Eksistensi Sejarawan pada Masa Depan Terancam

- Editor

Kamis, 5 Desember 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Di banyak negara, semakin sedikit orang yang bisa mendapatkan pekerjaan sebagai sejarawan. Banyak universitas yang menutup jurusan Sejarah. Akses informasi yang terbuka luas jadikan orang mudah mencari tahu banyak hal.

Tanpa kemampuan retorika yang mumpuni dalam menyampaikan pengetahuan, keberadaan sejarawan pada masa depan dipastikan akan terancam. Akses informasi yang terbuka luas melalui teknologi menjadikan orang dapat mudah mencari tahu banyak hal, termasuk pengetahuan kesejarahan.

Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) Hilmar Farid mengatakan, sejarawan tidak bisa lagi hanya bersandar pada akumulasi pengetahuan seabrek. Sebab, saat ini orang sudah dengan mudah mengakses informasi sejarah melalui teknologi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

”Kalau dulu kita amat percaya pada dosen-dosen kita. Sekarang, kalau dosen mengajar, mahasiswanya bisa langsung mengecek di Google,” katanya dalam Seminar Sejarah 2019 dalam rangka Peringatan Hari Sejarah Indonesia di Jakarta, Rabu (4/12/2019).

Merujuk pada The Future of History (2011) karya John Lukacs, Hilmar mengatakan, ketika sejarah mengalami krisis sebagai ilmu pengetahuan, yang membedakan antara sejarawan dan kebanyakan orang adalah kemampuan retorikanya. Sejarawan harus pandai menjahit cerita dan narasi yang menarik.

”Retorika ini menjadi kemampuan sejarawan secara khusus. Selain itu perlu dikombinasikan dengan pengetahuan dan metode sejarahnya,” tambahnya.

KOMPAS/FAJAR RAMADHAN–Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) sekaligus Ketua Masyarakat Sejarah Indonesia Hilmar Farid.

Menurut Hilmar, kemampuan tersebut menjadi karakteristik sejarawan pada masa depan. Sebab, jika sejarawan masih bertahan dengan metode penyampaian seperti 20 hingga 30 tahun silam, dapat dipastikan eksistensinya tidak akan bertahan lama.

”Di banyak negara, semakin sedikit orang yang bisa mendapatkan pekerjaan sebagai sejarawan. Banyak universitas yang menutup jurusan sejarah,” ungkapnya.

Kalau dulu kita amat percaya pada dosen-dosen kita. Sekarang, kalau dosen mengajar, mahasiswanya bisa langsung mengecek di Google

Dalam kunjungannya ke salah satu museum Kerajaan Belanda beberapa waktu lalu, Hilmar mendapatkan pengakuan dari para peneliti di perpustakaan tersebut. Mereka mengakui bahwa posisinya sebagai sejarawan kini menurun seiring dengan dibukanya akses pengetahuan kepada publik.

Dulunya, para peneliti tersebut merasa memiliki kelebihan, yakni akses yang terbatas dan eksklusif terhadap sumber. Seluruh khazanah pengetahuan dalam arsip dan pengetahuan yang dianggap sebagai inner sanctum atau tempat suci bisa mereka dapatkan. Namun, hal itu berubah setelah arsip-arsip tersebut dibuat dalam versi daringnya.

”Naskah yang dulu hanya diketahui oleh segelintir ahli, sekarang menjadi pengetahuan umum,” kata Hilmar yang juga sebagai Ketua Masyarakat Sejarah Indonesia.

Disrupsi
Pada zaman yang serba tidak pasti seperti sekarang, Hilmar menegaskan bahwa disrupsi terjadi di banyak bidang. Semakin lama, batas-batas keilmuan menjadi semakin kabur karena semua orang bisa berbicara tentang banyak hal termasuk sejarah. Faktor penggerak utamanya tentu adalah teknologi.

”Di kalangan sejarawan, ada pihak yang menyambut baik kemajuan teknologi, ada pula yang waswas karena memiliki sisi yang tidak mengenakkan,” katanya.

IMG_20191205_092604.jpgKOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA–Pengendara melintasi depan Gedung tua bekas Sekolah Taman Siswa yang saat ini dalam proses revitalisasi di Surabaya, Jawa Timur, Rabu (2/10/2019). Saat ini Pemerintah Kota Surabaya sedang merevitalisasi bangunan tua tersebut untuk kemudian dijadikan Museum Pendidikan Kota Surabaya. Selain gedung tersebut sejumlah kawasan tua kota tidak luput dari revitalisasi untuk menguatkan Kota Surabaya sebagai Kota Sejarah.

Bagi sejarawan, disrupsi tersebut menghasilkan tuntutan baru. Dalam 50 tahun terakhir, ada kecenderungan bagi para sejarawan untuk memahami hal-hal yang spesisifik ketimbang generalis. Namun, kini keadaannya justru berbalik. Banyak orang justru dituntut untuk menjadi generalis.

Konsep dari spesialis adalah tau banyak tentang sedikit hal, sedangkan generalis adalah tau sedikit tentang banyak hal. Tuntutan ini bahkan juga muncul di universitas-universitas. Persoalan ini, kemudian menyebabkan banyak orang berbakat yang kesulitan mendapatkan pekerjaan.

”Beberapa rekan dosen sejarah saya di luar negeri dituntut untuk belajar banyak hal. Padahal, mereka dilatih untuk menjadi spesialis,” katanya.

Keterbukaan informasi harus dijadikan senjata oleh sejarawan dalam mendapatkan informasi secara cepat. Jika tidak, maka mereka akan tertinggal, termasuk dengan mahasiswa atau murid yang diajar.

Sejarawan Anhar Gonggong mengatakan, keterbukaan informasi harus dijadikan senjata oleh sejarawan dalam mendapatkan informasi secara cepat. Jika tidak, mereka akan tertinggal, termasuk dengan mahasiswa atau murid yang diajar.

”Cara menulis buku sejarah saat ini juga sudah berbeda. Sudah tidak mungkin kita menuliskan sejarah dengan cara-cara ilmiah.

KOMPAS/AGUS SUSANTO–Pekerja dalam restorasi Jembatan Gantung Kota Intan di kawasan Kota Tua, Jakarta Barat, Senin (23/9/2019). Jembatan tua peninggalan Belanda yang dibangun pada 1628 itu direstorasi oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) DKI Jakarta. Jembatan Kota Intan dilengkapi dengan semacam pengungkit untuk menaikkan sisi bawah jembatan.

Menurut Anhar, anak muda saat ini menghendaki hal-hal yang sederhana dan dapat ditangkap dengan segera. Oleh sebab itu, narasi-narasi tentang sejarah perlu disampaikan melalui bahasa-bahasa sastra. Bahkan, dengan puisi sekalipun.

Menjenuhkan
Sementara itu, Anhar juga mencermati problem pemelajaran sejarah di sekolah formal. Selama ini, materi sejarah yang diajarkan hampir sama pada setiap jenjang sehingga terkesan menjenuhkan. Meski begitu, kepiawaian guru saat mengajar dapat mengeliminasi kejenuhan siswa tersebut.

”Saya sendiri tertarik belajar sejarah karena melihat guru SMP saya mengajar. Tidak sekadar menyampaikan materi, tetapi ia juga pandai berkisah dan memainkan imajinasi siswa,” katanya.

KOMPAS/FAJAR RAMADHAN–Sejarawan Anhar Gonggong.

Guru Sejarah SMA Negeri 1 Geger Madiun Galih Puji Mulyadi menilai bahwa akses informasi yang luas mengenai sejarah bukan menjadi ancaman. Menurut dia, peran guru di sekolah adalah menanamkan nilai, sedangkan fungsi Google adalah menanamkan pengetahuan.

”Tidak masalah siswa mencari informasi dari perangkat lain, tetapi nilai hanya bisa ditanamkan oleh guru,” katanya.

Menurut Galih, nilai tersebut harus merasuk pada psikologis para siswa. Beberapa caranya misal dengan mengajarkan sejarah pemberontakan PKI di lokasi pembantaian PKI. Dengan begitu, materi tersebut akan terus melekat di benak siswa.

Oleh FAJAR RAMADHAN

Editor KHAERUDIN KHAERUDIN

Sumber: Kompas, 4 Desember 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Berita ini 0 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:17 WIB

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 16:09 WIB

Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Rabu, 24 April 2024 - 13:06 WIB

Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel

Rabu, 24 April 2024 - 13:01 WIB

Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina

Rabu, 24 April 2024 - 12:57 WIB

Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB