Generasi baru teknologi pemantau gelombang tsunami dipasang di Pulau Sebesi, pulau berpenghuni terdekat dari Gunung Anak Krakatau. Peralatan itu diharapkan memperkuat sistem peringatan dini tsunami di Selat Sunda. Sekalipun sudah dipasang peralatan, namun evakuasi mandiri tetap menjadi kunci keselamatan dari tsunami.
Selain di Pulau Sebesi, peralatan ini juga telah dipasang di Pantai Marina Jambu, Serang. “Masih ada enam alat lagi yang akan kami pasang di sekitar Selat Sunda. Selain mengantisipasi tsunami dari Anak Krakatau, hal ini juga berguna untuk antisipasi tsunami dari gempa di zona subduksi,” kata Semeidi Husrin, peneliti tsunami dari Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan Perikanan (BRSDMKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan, di Sebesi, Rabu (30/1).
KOMPAS/AHMAD ARIF–Pemasangan alat peringatan dini tsunami di Pulau Sebesi oleh tim dari Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan Perikanan (BRSDMKP) berkerjasama dengan Ikatan Ahli Tsunami Indonesia dan Joint Research Centre of European Commission (JRCEC), Rabu (30/1/2019). Pulau berpenduduk 2.800 jiwa ini berada paling dekat dengan kompleks Anak Krakatau.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pemasangan peralatan ini merupakan kerjasama antara BRSDMKP dengan Ikatan Ahli Tsunami Indonesia dan Joint Research Centre of European Commission (JRCEC). Pemasangan juga didukung Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Sebelumnya di Pulau Sebesi juga sudah dipasang stasiun pasang surut oleh Badan Informasi Geospasial dan Stasiun Meteorologi.
“Peralatan ini merupakan generasi baru pemantau tsunami. Awalnya kami kembangkan setelah terjadinya tsunami akibat runtuhnya gunung api Stromboli di Italia tahun 2003. Sejak tahun 2014, kami sudah pasang 30 alat pemantau tsunami ini di sekitar Laut Mediterania. Harapannya, ini bisa ikut memantau tsunami di sini,” kata Alessandro Annunziato, peneliti dari JRCEC.
Alat itu merupakan hibah dari JRCEC dan saat ini masih untuk kepentingan riset, namun datanya bisa dimanfaatkan instansi berwenang seperti BMKG. “Setiap unit yang dipasang sudah dilengkapi chip yang bisa mengolah data dan langsumg memberi peringatan jika ada anomali perubahan muka air tiba-tiba karena tsunami, selain juga dilengkapi kamera CCTV untuk mengonfirmasi perubahan yang terjadi,” ujarnya.
KOMPAS/AHMAD ARIF–Setiap unit yang dipasang sudah dilengkapi chip yang bisa mengolah data dan langsumg memberi peringatan jika ada anomali perubahan muka air tiba-tiba karena tsunami, selain juga dilengkapi kamera CCTV untuk mengonfirmasi perubahan yang terjadi. Alat ini juga secara otomatis mengirim peringatan ke masyarakat sekitar melalui SMS dan email yang terdaftar.
Transmisi data amat cepat
Semeidi mengatakan, salah satu keunggulan alat ini adalah transmisi datanya sangat cepat, yaitu bisa tiap lima detik. “Kecepatannya memang dipengaruhi sinyal telepon seluler di daerah tersebut, tetapi tetap lebih cepat dari stasiun tranmisi sejenis,” ujarnya.
Kecepatannya memang dipengaruhi sinyal telepon seluler di daerah tersebut, tetapi tetap lebih cepat dari stasiun tranmisi sejenis.
Ia mencontohkan, informasi dari Stasiun Pasang Surut BIG yang di Pulau Sebesi, rata-rata mengirim data sekitar 9 menit. Sementara dari peralatan itu rata-rata 24 detik. Padahal, untuk memberi peringatan tsunami, kecepatan transmisi data dari sistem pemantau perubahan muka air amat penting karena akan memberi periode emas untuk evakuasi. Dengan memasang alat deteksi di Pulau Sebesi, itu diharapkan memberi waktu cukup bagi warga di Lampung dan Banten.
“Alat itu juga bisa secara otomatis mengirim peringatan ke masyarakat sekitar melalui SMS dan email yang terdaftar. Namun, untuk melindungi masyarakat Sebesi, kedepan harapannya bisa pasang alatnya di sekitar Anak Krakatau, bisa di Pulau Sertung, Rakata atau Panjang. Tapi, ini butuh dukungan pembangunan jaringan seluler,” ujarnya.
Menurut Semeidi, peralatan itu jauh lebih murah untuk pengadaan maupun perawatannya. Untuk pengadaannya sekitar 2.500 euro per unit, dibandingkan peralatan sejenis yang bisa 10 kali lipat harganya. Adapun untuk operasional cukup mengisi sinyal data telpon seluler sekitar Rp 100.000 per bulan, dan penggantian baterai untuk solar panel dua tahun sekali.
“Dengan berbagai kelebihan ini, kami merekomendasikan alat ini bisa digunakan untuk kepentingan teknis pemantauan tsunami di Indonesia. Sebagai alternatif, sulitnya menjaga keberlanjutan buoy tsunami dulu karena biaya perawatannya sangat mahal,” ungkapnya.
Saat dihubungi secara terpisah, Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG Daryono mengapresiasi pemasangan peralatan sensor tsunami ini. Setelah tsunami pada 22 Desember 2018 lalu, BMKG juga sudah memasang alat pematauan perubahan muka air di Pulau Sebesi, demikian halnya BIG, namun kedua alat itu sebenarnya belum didesain khusus untuk memberi informasi dini tsunami.
Ketua Ikatan Ahli Tsunami Indonesia Gegar Prasetya mengatakan, sistem peringatan dini tsunami sangat dibutuhkan Indonesia, yang memiliki kerentanan amat tinggi. Akan tetapi, peringatan dini berbasis peralatan memiliki keterbatasan, terutama menghadapi tsunami yang dipicu gempa dengan sumber dekat dan waktu tiba sangat cepat, seperti terjadi di Palu pada 2018 lalu.
Maka dari itu, menurut Gegar, sangat penting diajarkan ke masyarakat untuk mengenali sumber bahaya dan evakuasi mandiri. Gempa kuat harus menjadi alarm untuk segera menjauh dari pantai. Sistem peringatan dini berbasis peralatan itu hanya akan efektif untuk melindungi warga yang sumber tsunaminya relatif jauh atau karena letusan gunung api seperti Anak Krakatau.
Oleh AHMAD ARIF
Sumber: Kompas, 31 Januari 2019