Konstruksi Sosrobahu yang diperkenalkan dan digunakan 29 tahun silam kembali digunakan di Indonesia. Kali ini di Jalan Tol Cikampek. Penerapan inovasi karya Cokorda Raka Sukawati (1931-2014) ini masih menjadi solusi ampuh mencegah kemacetan lalu lintas akibat proyek pembangunan jalan layang di perkotaan.
Jakarta yang tumbuh menjadi kota megapolitan adalah magnet kuat bagi kaum urban. Dengan berbagai moda transportasi, mereka yang bermukim di Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi keluar-masuk ibu kota Jakarta.
Mobilitas mereka dari empat penjuru itu terlihat dari pergerakan kendaraan di jalan tol. Jasa Marga menyebut jumlahnya tahun ini 1,4 juta per hari. Jalur terpadat dari arah Bekasi atau Jalan Tol Cikampek, yakni 609.000 kendaraan per hari.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Iwan Dewantoro, pemimpin proyek Jalan Layang Jakarta-Cikampek PT Jasa Marga, tingkat layanan atau level of service (LoS) di tol ini masuk kategori terendah, yakni 1,3. Ini diketahui dengan membandingkan volume kendaraan dan kapasitas segmen jalan, yang disebut rasio V/C.
Berdasarkan Permenhub Nomor KM 14 Tahun 2006, LoS terendah apabila rasio V/C melebihi 1,0 atau kecepatan kendaraan rata-rata di bawah 24 kilometer per jam. Pada tingkat layanan ini terjadi antrean panjang kendaraan. Akibat kemacetan ini, menurut perhitungan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), tahun 2017, kerugian yang dialami di wilayah Jabodetabek Rp 100 triliun per tahun antara lain akibat hilangnya peluang ekonomi dan penggunaan bahan bakar.
Karena itu, perlu penambahan lajur pada Jalan Tol Jakarta-Cikampek. Pilihannya, membangun jalan layang di atas median jalan tol. Solusi ini lebih murah dan cepat dibandingkan dengan membebaskan lahan dan menggeser utilitas di kiri-kanannya untuk membuat lajur baru.
Tol Cikampek II
Proyek pengerjaan konstruksi jalan layang tol Cikampek atau Jakarta-Cikampek II Elevated ini dilakukan Waskita-ACSET. Jalan sepanjang 36,84 kilometer, dari Simpang Susun Cikunir sampai Karawang Barat, pengerjaannya dimulai Juni 2017 dan menurut rencana selesai Juni 2019.
Pembangunan jalan butuh sekitar 200 tiang penyangga di median jalan mulai Kilometer 9 sampai Kilometer 47. Jajaran tiang penyangga jadi tumpuan jalan empat lajur, sebagai alternatif jalan tol Cikampek di bawahnya.
Konstruksi beton berprofil penampang T sulit digarap secara konvensional. Sebab, gelagar sepanjang 20-an meter harus dipasang secara horizontal di atas kolom beton sebagai kaki-kaki jalan layang yang terpancang di media jalan. Gelagar berposisi melintang ini berada 10 meter di atas jalan tol. Karena itu, konstruksi Sosrobahu dipilih. Pada tahap awal, kepala tiang atau pier dipasang di tiang kolom dengan posisi sejajar sumbu jalan. Lalu pier diputar dengan sistem Sosrobahu. Jadi, lalu lintas jalan di bawahnya tidak terganggu.
Pembangunan jalan layang itu diawali pemasangan tiang pertama di Tambun, Bekasi, di Kilometer 21+600 meter. Keberhasilan memakai teknik Sosrobahu bernama teknis Landasan Putar Bebas Hambatan (LPBH), ditandai pemutaran kepala tiang berbobot 200 ton sampai 90 derajat, Rabu (13/12).
Piringan pemutar
Kelancaran pemutaran kepala tiang kuncinya terletak pada sepasang piringan dari bahan besi cor nodular bergaris tengah 80 sentimeter (cm). Setangkup piringan membentuk rongga di dalamnya, dipasang di tengah ”leher” antara kepala tiang dan kolom beton yang disatukan itu.
Piringan berstandar industri Jepang (JIS) itu, meski hanya 5 cm tebalnya, mampu menahan beban kepala tiang sampai 625 ton. Untuk memudahkan pemutarannya, dalam rongga di setangkup piringan itu dipompakan minyak pelumas dengan kekentalan sesuai beban. Lewat pipa kecil, minyak dimasukkan ke dalamnya dengan pompa hidrolik. Agar minyak tak terdorong keluar piringan, di sekelilingnya terdapat penyekat karet.
Itulah karya inovasi Cokorda Raka Sukawati pada 1988. Kala itu, sebagai Dirut PT Hutama Karya sekaligus pemimpin proyek jalan layang Cawang-Tanjung Priok sejauh 30 kilometer, ia harus menemukan cara membangun tiang jalan layang di jalan bypass sempit dan padat, tanpa mengganggu lalu lintas.
Penemuan ini spektakuler. Sebab, untuk memutar beban 480 ton cukup ditangani seorang operator. Ide brilian Raka diapresiasi Presiden Soeharto dengan memberi nama Sosrobahu untuk ciptaannya itu.
Sarjana teknik sipil Institut Teknologi Bandung itu mencari rumus ilmiah untuk temuan itu, dengan meneliti di Teknik Sipil Universitas Gadjah Mada dan meraih doktor di usia 65 tahun. Tiga tahun kemudian tercipta Sosrobahu versi kedua.
Versi kedua beda dengan versi pertama yang memakai jangkar ke beton. Pada versi ini dipasang kupingan berlubang di tengah dan besi siku di empat sisi luar. Kecepatan pemasangannya 45 menit, sedangkan versi pertama dua hari. Sosrobahu 2 pertama kali dipakai pada konstruksi jembatan kereta api di Janti, Yogyakarta, tahun 1996, sebelum dipakai di jalan layang.
Penemuan itu dipatenkan di Indonesia, Jepang, Malaysia, Filipina, dan Singapura. Tahun 2015, Sosrobahu 2 dipatenkan di Singapura. Komponen sistem Sosrobahu mengacu standar internasional ISO. Kini Sosrobahu versi ketiga dikembangkan untuk konstruksi skala besar hingga di atas 1.000 ton, antara lain untuk memperbaiki jembatan.
Mendunia
Sistem konstruksi diterapkan pada pembangunan jalan layang di Indonesia sampai 1993, lalu mendunia. Penerapannya di luar negeri pertama kali di Filipina pada 1995-2000. ”Di Malaysia terpasang pada 135 tiang jalan Kuala Lumpur Middle Ring Road II,” kata Lukman Efendi dari tim teknis pemasangan sistem LPBH atau Sosrobahu.
Sejauh ini ada lebih dari 600 konstruksi Sosrobahu terbangun. Konstruksi ini dipilih banyak negara untuk pembangunan jalan layang sejajar jalan yang ada karena sulit mendapat lahan untuk jalan baru.
Sosrobahu juga dipakai di Thailand, Vietnam, dan Sri Lanka. ”Di Colombo, Sri Lanka, jalan menuju pelabuhannya yang akan dibangun pada 2020 akan memakai konstruksi ini,” kata Lukman. Negara yang menjajaki pemakaian Sosrobahu ialah India dan Korea Selatan.
Di Indonesia, Sosrobahu yang ”absen” sejak 1994 kembali dipakai untuk proyek jalan layang tol di Jabodetabek. Selain proyek jalan layang kota intra-urban, sistem ini juga bisa untuk memutar lokomotif di depo.–YUNI IKAWATI
Sumber: Kompas, 27 Desember 2017