Bahan bakar nabati biohidrokarbon perlu lebih masif dikembangkan sebagai alternatif bahan bakar minyak. Berbagai keuntungan bisa didapatkan, mulai dari menjaga ketahanan energi, mengurangi impor minyak mentah, hingga mengatasi defisit neraca perdagangan nasional.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, neraca perdagangan Januari-November 2018 defisit 7,515 miliar dollar AS. Penyumbang terbesar defisit pada sektor minyak dan gas. Pada Januari-November 2018 defisit mencapai 12,1 miliar dollar AS.
”Volume impor minyak mentah dan BBM (bahan bakar minyak) membuat defisit neraca perdangan terus meningkat. Untuk itu, Indonesia butuh subtitusi minyak mentah dari dalam negeri. Bahan bakar nabati biohidrokarbon inilah subtitusi terbaiknya,” ujar Ketua Umum Ikatan Ahli Bioenergi Indonesia (IKABI) Tatang H Soerawidjaja di sela-sela acara pergelaran ilmiah yang diselenggarakan oleh Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) di Jakarta, Kamis (20/12/2018).
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN–Pekerja menaikkan tandan buah segar sawit ke truk di perkebunan kelapa sawit milik PT Bakrie Sumatera Plantation Tbk di Tanah Raja Estate, Kisaran, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara. Sawit merupakan salah satu bahan bakar nabati yang potensial.
Outlook Energi Indonesia 2018 menunjukkan kebutuhan energi Indonesia pada 2016 mencapai 795 juta setara barel minyak (SBM). Kebutuhan itu akan naik 2,3 kali pada 2030 dan 5,7 kali pada 2050 yang sebagian besar untuk memenuhi kebutuhan industri dan transportasi.
Menurut Tatang, kondisi ini membawa Indonesia darurat energi. Padahal, potensi alternatif bahan bakar lain dimiliki negara ini, yaitu bahan bakar biokarbon atau hidrokarbon terbesar di dunia. Salah satu sumber yang bisa dimanfaatkan adalah minyak sawit. Pada 2018, sekitar 46 juta ton minya sawit mentah dan 3 juta ton minyak inti sawit mentah dihasilkan. Jumlah ini ekuivalen dengan 700.000-750.000 barel per hari bahan bakar minyak.
Diesel hijau
Teknologi-teknologi yang diperlukan untuk mengonversi minyak nabati ke bahan bakar nabati biohidrokarbon juga telah dikembangkan. Untuk produksi diesel hijau (green diesel) teknologi yang dipakai lewat hidrodeoksigenasi minyak atau asam lemak. Produksi bioavtur pun juga telah dilakukan sama seperti produksi diesel hijau, tetapi bahan mentahnya dari asam-asam minyak laurat.
”Untuk produksi bensin nabati, ITB mengembangkan dengan perengkahan katalitik minyak ataupun asam lemak. Selain itu melalui pirolisi (pemanasan bahan nabati tanpa atau sedikit oksigen) sabun basa,” kata Tatang.
Untuk itu, perlu ada intensifikasi perkebunan sawit. Selain itu, perkebunan dengan pohon bioenergi potensial lain juga harus dioptimalkan, seperti pohon kelapa, pongam, dan nyamplung.
Kepala Laboratorium Teknik Reaksi Kimia dan Katalisis ITB Soebagjo menilai, pemerintah perlu lebih serius menggarap BBN biohidrokarbon. Semua upaya perlu dikerahkan, antara lain dengan mengembangkan teknologi biohidrokarbon, mempercepat produksi BBN, dan mendorong inovasi para peneliti Indonesia.
”Indonesia selalu digaungkan sebagai negara sumber energi, tetapi kebutuhan energi saat ini semakin bergantung pada impor. Jika tidak bergerak cepat dan cermat, ketahanan nasional bisa terancam,” katanya.
Ketua AIPI Satryo Soemantri Brodjonegoro berpendapat, sumber daya yang ada di Indonesia siap untuk menerapkan bahan bakar nabati biohidrokarbon lebih masif lagi. Indonesia punya bahan baku yang berlimpah. Selain itu, kompetensi peneliti dan teknologi yang dimiliki juga mendukung.
”Tendensi pemangku kebijakan kita belum berbasis bukti (evidence based). Terkait impor minyak ini, pemerintah belum percaya pada kemampuan peneliti dalam negeri. Impor juga dinilai lebih mudah dan cepat daripada investasi untuk jangka panjang,” ujarnya.–DEONISIA ARLINTA
Sumber: Kompas, 20 Desember 2018