya dua kali di Perancis, dan di Italia. Situs Sangiran di Sragen, dan situs manusia purba yang tersebar di Indonesia, hampir semua sudah ia datangi.
Sebagai ilmuwan muda, Harry –suami dari Dra Ganung Anggraini (39) dengan anak semata wayang, Padma Indranila (12) – punya sumbangan cukup besar dalam menggolkan situs Sangiran sebagai warisan dunia. Dia dengan beberapa arkeolog lain tahun 1994 diundang dalam sidang Unesco untuk menetapkan Sangiran sebagai warisan Dunia.
”Kami sempat mempresentasikan keunggulan Sangiran dalam sidang Unesco itu. Dan betapa bahagianya kami, ternyata Agustus 1995 Sangiran dinyatakan sebagai warisan dunia,” tegasnya.
Sebagai warisan dunia, menurut Harry, Sangiran perlu ditata, agar tidak ada lagi ”maling-maling” fosil tengkorak manusia yang harganya sampai Rp 3 milyar itu. Juga masalah pertanahan yang sekarang masih menjadi pemilikan penduduk juga perlu pemikiran. ”Kini Sangiran dinyatakan sebagai pusat studi prasejarah, khususnya menyangkut manusia purba di Asia Tenggara,” katanya.
Gugatannya yang terus menerus terhadap ilmu pengetahuan, khususnya pencarian nenek moyang manusia, membuat Harry jarang di rumah berkumpul dengan keluarga. Kalau tidak melakukan penelitian di dalam negeri, dia berangkat ke luar negeri. Bulan November ini, misalnya, dia baru pulang dari Cina untuk studi banding tentang pengamanan situs manusia purba di negara itu.
”Tetapi bukan karena saya pergi terus-menerus yang menyebabkan anak saya hanya satu dan sebenarnya harus sudah punya adik,” katanya
(th pudjo Widijanto)
Sumber: Kompas, Jum’at, 26 November 1999