Dilema Mendokumentasikan Foto Lama

- Editor

Minggu, 20 September 2015

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Saat ini dalam era fotografi digital, begitu sebuah foto terbentuk, dia sekaligus merekam tanggal pemotretan, pilihan diafragma, rana, ISO, white balance, merek, tipe kamera, dan jenis lensa yang dipakai. Pada kamera tertentu malah terekam pula koordinat tempat foto dibuat, bahkan juga nama sang fotografernya (dengan data yang diisi terlebih dahulu pada kameranya).

Adapun keterangan lebih jauh tentang foto tersebut, misalnya teks foto pada kerja jurnalistik, bisa ”dimasukkan” ke dalam foto tersebut lewat aneka perangkat lunak. Kalau memakai perangkat lunak Photoshop, keterangan foto bisa dimasukkan lewat menu File lalu File Info.

Dengan demikian, di era sekarang, sebuah foto mudah dipahami karena segala keterangan tentangnya sudah tersedia. Bahkan, untuk mendapatkan foto yang mirip dengannya (dalam kasus penjiplakan foto misalnya), di internet tersedia Google Picture yang bisa dengan mudah ditemukan foto-foto yang sama, yang mirip, bahkan yang cuma agak mirip.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

65671a611d3a45128aac1e24efbccac2Foto ini dipindai dari negatif aslinya. Tidak diketahui apakah foto ini pernah dimuat di harian Kompas atau tidak. Satu-satunya petunjuk adalah amplop negatif ini yang bertuliskan: Ratu Djawa Tengah 1971 Kartono Riady.

Foto di surat kabar
Namun, kasus dokumentasi foto di harian Kompas sungguh menarik. Pencetakan Kompas melewati beberapa tahap. Di awal penerbitan, pencetakan Kompas masih memakai cetakan timah di mana berita dicetak dengan mengatur huruf-huruf timah secara terbalik langsung di mesin cetak. Demikian pula foto dicetak lewat pelat logam yang detailnya buruk.

Dari koran di era ini, kita tentu tidak akan bisa melacak berita dan foto lewat internet apabila sang koran sendiri tidak berusaha ”menginternetkan” berkas lamanya.

958f5dde6a7c4f4fa2e5eaac8638a5edTeks foto di harian Kompas pada masa lalu dibuat langsung dengan menyusun huruf di percetakan. Akibatnya, dokumentasi foto masa lalu kadang sulit dilacak dengan komputer.

Ini yang terjadi saat harian Kompas melakukan pemindaian foto-foto lama menjadi digital dalam tiga tahun belakangan ini. Di awal tahun ini, saya mendapatkan foto hasil pindai dari karya almarhum Kartono Riady. Nama berkasnya hanya mencantumkan nama fotografer dan tahun pemotretan. Di harian Kompas, semua negatif foto sejak dibuat disimpan dalam amplop-amplop yang mencantumkan tanggal pemotretan, nama fotografer, dan nama acaranya.

Secara sangat kebetulan, foto jajaran ratu kecantikan masa lalu ini hanya mencantumkan nama fotografer dan tahun pemotretan. Tak ada keterangan lain.

5ff4f02975c8478daf339eac60c0e57eSatu hal yang patut disyukuri adalah harian Kompas memiliki semua edisi korannya sejak awal terbit tanggal 28 Juni 1965. Maka, berdasarkan tahun pemotretan foto itu dan pelacakan pada arsip, didapati bahwa foto tersebut adalah penobatan Ratu Djawa Tengah pada tanggal 10 dan 11 September 1971 di Solo, Jawa Tengah.

Bagi orang yang selalu membaca harian Kompas, temuan ini sangat menarik sebab menunjukkan bahwa pada tahun 1971 teks foto harian Kompas sangat buruk, baik dari segi kalimat maupun susunan hurufnya. Juga terlihat bahwa pemuatan foto seperti itu pun bisa beberapa hari setelah pemotretan. Dipotret tanggal 11 September 1971, tetapi baru dimuat tanggal 14 September 1971.

Mendokumentasikan foto-foto lama selalu sulit karena di masa lalu, data tambahan harus ditambahkan secara manual. Maka, yang terjadi adalah banyak foto lama menjadi ”sampah” karena sama sekali tidak diketahui itu foto apa, tentang siapa, di mana, dan kapan.–ARBAIN RAMBEY, TIPS & CATATAN
—————————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Oktober 2015, di halaman 29 dengan judul “Dilema Mendokumentasikan Foto Lama”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Ketika Matahari Menggertak Langit: Ledakan, Bintik, dan Gelombang yang Menggetarkan Bumi
Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit
Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua
Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS
Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Berita ini 0 kali dibaca

Informasi terkait

Selasa, 15 Juli 2025 - 08:43 WIB

Ketika Matahari Menggertak Langit: Ledakan, Bintik, dan Gelombang yang Menggetarkan Bumi

Rabu, 9 Juli 2025 - 12:48 WIB

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Juli 2025 - 10:21 WIB

Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Berita Terbaru

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Anak-anak Sinar

Selasa, 15 Jul 2025 - 08:30 WIB

Fiksi Ilmiah

Kapal yang Ditelan Kuda Laut

Senin, 14 Jul 2025 - 15:17 WIB

fiksi

Pohon yang Menolak Berbunga

Sabtu, 12 Jul 2025 - 06:37 WIB