Etnoastronomi; Terlena Sorot Mata Sang Gadis Jelita

- Editor

Minggu, 11 Mei 2014

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Syahdan, melintas seorang gadis jelita. Hendak mengantarkan sesaji untuk Dewata. Sorot matanya yang tajam melenakan orang-orang yang tengah bekerja membangun wisma. Setelah sang kenya berlalu, mereka pun terjaga. Tak dinyana, rumah yang mereka bangun berdiri miring, tak sempurna.

Kilau mata wanita ayu dalam cerita itu menginspirasi penamaan Lintang Wulanjar Ngirim, dua bintang terang di langit malam belahan Bumi selatan. Sinar mata sang gadis diibaratkan bintang yang secara internasional dinamai Alfa Centauri dan Beta Centauri.

Rumah miring yang dibangun pun diabadikan sebagai nama Lintang Gubuk Péncéng atau Lumbung. Sebagian masyarakat Indonesia mengenalnya sebagai rasi Layang-layang. Warga dunia menyebutnya Crux atau Southern Cross (Salib Selatan).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Dalam beberapa cerita, gadis jelita itu disebut janda muda yang mengantarkan makanan ke sawah. ”Karena berakar dari budaya lisan, banyak terjadi variasi cerita di sejumlah daerah,” kata peneliti etnoastronomi yang juga pembina Himpunan Astronomi Amatir Jakarta Widya Sawitar, Jumat (9/5).

Secara harfiah, lintang yang merupakan bahasa Jawa berarti bintang. Kata ini berlaku untuk semua benda bersinar di langit malam. Masyarakat Jawa di masa lalu belum mengenal pembedaan antara bintang, rasi, planet, komet, dan galaksi.

Widya menambahkan, belum diketahui pasti apakah nama gadis atau janda itu adalah Wulanjar. Dalam Babad Tanah Jawi Buku I karya R Ng Yasadipura yang diterjemahkan Amir Rochkyatmo, 2004, tertera nama Nyai Wulanjar, janda tanpa anak dari Tarub yang menemukan bayi laki-laki yang kelak menjadi Jaka Tarub. Namun, kedua hal itu diyakini tak berkaitan.

”Legenda Wulanjar Ngirim sudah ada jauh sebelum buku itu ditulis,” kata dia.

Transfer pengetahuan
Kisah serupa Wulanjar Ngirim juga ada dalam mitologi masyarakat Bugis di Pulau Balobaloang, yang terletak di tengah Laut Flores, Sulawesi Selatan. Bintang Alfa Centauri dan Beta Centauri itu disebut bintoéng balué atau bintang sang janda, sedangkan Crux dikenal sebagai bintoéng bola képpang atau bintang rumah miring.

PrintGene Ammarell dalam Navigasi Bugis, 2009, menuliskan kisah yang ada di masyarakat Bugis. Ketika itu, seorang tukang kayu sedang membangun rumah. Tanpa disadari, ia terus memotong tiang rumah itu hingga rumah miring karena tiang tidak sama tinggi. Penyebabnya, tetangganya yang janda cantik mengganggunya.

Cerita ini bisa jadi berbeda pada masyarakat Bugis yang mendiami wilayah lain, khususnya di Pulau Sulawesi.

Guru Besar Emeritus Astronomi Institut Teknologi Bandung Bambang Hidayat meyakini, kemiripan cerita mitologi Jawa dan Bugis terhadap bintang Alfa Centauri-Beta Centauri dan Crux menunjukkan hubungan dan transfer pengetahuan budaya antarbangsa sudah terjalin sejak dulu di Nusantara.

”Sebab, tak mungkin puluhan suku bangsa yang bebas bisa mengenal fenomena dengan pemaknaan sama,” kata dia. Cerita serupa ditemukan di bangsa lain dari ujung Sumatera hingga Pulau Bougainville di Papua Niugini.

Mitologi berbeda ada dalam cerita Yunani dan Romawi. Alfa Centauri-Beta Centauri adalah dua bintang yang merupakan kaki depan Centaurus, manusia yang bagian perut ke bawah berupa kuda. Bersama Crux, masyarakat Yunani Kuno mengabadikan manusia setengah kuda itu sebagai rasi Centaurus.

Di masa kini, rasi itu tak bisa disaksikan di wilayah Yunani modern. Pada tahun 1000 sebelum Masehi, rasi ini bisa dilihat jelas di Athena meski posisinya amat rendah. Situs Globe at Night yang dikelola Observatorium Astronomi Optik Nasional (NOAO), Amerika Serikat menyebut, akibat presesi atau gerak sumbu rotasi Bumi, Centarus dan Crux tak bisa dilihat lagi di Yunani sejak 400 Masehi.

Penampakan
Saat ini, Alfa Centauri-Beta Centauri dan Crux mudah diamati di seluruh Indonesia. Hanya dengan mengarahkan pandangan ke selatan selepas magrib, dua kelompok bintang itu cepat dikenali. Crux berbentuk seperti layang-layang dan Alfa Centauri-Beta Centauri yang amat terang ada di kiri Crux.

Di Jakarta pun, kedua kelompok bintang itu bisa diamati, seperti terlihat akhir April lalu. Syaratnya, langit bersih dan tidak berawan. Mendung sepanjang pekan ini membuat keduanya tak terlihat sebagaimana terjadi Jumat (9/5) malam.

Waktu terbaik mengamati Alfa Centauri-Beta Centauri dan Crux adalah April sampai Juli. Mereka bisa dilihat di sebagian besar malam. Kedua lintang itu masih bisa disaksikan sampai September.

Fungsi
Masyarakat Jawa yang agraris memaknai kemunculan Gubuk Péncéng atau Lintang Lumbung sebagai tanda makin dekatnya musim kemarau. Dalam pranata mangsa atau sistem penanggalan pertanian Jawa, Lintang Lumbung adalah penanda mangsa (musim) ke-11 atau dhesta, yaitu 19 April-11 Mei.

Seri Lawasan: Pranata Mangsa, 2011 yang ditulis berdasarkan katalog pameran Ana Dina Ana Upa: Pranata Mangsa yang ditulis Sindhunata menyebut musim ke-11 itu ditandai curah hujan kian berkurang dan petani mulai memanen tanaman.

Daun mulai berguguran, hama wereng dan aneka kutu muncul. Musim ini merupakan waktu yang tepat menanam sayuran dan kacang-kacangan, seperti kacang hijau, kacang tolo (Vigna unguiculata) untuk sayur, atau kacang benguk (Mucuna pruriens) untuk pengganti kedelai pada pembuatan tempe.

Sementara itu, masyarakat maritim Bugis memanfaatkan terlihatnya bintang-bintang itu sebagai penanda arah. Terbitnya bintoéng balué dan bintoéng bola képpang selepas magrib menandai dimulainya puncak pelayaran pelaut Bugis. Kemunculan kedua bintoéng itu bersamaan dengan bertiupnya angin muson timur sebagai pendorong kapal pinisi untuk berlayar ke penjuru barat Nusantara.

Ammarel menjelaskan, Alfa Centauri dan Beta Centauri juga disebut sebagai bintoéng sallatang atau bintang selatan. Ia dipakai sebagai penanda arah pelaut Bugis yang berlayar dari Makassar ke arah selatan, seperti ke Pulau Balobaloang atau Bima di Pulau Sumbawa. Adapun Crux digunakan sebagai penanda perubahan cuaca.

Widya berpendapat berbeda. Bintang yang menjadi penanda arah selatan adalah Crux karena jauh lebih mudah dikenali. Adapun Alfa Centauri-Beta Centauri jadi pengganti penunjuk arah selatan jika Crux tertutup awan. Alfa Centauri dan Beta Centauri terbit dan terbenam satu jam lebih lambat daripada Crux.

Sebagai penanda arah selatan, Crux dipakai para pelaut Eropa untuk menjelajah Bumi selatan, termasuk mencari rempah-rempah ke Nusantara lima abad silam. Untuk pertama kali sejak 400 Masehi, orang Eropa kembali melihat Crux. Pentingnya Crux sebagai penanda Bumi selatan membuat Australia, Selandia Baru, Papua Niugini, dan Brasil menyematkan gambar Crux di bendera negara mereka.

Oleh: M Zaid Wahyudi

Sumber: Kompas, 11 Mei 2014

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 15 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:13 WIB

Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom

Rabu, 23 Maret 2022 - 08:48 WIB

Gelar Sarjana

Minggu, 13 Maret 2022 - 17:24 WIB

Gelombang Radio

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB