Eksploitasi Lebihi Daya Dukung

- Editor

Jumat, 11 Desember 2015

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Pemulihan Danau dan Sungai Butuh Pendekatan Khusus
Eksploitasi perairan darat, seperti danau dan sungai, tidak memperhatikan karakter khas ekosistem. Akibatnya, harapan datangnya keuntungan justru berbuah bencana, seperti banjir, kekurangan air bersih, dan terganggunya aktivitas ekonomi itu sendiri.


“Ekosistem perairan darat mendapat tekanan eksternal dari aktivitas manusia. Ekosistem merespons dengan mencari keseimbangan,” kata Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Iskandar Zulkarnain di sela Pertemuan Ilmiah Tahunan Masyarakat Limnologi Indonesia 2015 bertema “Tantangan Terkini Perairan Darat di Wilayah Regional Tropis: Menyongsong World Conference 2016” di Cibinong, Jawa Barat, Kamis (10/12).

Tekanan utama akibat aktivitas manusia terhadap ekosistem perairan darat, di antaranya berupa eutrofikasi (melimpahnya unsur hara berupa nitrogen dan fosfor), pencemaran, dan sedimentasi. Iskandar mengatakan, upaya ekosistem perairan darat mencari keseimbangan untuk beradaptasi terhadap tekanan eksternal itu mewujud dalam bencana. Contohnya, kematian massal ikan di Danau Maninjau, Sumatera Barat, yang disebabkan berlebihnya jumlah keramba jaring apung untuk budidaya ikan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

736dabad19e9497c9868b9e6d18d0f6cKOMPAS/ICHWAN SUSANTO
Danau Limboto di Gorontalo, satu dari 15 danau prioritas yang akan diselamatkan, hingga kini masih terus mengalami tekanan akibat sedimentasi, seperti terlihat Kamis (10/12). Kondisi itu membuat luas Limboto semakin menyempit dari 7.000 hektar pada tahun 1932 kini hanya tinggal sekitar 2.500 hektar.

Direktur Pengendalian Kerusakan Perairan Darat, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Hermono Sigit mengatakan, gangguan ekosistem pada perairan darat akibat aktivitas ekonomi akhirnya berbalik menghambat aktivitas manusia. Salah satunya, Danau Rawa Pening di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, yang mengalami eutrofikasi.

Unsur hara yang menyebabkan eutrofikasi berasal dari peternakan dan pupuk pertanian di sekitar danau dan pakan ikan pada keramba jaring apung. Eutrofikasi pun mengakibatkan lonjakan populasi eceng gondok (Eichhornia crassipes) yang menutupi 70 persen badan danau seluas 2.670 hektar tersebut.

Kondisi itu mengganggu pasokan air untuk pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Masalah sama juga terjadi di Waduk Jatiluhur, Waduk Cirata, dan Waduk Saguling di Jawa Barat.

Dampak buruk
Selain eutrofikasi, lanjut Sigit, Danau Rawa Pening mengalami masalah pendangkalan akibat pengendapan material di dasar danau. Akibatnya, penduduk di sekitar Rawa Pening dibayangi banjir. Kompas (20/5/2010) mencatat, air Rawa Pening meluap dan menggenangi sekitar 200 rumah di Kabupaten Semarang.

“Banjir di sekitar kawasan danau bisa dipastikan karena sedimentasi. Solusinya mengurangi sedimen,” ujar Sigit. Selain Rawa Pening, danau paparan banjir lainnya yang butuh penanganan adalah Danau Limboto di Gorontalo, Danau Tempe (Sulawesi Selatan), serta Danau Semayang dan Melintang (Kalimantan Timur).

Pakar limnologi LIPI Gadis Sri Haryani menuturkan, solusi sudah tersedia. Bahkan, bisa memberi manfaat tambahan, seperti ditunjukkan percontohan perbaikan ekosistem Danau Limboto yang dikerjakan Pusat Penelitian Limnologi LIPI.

Tahun 1932, luas Danau Limboto 7.000 ha dengan kedalaman 30 meter, yang menyusut menjadi sepertiga, yakni 2.571 ha, dan kedalamannya tinggal 2-3 meter pada 2007. Hal itu disebabkan sedimentasi material yang terbawa sungai-sungai yang bermuara ke danau ini. Akibatnya, kapasitas danau menampung air berkurang sehingga banjir semakin sering terjadi di Gorontalo.

Pusat Penelitian Limnologi LIPI juga menerapkan penggalian dengan sistem terasering (membuat teras-teras) di dalam air. Itu membuat tanaman air tumbuh subur. Tanaman air menjadi tempat hidup ikan sehingga produktivitas perikanan naik. Selain itu, bahan galian menjadi pupuk tanaman jagung sehingga perbaikan ekosistem juga berkontribusi pada pertanian.

Namun, Gadis mengingatkan, solusi bagi danau lain tidak serta-merta bisa disamakan. Karakter tiap danau khas, yang membutuhkan pemahaman seluruh pihak, tidak hanya kalangan akademisi.

Dengan kata lain, pelaksanaan perbaikan ekosistem perairan darat membutuhkan peran seluruh pihak, terutama pemerintah daerah dan masyarakat.(JOG)
————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 Desember 2015, di halaman 13 denga

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Melayang di Atas Janji: Kronik Teknologi Kereta Cepat Magnetik dan Pelajaran bagi Indonesia
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes
Kalender Hijriyah Global: Mimpi Kesatuan, Realitas yang Masih Membelah
Berita ini 9 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Jumat, 4 Juli 2025 - 17:25 WIB

Melayang di Atas Janji: Kronik Teknologi Kereta Cepat Magnetik dan Pelajaran bagi Indonesia

Jumat, 27 Juni 2025 - 14:32 WIB

Zaman Plastik, Tubuh Plastik

Berita Terbaru

Artikel

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Senin, 7 Jul 2025 - 08:07 WIB

Fiksi Ilmiah

Bersilang Nama di Delhi

Minggu, 6 Jul 2025 - 14:15 WIB

Artikel

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Sabtu, 5 Jul 2025 - 07:58 WIB