Hanya 7,4 Persen Lulusan TI Bekerja di Sektor TI

- Editor

Senin, 30 April 2018

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Dari 1,44 juta orang lulusan teknologi informasi di Indonesia, hanya 7,4 persen yang bekerja di sektor tersebut. Ini ironi di zaman dengan industri teknologi informasi sedang tumbuh pesat.

Sisa yang masuk ke sektor lain, seperti di perdagangan besar dan eceran, yaitu reparasi dan perawatan mobil yang mencapai 24,49 persen serta sektor industri pengolahan 18,04 persen.

Dari 7,4 persen tersebut, berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) tahun 2017, lulusan TI yang bekerja sebagai teknisi dan asisten tenaga profesional di bidang TI hanya 11,75 persen serta tenaga profesional 10,9 persen.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

–Sebanyak 15 mahasiswa Indonesia dari berbagai perguruan tinggi berkesempatan mempelajari teknologi informasi dan komunikasi yang dikembangkan Huawei di China selama dua pekan, termasuk mempelajari jaringan 5G dan pemanfaatan teknologi informasi di berbagai bidang kehidupan.

Dengan kata lain, kata Kepala Pusat Data dan Informasi Ketenagakerjaan Kemenaker Suhartono, Minggu (29/4/2018), hanya 22,65 persen lulusan TI yang pekerjaannya sesuai dengan jurusan pendidikan. Sisanya bekerja pada pekerjaan yang membutuhkan kemampuan TI tingkat dasar, seperti kemampuan mengetik atau mengoperasikan komputer.

“Jumlah angkatan kerja lulusan TI semakin banyak dan aktif di pasar kerja. Tetapi, mereka kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan,” tutur Suhartono, saat dihubungi, Minggu (29/4/2018), di Jakarta.

Secara keseluruhan, tingkat pengangguran terbuka (TPT) lulusan TI bahkan lebih tinggi di atas TPT nasional, yaitu 17,3 persen dibandingkan dengan 5,5 persen.

Kurikulum
Suhartono mengatakan, terdapat beberapa faktor yang memengaruhi masih sedikitnya lulusan TI yang bekerja sesuai sektor. Faktor utama adalah kurikulum pendidikan yang masih perlu disesuaikan dengan kebutuhan pasar kerja saat ini.

Robihamanto (22), lulusan Fakultas Ilmu Komputer jurusan Teknik Informatika di sebuah universitas ternama di Malang, Jawa Timur, mengatakan, kurikulum yang diberikan universitas belum memenuhi permintaan industri saat ini, terutama dengan semakin maraknya kemunculan perusahaan rintisan.

Ia mencontohkan, kurikulum universitas belum mengajarkan coding secara mendalam, tetapi baru mengenai pemahaman dasar seperti mengenai logika dan alur program. Ia akhirnya mempelajari coding lebih jauh secara mandiri melalui internet, seperti cara menciptakan aplikasi berbasis iOS.

Selain itu, kata Suhartono, terdapat masalah tingkat pendidikan yang dibutuhkan pasar. “Tingkat pengangguran sekolah menengah kejuruan (SMK) justru lebih tinggi dibandingkan dengan sekolah menengah atas (SMA),” katanya.

Data dari Kemenaker menyebutkan, tingkat serapan lulusan TI di pasar kerja berdasarkan level pendidikan per 2017 adalah 73,3 persen bagi sekolah menengah kejuruan (SMK), diikuti oleh universitas 89,2 persen, dan akademi 92 persen.

–Teknologi informasi adalah satu program yang dijalani anak tunagrahita dalam ALPs University, yang dilaksanakan selama 2 hari, 20 hingga 21 Desember 2014, di Universitas Tarumanagara (UNTAR).

Informasi terbatas
Penyebab lain dari rendahnya serapan lulusan TI sesuai sektor adalah keterbatasan informasi pasar kerja. Suhartono mengatakan, banyak lulusan TI yang hanya memeroleh informasi pekerjaan di kota tempat tinggal.

“Misalnya, saya tinggal di Jawa, tetapi memilih tetap tinggal di sini. Padahal, di luar Jawa ada pekerjaan di bidang TI,” ujarnya.

Menurut Pelaksana Tugas Kepala Biro Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) Noor Iza, untuk mendukung kemajuan teknologi digital bangsa, tidak dapat dipungkiri sumber daya manusia (SDM) bangsa yang andal di bidang TI perlu ditingkatkan.

Dalam laporan The Economist Intelligence Unit (EIU) berjudul “Connecting Commerce: Business Confidence in the Digital Environment” tahun 2018, sebanyak 36 persen eksekutif perusahaan di Jakarta percaya, masalah terbesar Indonesia untuk berkembang di dunia digital akibat kekurangan SDM.

Suhartono mengatakan, pemerintah berupaya untuk mensinkronisasikan tenaga kerja dan kebutuhan industri dengan menyertakan pelatihan TI di Balai Latihan Kerja (BLK) yang tersebar di berbagai daerah. Saat ini, pemerintah memiliki sekitar 270 BLK.

Pelatihan TI itu bekerja sama langsung dengan perusahaan dan pemerintah daerah setempat agar sesuai dengan yang dibutuhkan perusahaan. “Pemerintah juga fokus pada pengembangan vokasi,” ujar Suhartono.

Belum ada data
Terkait jumlah pekerja di bidang TI yang dibutuhkan oleh Indonesia, Suhartono mengakui pemerintah masih mengumpulkan data yang dimaksud. Sejak empat bulan terakhir, pemerintah mendorong perusahaan-perusahaan di seluruh Indonesia untuk memasukkan data terkait jumlah dan jenis pekerja yang dibutuhkan.

“Ada sekitar 26 juta perusahaan skala kecil, menengah, dan besar. Tetapi, baru sekitar 15.000 perusahaan yang melapor secara daring,” kata Suhartono. Adapun pemerintah telah memeroleh data dari 260.000 perusahaan secara manual.

–Bursa Kerja Kementerian Ketenagakerjaan – Para pencari kerja antre untuk mengikuti bursa kerja yang diadakan Kementerian Ketenagkerjaan di Jakarta International Expo, Kemayoran, Jakarta, Jumat (23/9). Sekitar 5.000 lowongan pekerjaan disediakan oleh 74 perusahaan dalam bursa kerja yang akan berlangsung hingga hari ini tersebut.

Terkumpulnya data tersebut diharapkan dapat membantu analisa terkait kebutuhan pasar kerja Indonesia di berbagai sektor. Ia berharap agar perusahaan dapat bekerja sama dan segera mengirimkan data terkait hal tersebut.

Kewajiban perusahaan untuk melaporkan data disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 18 tahun 2017 tentang Tata Cara Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan Dalam Jaringan. DD13

Sumber: Kompas, 30 April 2018

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?
Wuling: Gebrakan Mobil China yang Serius Menggoda Pasar Indonesia
Boeing 777: Saat Pesawat Dirancang Bersama Manusia dan Komputer
James Webb: Mata Raksasa Manusia Menuju Awal Alam Semesta
Harta Terpendam di Air Panas Ie Seum: Perburuan Mikroba Penghasil Enzim Masa Depan
Haroun Tazieff: Sang Legenda Vulkanologi yang Mengubah Cara Kita Memahami Gunung Berapi
BJ Habibie dan Teori Retakan: Warisan Sains Indonesia yang Menggetarkan Dunia Dirgantara
Masalah Keagenan Pembiayaan Usaha Mikro pada Baitul Maal wa Tamwil di Indonesia
Berita ini 4 kali dibaca

Informasi terkait

Sabtu, 14 Juni 2025 - 06:58 WIB

Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?

Jumat, 13 Juni 2025 - 13:30 WIB

Wuling: Gebrakan Mobil China yang Serius Menggoda Pasar Indonesia

Jumat, 13 Juni 2025 - 11:05 WIB

Boeing 777: Saat Pesawat Dirancang Bersama Manusia dan Komputer

Jumat, 13 Juni 2025 - 08:07 WIB

James Webb: Mata Raksasa Manusia Menuju Awal Alam Semesta

Rabu, 11 Juni 2025 - 20:47 WIB

Harta Terpendam di Air Panas Ie Seum: Perburuan Mikroba Penghasil Enzim Masa Depan

Berita Terbaru

Artikel

James Webb: Mata Raksasa Manusia Menuju Awal Alam Semesta

Jumat, 13 Jun 2025 - 08:07 WIB