Gelar akademik tertinggi akhirnya diraih Tjokorda Raka Sukawati, Dirut PT Hutama Karya, atas disertasinya yang mengurai landasan ilmiah bagi temuan Sosrobahu. Yang disebut terakhir tidak lain dari landasan putar bebas hambatan, terdiri dari torak dan silinder berdiameter 80 cm. Alat temuan Tjokorda ini sudah dibuktikan sangat membantu dalam proyek-proyek pembuatan jalan layang atau jembatan.
Sejumlah proyce jalan layang di Filipina, Jepang, dan Malaysia telah memanfaatkan landasan putar Sosrobahu. Di Indonesia, Sosrobahu pertama kali diterapkan untuk pembuatan jalan layang Cawang-Priok. Banyak pujian dialamalkan ke temuan Tjokorda ini, karena terbukti besar sekali manfaatnya.
Dalam ujian promosi doktoral di Kampus UGM, pertengahan September lalu, pria kelahiran Ubud, Gianyar Bali itu membeberkan manfaat Sosrobahu yang sudah terbuktikan. Di kota-kota besar masa mandatang, kata Tjokorda, pembangunan jalan layang sejajar dan di atas jalan, akan menjadi semakin menjadi pilihan. Pasalnya, tanah untuk jalan baru semakin sulit didapat “Di samping harganya mahal, juga semakin langka,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Tjokorda, metode konstruksi konstruksi konvensional untuk membangun jalan layang akan semakin ditinggalkan orang. Sebab, cara tersebut sangat mengganggu lalu lintas yang padat di bawahnya selama masa konstruksi. Disinilah alat sederhana Sosrobahu temuan Tjokorda, menawarkan alternatif lain dengan sejumlah keuntungan.
Metode Sosrobahu, jelas Tjokorda, diawali dengan membuat kepala tiang sejajar dengan
sumbu jalan, kemudian diputar 90 derajat untuk memutar kepala tiang penyangga seberat 450 ton digunakan sebuah alat yang diletakkan permanen di antara kepala tiang dan tiang. Alat inilah yang dikenal dengan Landasan Putar Sosrobahu.
Nama Sosrobahu –yang berarti Seribu pundak– diberikan Presiden Soeharto, setelah pemutaran pertama tiang penyangga proyek Jalan layang toI Cawang-Tanjung Priok, 27 Juli 1988. Menurut Tjokorda, sistem landasan putar Sosrobahu memadukan prinsip hukum gesek (friction) dan hukum tekanan (Hukum Pascal).
Ide pembuatan Sosrobahu, berawal dari peristiwa kecil suatu Ahad pagi tahun 1987, mobil milik Tjokorda mengalami pecah ban. Ayah seorang anak ini berusaha mengganti ban sendiri. Ia mendongkrak mobilnya. Karena lantai garasinya miring, ketika didongkrak posisinya mobil malah berputar. “Saya melihat gerakan memutar, juga sempat ada minyak yang keluar dari dongkrak,” kenang Tjokorda.
Kejadian –yang sederhana menurut kebanyakan orang– itu ternyata diteliti secara serius oleh Tjokorda Raka, alumnus Teknik Sipil ITB tahun 1964. Kejadian itu lalu menjadi ide dasar untuk memutar pier head (kepala tiang) yang beratnya ratusan ton.
Alat Sosrobahu terdiri dari torak dan silinder yang berdiameter 80 cm. Belakangan angka 80 dimasukkan dalam kode teknis alat ini, yaitu Lancasan Pacu Bebas Hambatan (LPBH) 80. Alat tersebut diletakkan di bagian tengah tiang (pier). Celah sebesar 20 milimeter dibuat antara tiang dan kepala tiang.
Kepala tiang dicor di atas tiang sejajar dengan sumbu jalan. Setelah kepala tiang diprategang, minyak dipompakan ke dalam alat sampai gaya yang dihasilkan akibat tekanan minyak hampir sama dengan berat kepala tiang Ialu kepala tiang diputar 90 derajat.
Disertasi Tjokorda memang tak seperti Iazimnya. Ia justru mencari landasan ilmiah, dari sesuatu yang sudah nyata hasilnya. Dengan mengungkap dasar ilmiahnya –lewat berbagai rumus, kata Tjokorda Raka, temuannya itu akan lebih mantap. Yang lebih penting, tandas Tjokorda, supaya lebih terbuka peluang untuk pengembangan metode Sosrobahu di masa mendatang.
Dalam disertasinya, Tjokorda Raka berhasil membuat modifikasi rumus gesekan dengan landasan berbentuk cincin. Penelitiannya sendiri, dilakukan secara eksperimental dengan model berskala. Untuk itu, Tjokorda terlebih dulu mencari rumus model dengan Teorema Buckingham. “Rumus model ini harus dapat ditransformasikan ke prototip, Sehingga hasil tekanan minyak dan moment putar dapat dibandingkan dengan hasil pelaksanaan 85 buah tiang pada Proyek Jalan Layang Cawang Priok,”jelasnya.
Setelah rumus model itu valid, Tjokorda Raka –yang memperoleh Piagam tanda Kehormatan Bintang Jasa Oratama tahun 1989 dari Pak Harto– melanjutkan penelitiannya dengan minyak-minyak lain yang berbeda kekentalannya. Ia menyimpulkan, minyak-minyak sejenis dengan viskositas kinematik yang lebih tinggi belum tentu memberikan koefisien gesek berminyak yang lebih tinggi pula. “Hal ini tergantung dari oilness minyak tersebut,” jelas Tjokorda.
Dari penelitiannya diketahui bahwa minyak nabati produksi Indonesia –yang harganya jauh lebih murah dari ATF, dapat ditingkatkan nilai tambahnya untuk menggantikan minyak ATF. Kesimpulan lainnya, kecenderungan pola untuk bermacam-macam minyak hampir sama. “Kondisi tekanan minyak kritis terjadi untuk beban kritis maupun eksentris,” tambahnya. Atas disertasinya, Tjokorda Raka dinyatakan lulus doktor UGM dangan predikat cumlaude.
Predikat itu pantas disandang oleh ilmuwan sekaligus manajer sukses namun tetap rendah hati ini. Obsesinya untuk menemukan konstruksi baru pada proyek pembangunan jalan layang sudah lama menggelora. Bahkan menurut Siti Hardyanti Rukmanta, selaku pimpinan PT Hutama Karya, obsesi Tjokroda Raka terbawa ke dalam mimpi.
Obsesi yang disampaikan Tjokorda Raka, kepada pada senior maupun kolega lainnya di PT Hutama Karya. Dalam suatu kesempatan semobil dengan Ir. Ruslan Diwiryo, ia menceritakan gagasan untuk memakai sistem pier head gantung pada pekerjaan jalan layang tol. Ruslan menanggapi gagasan itu dengan serius. Bahkan berjanji mempertemukan Tjokorda dengan Ir. Suyono Sosrodarsono, Menteri Pekerjaan Umum saat itu.
Sebelum bertemu Menteri PU Suyono, Ia merundingkan gagasannya itu dengan Ir. Wiyoto. Beberapa di “uji” oleh Ir. Wiyoto. Ada gagasan yang tak dapat dilaksanakan karena biayanya akan terlalu besar. Ada pula yang disisihkan karena alatnya tak tersedia di Indonesia. Akhirnya, Ir. T. Raka mangeluarkan idenya yang masih spekulatif saat itu: suatu mekanisme untuk mamutar pier head.
Pier head dibangun sejajar dengan jalan agar tak mengganggu lalu lintas. Setelah selesai, pier head ini diputar agar kedudukannya melintang jalan. “Wah, itu gagasan orisinil,” teriak Ir. Wiyoto seperti diungkap Mbak Tutut dalam artikel yang digandakan untuk para tamu undangan ujian promosi Tjokorda Raka di UGM. Tetapi, kata Mbak Tutut, Ir. Wiyoto sendiri tak yakin gagasan orisinil itu bisa diwujudkan.
“Kepada saya, Pak Wiyoto pernah mengatakan bahwa Pak Tjokorda Raka lebih banyak menggeluti masalah administmsi perusahaan sebagai Dirut Hutama Karya. Mungkin perhitungan teknisnya sudah karatan,” cerita Mbak Tutut. Tetapi, dalam pertemuan dengan Menteri PU saat itu, ternyata gagasan Tjokorda Raka ini mendapat dukungan kuat. Menteri PU meminta Tjokorda mangembangkan pemikirannya, serta melakukan perhitungan lebih cermat.
Tjokorda Raka molakukan percobaan pertama November 1987. Gagal. Toh, ia tidak putus asa. Seraya mengulang kembali perhitungan, ia pun mengubah beberapa mekanisme. Rumus-rumus yang digunakan adalah rumus-rumus linier, agar mudah dihitung kembali dengan skala yang lebih besar. Percobaan-percobaan itu dilakukan dengan biaya sendiri.
Penemuan Sosrobahu itu, menurut Mbak Tutut, merupakan sumbangan yang tak terhingga artinya bagi proyek. Kendati begitu, Tjokorda Raka tidak menjual hak patennya atas penemuan itu kepada konsorsium. Ia menghadiahkannya dengan gratis secara tulus ikhlas. Begitu pula dengan piranti alat penelitian tentang Sorobahu, saat menyusun disertasinya. Ia menyumbangkannya kepada UGM, segera setelah ia dinyatakan sebagai doktor baru ilmu konstruksi. –ahmad syaify
Sumber: Republika, 24 September 1995