Kebutuhan Indonesia terhadap informasi geospasial untuk pemetaan wilayah masih sangat besar. Seiring pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN, di tengah minimnya sumber daya manusia bidang pemetaan, Indonesia berpotensi menjadi pasar bagi tenaga dan pengusaha informasi geospasial dari negara sekawasan.
Badan Informasi Geospasial (BIG) berupaya agar SDM dalam negeri mampu bersaing. Salah satu cara lewat akreditasi dan sertifikasi. “Namun, jika jumlahnya belum sesuai kebutuhan, tak tertutup kemungkinan (menggunakan tenaga asing),” kata Kepala BIG Priyadi Kardono di sela diskusi Penguatan Sumber Daya Manusia dan Industri Informasi Geospasial yang Berkualitas dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN, Senin (1/2), di Cibinong, Jawa Barat.
Profesi bidang informasi geospasial satu dari delapan profesi yang disetujui bersaing bebas di negara-negara anggota ASEAN.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Data BIG, kebutuhan SDM belum tercukupi. SDM bidang informasi geospasial (IG) 8.500 orang, sementara kebutuhan ideal pada 2015 mencapai 31.500 orang. Kebutuhan itu untuk menyusun peta dasar One Map Policy serta pembuatan sejumlah peta tematis, seperti peta hutan dan peta mangrove.
Di sisi lain, dari 8.500 tenaga itu, 7.030 orang (82 persen) berada di Jawa. Dari 107 perusahaan bidang IG, mayoritas terpusat di Jawa. Sementara kebutuhan daerah luar Jawa sangat tinggi untuk pemetaan wilayah, antara lain membuat rencana tata ruang dan wilayah. “Akibatnya, daerah kerap mendapatkan perusahaan abal-abal untuk membuat peta. Mengaku bisa, tapi peta tidak standar,” ujar Priyadi.
Masalahnya, lanjut dia, belum banyak institusi pendidikan yang bisa menghasilkan SDM informasi geospasial. Diperkirakan, hanya ada 14-20 perguruan tinggi dengan fakultas terkait IG. Di sisi lain, modal biaya mengikuti perkembangan teknologi terkini sangat besar dalam memproduksi informasi geospasial.
Gandeng kampus
Melalui Pusat Pengembangan Infrastruktur Data Spasial, BIG menggandeng 13 perguruan tinggi, di antaranya Universitas Syiah Kuala (Aceh), Institut Teknologi Bandung (Jawa Barat), Universitas Gadjah Mada (Yogyakarta), Universitas Diponegoro (Jawa Tengah), Institut Teknologi Sepuluh Nopember (Jawa Timur), dan Universitas Hasanuddin (Sulawesi Selatan).
BIG mendorong standar-standar kompetensi untuk akreditasi SDM informasi geospasial diadopsi kurikulum fakultas sehingga lulusan tinggal memperoleh penyetaraan. Nantinya, BIG akan menilai perguruan tinggi yang bekerja sama untuk diakreditasi sebagai lembaga sertifikasi SDM sehingga selain dapat ijazah, lulusan bidang IG langsung dapat sertifikat tenaga profesional.
Sekretaris Jenderal Dewan Pengurus Nasional Ikatan Nasional Tenaga Ahli Konsultan Indonesia (Intakindo) Mohammad Singgih mengatakan, BIG membentuk Kelompok Kerja Penilaian Kesesuaian untuk mengakreditasi lembaga sertifikasi kompetensi bidang IG. “Standar sertifikasi dan akreditasi kewajiban dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN,” katanya.
Singgih menambahkan, sertifikasi yang sudah diakui tingkat ASEAN baru sektor pemetaan darat. Lima sektor belum disepakati untuk diakui, yaitu penginderaan jauh, fotogrametri, sistem informasi geografis (GIS), hidrografi, dan kartografi.
Priyadi menuturkan, Indonesia baru menyetujui sertifikasi sektor pemetaan darat sebagai bentuk proteksi SDM dalam negeri. Sebab, dari 8.500 tenaga, lebih dari 50 persennya SDM sektor pemetaan darat. (JOG)
————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 Februari 2016, di halaman 14 dengan judul “Tenaga Minim, Indonesia Terancam Sebatas Pasar”.