Dengan 127 gunung api aktif, banyak bandar udara di Indonesia yang rentan terdampak letusan. Contoh terkini ialah penutupan Bandar Udara Sam Ratulangi di Manado, Sulawesi Utara, akibat letusan Gunung Soputan. Untuk itu, perlu rencana kontingensi sistem transportasi udara demi menekan kerugian ekonomi dan sosial akibat letusan gunung api.
“Sampai kini belum ada rencana kontingensi yang disiapkan otoritas bandara di Indonesia terkait dampak letusan gunung api. Begitu bandara ditutup, tak ada tindakan terencana sehingga merugikan warga,” kata Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana Sutopo Purwo Nugroho, di Jakarta, Rabu (6/1).
Saat Bandara Internasional Ngurah Rai di Bali ditutup akibat letusan Gunung Raung dan Rinjani, misalnya, penumpang berdatangan ke bandara karena sistem informasi tak memadai. Penumpang yang sampai di bandara menanti tanpa kepastian. “Ada maskapai yang menerbangkan pesawatnya, ada yang tidak. Terbang atau tidaknya seolah-olah diserahkan ke maskapai. Artinya, bandara di Indonesia belum siap menghadapi bencana,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ahli gunung api Surono mengkritik jadwal penutupan bandara akibat letusan gunung api. “Kok bisa bandara ditutup dari tanggal sekian sampai tanggal sekian karena letusan gunung. Dasarnya apa? Bagaimana kalau sampai tanggal ditentukan letusan masih tinggi? Seharusnya ada mekanisme lebih baik agar calon penumpang tak dirugikan,” kata Surono yang juga Staf Ahli Kebencanaan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Terkait hal itu, Surono mengusulkan forum bersama Badan Geologi, Direktorat Jenderal Penerbangan Udara, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika untuk menyusun rencana kontingensi atau kondisi tak pasti di bandara-bandara berpotensi terdampak letusan gunung. “Ini pernah dilakukan terkait letusan Gunung Lokon di Manado. Seharusnya bisa dilakukan secara nasional,” ujarnya.
Kerentanan sistem penerbangan di Indonesia terhadap dampak letusan gunung api amat tinggi. “Makin banyak bandara komersial dibangun di zona rentan. Misalnya, bandara di Malang yang dikepung banyak gunung api, semula hanya untuk militer, lalu jadi komersial. Risikonya tentu naik,” kata Surono,
Namun, adanya gunung api di sekitar bandara belum dihitung risikonya pada penerbangan. “Begitu bandara ditutup karena ada letusan gunung, tak tahu yang harus dilakukan. Seharusnya ada mekanisme cadangan, begitu gunung meletus, disiapkan transportasi pengganti seperti kapal atau jalur darat,” tuturnya.
Menurut catatan Kompas, dalam beberapa tahun terakhir, letusan gunung api menyebabkan ditutupnya sejumlah bandara di Indonesia. Misalnya, letusan Merapi tahun 2010 menyebabkan Bandara Adisutjipto di Yogyakarta ditutup hingga dua bulan.
Sementara letusan Raung di Jawa Timur pada Juli 2015 menyebabkan penutupan enam bandara, antara lain Bandara Internasional Ngurah Rai, Bali, dan Bandara Internasional Lombok Praya, Nusa Tenggara Barat. Akibatnya, ratusan penerbangan dibatalkan dan ada penumpukan ribuan penumpang. (AIK)
—————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 Januari 2016, di halaman 14 dengan judul “Kontingensi Penerbangan Perlu Disiapkan”.