Teknologi digital dan daring menjadi daya baru bagi anak muda mengembangkan ekonomi kreatif. ”Slipi-con Valley”, demikian sekelompok anak muda menyebut tempat mereka merintis usaha, terletak di gedung perkantoran di Slipi, Jakarta. Komputer dan tablet menjadi peranti mereka membuat dan memasarkan produk.
Di lantai enam gedung perkantoran di Slipi, Rabu (23/12), itu duduk berbaris lebih dari 20 anak muda, berusia 20-30 tahun, serius berkutat dengan komputer atau tablet masing-masing. Di tempat yang disebut Slipi-con Valley itu anak-anak muda menciptakan peluang sekaligus tantangan sendiri, menaklukkan gelombang perubahan.
Ruangan itu adalah kantor Mountain Kejora Ventures, perusahaan yang bergerak di bidang pengembangan usaha rintisan atau dikenal dengan start-up. Sebanyak 400 anak muda terlibat aktif di perusahaan itu untuk mengembangkan usaha masing-masing.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Briliant Yotenega (37), salah satu yang merintis usaha di tempat itu, mengatakan, Slipi-con Valley adalah pelesetan dari Silicon Valley, kawasan pengembangan peranti lunak di Amerika Serikat.
”Silicon Valley di Amerika itu erat dengan kelahiran Facebook dan Microsoft. Demikian pula tempat kami ini,” katanya.
Di sana, pria yang disapa Ega itu telah mengembangkan salah satu usaha rintisannya, yaitu Zetta Media. Sebelumnya, ia bersama tiga rekannya sukses membangun situs Nulisbuku.com. Situs itu merupakan usaha penerbitan mandiri dengan sistem mencetak sesuai permintaan.
Urus izin
Seseorang yang memiliki naskah dan ingin menerbitkannya tinggal masuk ke situs tersebut. Di dalam situs itu tersedia formulir dan format model buku. Ega dan timnya mengurus ISBN, sampul, hingga penjualan. Buku dijual minimal Rp 33.000 per buku. Penulis ikut menentukan harga buku.
KOMPAS/ADRIAN FAJRIANSYAH–Usaha secara daring kini lebih diminati karena lebih efisien, tidak memerlukan tempat, dan bisa berpromosi gratis, seperti yang dilakukan pengusaha daring di Jakarta, akhir pekan lalu.
Nulisbuku.com berawal dari impian agar para penulis bisa menerbitkan buku dengan mudah dan murah. Cara ini mendobrak sistem lama. Dalam sistem konvensional, sebuah buku lolos diterbitkan oleh penerbit jika berdaya jual tinggi. Padahal, karya yang berkualitas tak selalu sesuai dengan selera pasar.
Sebagai tempat merintis usaha, Mountain Kejora Ventures sudah menjalankan usaha sejak 2013. Saat ini, perusahaan itu mempunyai 25 perusahaan start-up yang semuanya digerakkan anak-anak muda. Karena usia yang masih muda, perusahaan-perusahaan ini belum menuai untung, namun sudah mempunyai pendapatan dan pangsa pasar.
Sebagai pengembang usaha rintisan, Mountain Kejora Ventures pun mendanai usaha yang dirintis tiap-tiap anak muda yang bergabung. Perusahaan itu juga memberikan ekosistem membangun usaha berbasis daring dengan mendatangkan mentor dari seluruh dunia serta bekerja sama dengan perusahaan telekomunikasi dan informatika, termasuk Facebook dan Amazon.
Google dan Microsoft adalah perusahaan yang tumbuh dari ekosistem seperti ini.
Dalam sepekan, menurut pendiri dan Managing Director Mountain Kejora Ventures, Sebastian Togelang (35), sebanyak 60 mentor didatangkan. ”Bagusnya lagi, para pelaku start-up ini bisa saling membantu. Kondisi ini sangat membantu untuk anak-anak muda,” katanya.
Sebastian yang mulai menggeluti bidang bisnis daring sejak 15 tahun lalu di Jerman itu berkeinginan menularkan ilmunya kepada kalangan muda. Saat ini, katanya, peluang ekonomi Indonesia dari bisnis daring sangat besar, ditunjang oleh jumlah penduduk yang besar.
Hal itu sama dengan perusahaan-perusahaan daring skala besar di dunia yang berkembang dari negara yang besar pula, seperti Amerika dan Tiongkok, sebut saja Amazon dan Alibaba.
Coba-coba
Dunia digital juga menjadi ladang bagi Yovita Gosali (26) dan Dian Rosita Dewi (28). Mereka membuat makanan dengan keunikan masing-masing. ”Saya awalnya coba-coba membuat puding isi vla, lama-lama, ya, jualan,” kata Yovita yang bergelar sarjana akuntansi ini.
Tiga tahun dihabiskan Yovita untuk percobaan membuat puding. Baru pada 2014, dia berhasil menemukan komposisi adonan puding isi vla yang nikmat. Hasil eksperimennya itu dipatenkan dan dijual dengan merek Flaffy Dashco pada 2015.
Yovita menjual puding buatannya secara daring di media sosial, seperti Instagram dan Path, serta situs penjualan daring. Menurut dia, media sosial efektif menjadi tempat dagang. Apalagi, semakin banyak orang yang menggunakannya seiring semakin meluasnya penggunaan ponsel pintar. ”Berjualan di media sosial juga gratis,” ujarnya.
Kini, Yovita pun mulai menjual produknya di sejumlah swalayan di Jakarta.
Sementara itu, Dian bersama rekannya merintis usaha makanan rumahan dalam kaleng dengan merek Deliki (Delicious Kitchen) pada Maret 2015. Kini, di usianya yang masih terbilang muda, dia telah memiliki perusahaan CV Bali Indah Catering.
Beberapa masakan yang dikembangkan adalah stik kentang goreng renyah, stik tuna kentang, dan tempe goreng renyah. Semua produk itu dijual melalui media sosial, seperti Instagram, Facebook, dan Line.
Omzet besar
Peminat produk Dian terus berkembang hingga ke Sumatera, Kalimatan, Sulawesi, dan Bali. Tak jarang konsumen memesan produk itu untuk bekal umrah ke Arab Saudi. Dian bisa menjual 200-300 kaleng produk Deliki per bulan. Harganya Rp 20.000-Rp 50.000 per kaleng. Artinya, mereka bisa mendapatkan omzet hingga Rp 15 juta per bulan.
Semangat tak pernah padam menjajal dunia digital juga dilakoni Aditya Dwi Putra (29) yang membuka situs Weddinq.com. Situs tersebut menjadi pasar maya bagi sedikitnya 80 vendor yang menawarkan jasa penyelenggara pernikahan. Vendor yang tergabung di situs itu meliputi usaha katering, perias pengantin, penyedia meja kursi dan tenda, serta jasa fotografer dan penata laksana adat pernikahan.
”Saya ingin pengantin mendapatkan apa yang mereka inginkan sesuai dengan anggaran yang mereka miliki,” ujarnya.
Situs Weddinq.com memberikan keleluasaan bagi konsumen untuk merencanakan pernikahan sesuai keinginan, disebut wedding request. Dengan layanan itu, calon pengantin juga bisa menyesuaikan pesta yang diinginkan dengan dana yang dimiliki.
Pada Agustus 2015, usaha Aditya peroleh keuntungan Rp 5 juta. ”Jumlahnya kecil karena ini usaha baru. Namun, saya optimistis bisa meraih pendapatan lebih besar karena pasar jasa pernikahan di Indonesia mencapai Rp 90 triliun,” katanya.
Kepala Program Studi Kewirausahaan Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung Wawan Dhewanto mengatakan, Indonesia memerlukan lebih banyak anak muda yang berwirausaha untuk membangkitkan ekonomi sekaligus memutus rantai kemiskinan yang timbul akibat banyaknya penganggur.
”Prodi Kewirausahaan ini pun baru berdiri 2013, menjawab tantangan zaman. Kami ingin lewat pendidikan lahir wirausaha yang matang dan mandiri,” ujar Wawan. (IRENE SARWINDANINGRUM/ADRIAN FAJRIANSYAH/RINI KUSTIASIH)
———————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Desember 2015, di halaman 1 dengan judul “Generasi Digital ala ”Slipi-con Valley””.