Faktor psikososial amat memengaruhi perilaku merokok di kalangan masyarakat. Untuk itu, penetapan faktor psikososial perlu menjadi prioritas utama dalam pengembangan intervensi berhenti merokok. Hal itu diharapkan menekan jumlah perokok dalam tiga dekade ke depan.
Budijanto memaparkan hal itu dalam disertasinya yang dipertahankan saat ujian terbuka di Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, pekan lalu. Dengan promotor Prof Dr Asip F Hadipranoto dan dua Kopromotor Dr Asma’i Ishak dan Dr Anas Hidayat, disertasi Budijanto, ”Pengaruh Faktor Psikosial pada Niat Berhenti Merokok”, mendapat nilai memuaskan.
Psikososial, menurut Budi, terkait ciri-ciri psikologis individu, struktur sosial, tindakan kelompok sosial, dan interaksi antarkelompok individu. Dengan demikian, faktor budaya menetapkan peran individu dan mengatur bagaimana seseorang mengekspresikan dan bertindak dalam situasi sosial tertentu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Jadi, penghentian merokok bukan kejadian tunggal, tetapi merupakan proses yang dipengaruhi faktor sosial, psikologis, dan biologis,” katanya. Mekanisme biologis yang kuat bisa menjelaskan bahwa seseorang akan mengalami ketegangan psikologis saat terputus dengan konsumsi nikotin secara tiba-tiba.
Sebaliknya, orang akan menemukan kesegarannya saat menerima kembali konsumsi nikotin dan suasana hati pun tenang. ”Pada titik itu, psikososial berperan dalam intervensi penghentian merokok,” ujarnya.
Mengutip data Bank Dunia, jumlah perokok terus meningkat di negara berpendapatan rendah dan menengah. Negara-negara itu akan menanggung beban terberat epidemi merokok abad ini. Tanpa perubahan signifikan pola prevalensi di seluruh wilayah dunia pada 2020, merokok akan menyebabkan 10 juta kematian dan 70 persen terjadi di negara berkembang.
Untuk mengendalikan konsumsi tembakau, butuh bukti ilmiah dan penilaian risiko kesehatan berdasarkan data epidemologi atau statistik kematian. Namun, implementasi strategi pengendalian tembakau itu terhambat minimnya pengamatan lokal, penelitian, dan evaluasi sesuai kebutuhan dan kapabilitas lokal.
Sebelumnya, di fakultas sama, Eka Ambara meraih doktor dengan disertasi ”Peran Mediasi Kepercayaan Pelanggan terhadap Hubungan Kualitas Layanan-Loyalitas Pelanggan, studi kasus bisnis seluler”. Menurut Eka, pelanggan di Indonesia bersifat paguyuban dalam memilih produk seluler. Keluarga dan teman dekat jadi pertimbangan memilih produk seluler. Itu berbeda dengan konsumen di negara-negara Barat yang individual dalam menentukan produk. (TOP)
Sumber: Kompas, 6 Januari 2015