Home / Berita / Fenomena Berulang

Fenomena Berulang

Ribuan orang mengungsi akibat bencana banjir pasang atau rob yang melanda pantai utara dan pesisir selatan Jawa serta pantai barat Sumatera. Dampaknya luas. Alam memiliki sistem dinamikanya.

Kejadian ini bukan hal baru. Sekitar sembilan tahun lalu terjadi fenomena serupa. Kejadian pasang surut merupakan fenomena alam biasa, yang terjadi secara periodik sesuai dengan posisi antara Matahari, Bumi, dan Bulan. Saat ketiganya berada pada posisi segaris, terjadilah pasang surut akibat gaya gravitasi yang tarik-menarik antarbenda langit tersebut.

Beberapa hari lalu, posisi ketiganya berada pada satu garis. Prakirawan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Maritim Semarang Wahyu Sri Mulyani mengatakan, rob tahun ini terjadi cukup parah. Hal itu tak lepas dari adanya gaya gravitasi akibat posisi Bumi, Bulan, dan Matahari yang sejajar.

Di kabupaten atau kota tertentu, kejadian ini biasanya diikuti dengan rob, air laut melimpah ke daratan. Tahun ini, lebih dari sepuluh daerah di sepanjang pantai barat Sumatera, pesisir selatan Jawa, pantai utara Jawa, dan pantai utara Bali mengalami rob.

Gelombang pasang (tidalflooding) berulang kali terjadi di Indonesia. Posisi Indonesia secara geografis berada di antara dua samudra utama: Samudra Hindia dan Samudra Pasifik.

Sungguh tidak mudah menentukan penyebab terjadinya rob kali ini. Berbagai pendekatan bisa dicobakan. Pemanasan global penyebab perubahan iklim yang diperkirakan menaikkan muka air laut, menurut Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Edvin Aldrian, tak cukup signifikan. Sebab, kenaikannya hanya dalam hitungan milimeter.

Dilihat dari sisi astronomi, apakah akibat kedekatan planet dengan Bumi? Jelas bukan, karena jarak planet-Bumi terlalu jauh.

Beberapa pakar kelautan dan meteorologi menyatakan butuh waktu untuk bisa secara jernih menjelaskan fenomena tersebut. Faktor penyebabnya tidak tunggal.

Seperti mangkok
Indonesia, yang berada di antara dua samudra utama yang menjadi mesin iklim global, kata pakar dan pengamat pasang surut dan geodesi Parluhutan Manurung, bentuknya ibarat mangkok.

Menurut Parluhutan, saat ini terjadi swell dari Samudra India. Swell merupakan gelombang permukaan yang panjang (alun). Cukup stabil dan arah perambatannya lebih konstan dibandingkan gelombang biasa. Swell muncul akibat tekanan tinggi yang berlangsung terus-menerus dan ada angin yang stabil.

Dari data Badan Atmosfer dan Kelautan Nasional Amerika Serikat (National Oceanic and Atmospheric Administration-NOAA), swell itu tampak merambat di sepanjang pantai selatan.

“Di pantai selatan itu, orang menganggap ini tsunami, padahal ini pasang saja. Ini diperparah karena supersisi (saling memperkuat) dengan cuaca (fenomena La Nina),” kata Parluhutan.

Dari pengamatan pasang surut, ada deviasi (penyimpangan) dari prediksi dengan pengamatan riil. “Sampai 20-30 sentimeter,” kata Parluhutan. Tambah lagi, gelombang bisa naik 2-3 sentimeter.

Soal dampak yang besar, menurut Parluhutan, “Kondisi kita ini kian rawan karena orang menggerus pantai. Hutan bakau tidak ada lagi.”

“Saya khawatir, di Jawa, penurunan tanah (akibat pembangunan) terus terjadi. Akibat penurunan tanah, tanggul ditinggikan. Terus berulang. Jangan ada klaim, tanggul dibuat untuk mengatasi pemanasan global (baca: perubahan iklim). Penurunan tanahnya yang signifikan. Itu salah kaprah,” kata Parluhutan. (ISW)
—————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 Juni 2016, di halaman 1 dengan judul “Fenomena Berulang”.

Share

Leave a Reply

Your email address will not be published.

%d blogger menyukai ini: