Perlu Partisipasi Pemangku Kepentingan Lebih Luas
Kesadaran akan pentingnya pendidikan pola hidup sehat aktif mulai merambah jenjang pendidikan usia dini dan sekolah dasar. Pemahaman tentang hal itu melalui sekolah dinilai efektif untuk meningkatkan pengetahuan sekaligus mengubah perilaku guru, siswa, dan keluarga.
Ketua Umum Pengurus Pusat Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini Indonesia Netti Herawati di Jakarta, Rabu (23/8), mengatakan, masalah gizi anak Indonesia, termasuk stunting (tubuh pendek), jadi keprihatinan bersama. Lewat pendidikan anak usia dini, para pendidik diajak berperan aktif mengedukasi siswa dan orangtua untuk memperhatikan kecukupan gizi anak-anak.
Netti yang merupakan Guru Besar Gizi dan Pangan Universitas Riau mengingatkan, salah satu tujuan pendidikan adalah membuat peserta didik sehat. Seharusnya peningkatan angka partisipasi kasar pendidikan anak usia dini juga diikuti dengan penurunan gizi kurang kronis.
“Kami menggagas gerakan nasional perbaikan gizi anak usia dini. Kami ajak pendidik PAUD dan orangtua untuk mendeteksi dan mengintervensi dini masalah gizi anak,” ujar Netti.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pemantauan Status Gizi 2016 menunjukkan, 3,9 persen anak balita di Indonesia mengalami gizi buruk, 14,9 persen gizi kurang, dan 1,6 persen gizi lebih. Selain itu, banyak anak balita sangat pendek (8,5 persen) dan pendek (19 persen). Anak balita amat kurus (3,1 persen) dan anak balita kurus (8 persen) juga menjadi persoalan (Kompas, 8/7).
Gerakan Nusantara
Selasa lalu, Ketua Pusat Kajian Gizi dan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Ahmad Syafiq dalam peluncuran Gerakan Nusantara 2017 atau Minum Susu Tiap Hari untuk Anak Cerdas Aktif Indonesia yang digagas PT Frisian Flag Indonesia (FFI) di Jakarta juga menyatakan pentingnya untuk memprioritaskan gizi dalam pembangunan.
Menurut Syafiq, Indonesia menghadapi masalah gizi ganda pada anak-anak, yakni kekurangan dan kelebihan gizi. Keduanya perlu perhatian serius.
Setelah ditelusuri, lanjutnya, pengetahuan guru juga kurang. Padahal, mengabaikan soal gizi seimbang yang penting untuk hidup sehat berbahaya bagi kelangsungan hidup anak. “Kita akan ketinggalan karena generasi mudanya tidak sehat secara fisik. Hal itu berdampak buruk terhadap kecerdasan. Jika dibiarkan, kondisi ini dapat membebani negara,” ujarnya.
Syafiq mengatakan, dari hasil studi knowledge, attitude, and practice 2014-2016, Gerakan Nusantara dengan intervensi program edukasi gizi serta hidup sehat aktif, pengetahuan, dan perilaku sehat yang awalnya rendah kemudian meningkat signifikan. Awalnya hanya 33,4 persen yang memahami pedoman gizi seimbang. Sementara kebiasaan berolahraga yang sesuai anjuran bekisar 9,6 persen. Peningkatannya di atas 70 persen.
“Ada perubahan perilaku, misal tidak jajan sembarangan, sarapan, dan bawa bekal. Karena itu, perlu dikembangkan terus edukasi gizi dengan metode sederhana dan materi yang konsisten kepada guru, siswa, dan orangtua siswa,” ujar Syafiq.
Corporate Affairs Director PT FFI Andrew Saputro mengatakan, pihaknya berkomitmen mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Global 2030 dalam hal malnutrisi dan kelaparan di dunia, termasuk di Indonesia. Disertai komitmen memenuhi gizi dari alam, gerakan itu ingin membantu anak-anak Indonesia mencapai potensi tertinggi dalam hidup. “Lewat program Gerakan Nusantara, kami mengedukasi melalui sekolah agar gaya hidup sehat dan aktif bisa dipahami dan dilakukan demi masa depan anak dan keluarga Indonesia yang lebih baik,” kata Andrew.
Corporate Social Responsibility Manager PT FFI Refa Hayudi Griyanda mengatakan, demi meluaskan jangkauan edukasi hidup sehat dan aktif, mulai tahun ini fokus program adalah memperkuat peran guru SD lewat training of trainer. Sebab, guru berpengaruh besar untuk mengedukasi siswa dan menjadi tempat bertanya orangtua. Hingga 2016, gerakan ini menjangkau 1.761 SD dengan 855.520 siswa. Tahun ini, program menyasar 8.000 guru di 700 sekolah serta 500.000 siswa di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Riau, Jambi, dan Sumatera Barat.
Agar tidak sporadis dan parsial, Refa menyarankan agar gerakan ini bersambut secara masif dengan melibatkan pemangku kepentingan yang lebih luas.
Pelaksana Tugas Kepala Subdirektorat Kelembagaan Sarana dan Prasarana Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Bambang Hadi Waluya menyambut baik program edukasi gizi di sekolah yang dapat disinergikan dengan Program Gizi Anak Sekolah. Keberhasilan pendidikan juga tidak lepas dari status gizi anak.
Ahli gizi dari Dr Tan & Remanlay Institute, Tan Shot Yen, mengatakan, stuntingakibat kekurangan nutrisi, terutama protein, yang terjadi secara kronis akan mengganggu tumbuh kembang anak. Kemampuan kognitif anak stunting akan terganggu.
Hal ini diperburuk oleh pola asuh orangtua yang tidak baik, misalnya pola makan yang asal anak makan atau minimnya stimulasi untuk merangsang aspek psikomotorik anak.(ELN/ADH/NAR)
———————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Agustus 2017, di halaman 12 dengan judul “Edukasi Gizi di Sekolah”.