Kalau Anda kebetulan seorang guru biologi, dan ditanya murid Anda apa nama Latin burung waletyang sarangnya bisa dimakan, tak perlu ragu menjawab, Collocalia fuciphaga. Tapi kalau kebetulan murid Anda tadi suatu hari ke Bogor dan menyempatkan diri ke Museum Zoologicum Bogoriense(MZB), ia akan menjumpai etalase peraga burung walet di sana menyatakan bahwa jenis burung walet yang paling terkenal dan yang sarangnya dapat dimakan adalah Collocalia inexpectata. Maka siap-siaplah Anda menerima protes.
Namun Anda tak perlu kecil hati. Karena tak kurang dari seorang Prof Dr Soekarja Somadikarta ketika ditemui Kompas di rumahnya di Bogor buIan Oktober lalu bilang begini, “Sistematika burung walet susah sekali. Sampai sekarang masih tak keruan.”
Padahal Prof Somadikarta adalah ahli burung walet paling terkemuka di Indonesia saat ini. Ornitholog yang menjadi pembicara utama dalam Seminar Nasional Burung Walet di Semarang ini mengaku bahwa ia sudah menekuni taksonomi alias penggolongan burung walet sej ak tahun 1996. Tapi sampai sekarang ia sendiri masih suka pusing gara-gara tulisan walet yang satu dan lainnya saling bertentangan. Ini ditunjukkannya dari koleksi kepustakaan yang dimilikinya, dan khusus literatur tentang burung walet dari marga Collcalia mencapai lebih dari seribu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Diambilnya contoh tulisan Van Heurn tahun 1929, yang menyatakan Collocalia fuciphaga sarangnya tak bisa dimakan. Tapi dua orang jagoan walet dari Inggris, Lord Medway dan David R. Wells, dalam buku mereka The Birds of The Malay Peninsula (1976) memastikan bahwa Collocalia fuciphaga adalah burung walet yang sarangnya bisa dimakan (edible-nest swiftlet).
Pendapat Prof Somadikarta tentang rumitnya penggolongan walet sudah dik emukakan Prof Ernst Mayr dari Universitas Harvard pada tahun 1937: “Collocalia is the most difficult problem in the taxonomy of birds.” Dan rupanya keruwetan yang masih berlanjut hingga kini itu telah dimulai sejak zaman Linnaeus.
LINNAEUS, bapak ilmu taksonomi, menamakan burung walet perut putih yang sarangnya praktis tak bisa dimakan sebagai Collocalia esculenta. Padahal epithet esculenta dalam bahasa Latin artinya ”bisa dimakan” (edible). Linnaeus salah sangka, dikiranya spesies walet inilah yan memproduksi sarang burung. Kebetulan memang walet penghasil sarang burung (C fuciphaga) biasanya mau bermukim di gua atau rumah yang telah ada walet perut putih (C esculenta)-nya.
Kalangan pemilik rumah walet di Indonesia juga salah kaprah menamakan walet perut putih sebagai seriti (baca: Bisnis Air Liur yang Menggiurkan). Padahal seriti yang tergolong burung layang-layang (swallow) memiliki nama keren Hirundo rustica, masuk dalam famili Hirundinidae dan ordo Passeriformes. Sementara walet tergolong famili Apodidae dan ordo Apodiformes. Seriti memiliki kaki yang normal, sedang walet kakinya sangat pendek dan kecil sehingga dikatkan apodi atau “tidak berkaki”. Walet memang berbeda dari burung-burunglainnya, karena mereka tak pernah bertengger, tapi hanya menempel.
Bukan hanya Linnaeus yang pernah bikin kekhilafan. Collocalia fuciphaga pada tahun 1812 pertama kali diberi nama Hirundo fuciphaga oleh Thunberg yang meneliti walet penghasil sarang burung di Jawa, yang di Karangbolong (Kabumen) dan daerah Gunung Kidul senantiasa disebut lawet, sedang di daerah lain sebagai walet cokelat. Tahun 1822 Horstield yang juga meneliti burung di Jawa memberi nama Inggris “linchi” (dari bahasa Jawa lintji) kepada walet gua yang dikiranya sama dengan Hirundo fuciphaga, padahal sebenarnya walet perut putih. Tahun 1854 Horsfleld dibantu F. Moore mengklaim walet perut putih temuannya itu sebagai linchi swallow alias Collocalia linchi. Tapi menurut Wallace (1863), spesies ini sama saja dengan walet perut putih temuan Linnaeus, yaitu Collocalia esculenta.
Belakangan, ahli walet seperti Lord Medway dan J.D. Pye tahun 1977 memecah marga Collacalia menjadi dua marga yaitu Collocalia dan Aerodramus. Marga yang terakhir dikhususkan untuk walet yang bisa mencari sarangnya di kegelapan dengan gema suara (echolocating) . Hampir semua walet termasuk marga baru ini, kecuali Collocalia esculenta yang tergolong walet non-echolocating. Jadi walet penghasil sarang burung kini punya nama baru, Aerodramus fuciphagus. Namum kebanyakan ahli masih tetap lebih suka memakai nama Collocalia fuciphaga.
BARU soal nama dua jenis walet saja sudah membingungkan. Padahai di dunia terdapat sekitar 75 jenis walet, dan beberapa belas di antaranya ada di Tanah Air kita. Membongkar-bongkar koleksi walet yang terdapat di Laboratorium Ornithologi MZB tambah membuat puyeng, karena label nama spesimen (contoh) awetan walet cokelat (Collocalia fuciphaga) sering rancu dengan C. vestita, C.francica, C. vanikorensis, dan C. inexpectata. Di Karangbolong nama, walet cokelat menurut, majalah Trubus bulan November 1986 juga menyangkut C. inexpectata.
Diakui oleh para ahli burung anak buah Prof Somadikarta yang bertugas di Laboratorium MZB, penamaan dan pelabelan contoh burung yang ada di san memang sudah lama tak direvisi. Tapi paling tidak di sana kita bisa menyaksikan betapa alam menciptakan aneka variasi dan ukuran walet.
Ada yang panjang tubuhnya tak banyak beda dengan walet coklat, yaitu sekitar 12,5 cm, hanya saja warna bulunya berbeda dan sarangnya yang terbuat dari bulu direkat air liur tak dapat dimakan. Mereka adalah C. maxima dan C. brevirostris. Jenis walet yang terkecil yang panjang badannya cuma 10 cm adalah walet perut putih dari subspesies C. esculenta linchi (kini akhirnya dikukuhkan sebagai spaesies baru, yaitu C. linchi). Sedang jenis walet yang terbesar adalah C. gigas. Panjang tubuhnya mencapai 18 cm. Prof Somadikarta tahun 1968 pernah melaporkan menemukan walet raksasa ini di belakang air terjun Cibereum, Cibodas. Di daerah ini walet tersebut dinamakan burung cowo.
Seperti halnya walet perut putih, burung cowo bermukim di tempat yang cukup terang dan tidak menggunakan gema suara untuk mencari seranggga. Berbeda dengan walet-walet lainnya, burung cowo sarangnya tidak berkelompok tapi soliter. Karenanya beberapa biolog merasa burung ini kurang tepat dikelompokkan bersama walet lain. Ada yang kurang sreg dengan sebutan giant swiftlet dan menggantinya dengan waterfall swift. Malah nama marganya ada yang merubah bukan lagi Collocalia, tapi Hydrochous, seperti ditulis oleh Charles M. Francis dalam laporannya tentang pengelolaan gua-gua sarang burung di Sabah yang terbit tahun 1987.
“Terus terang iri kepada ahli walet seperti Charles Francis, yang bisa membuat laporan tentang walet begitu komprehensif,“ kata Prof Somadikarta, yang mengaku waktunya banyak tersita untuk tugas kantoran. Kini ia menjadi Koordinator Kopertis Wilayah III, sedang sebelumnya antara 1978-1984 ia menjadi Dekan FMIPA UI. Walaupun demikian, ornitholog kelahiran Bandung 21 April 1930 ini tidak sedikit kontribusinya dalam penelitian soal walet.
Prof Somadikarta adalah biolog lulusan Akademi Nasional (kemudian jadi Universitas Nasional). Tahun 1952 bekerja di Fakultas Kedokteran Hewan UI, menangani mikrobiologi. Tahun 1955 ia studi di Universitas Berlin dan tanggal 29 Mei 1959 meraih gelar doktor zoologi dengan disertasi tentang pacet. Tahun 1974 ia dikukuhkan menjadi guru besar biologi di FMIPA UI. Sebelum menekuni taksonomi burung dan khususnya wallet sejak 1966 hingga sekarang, Prof Somadikarta banyak meneliti penyu.
Tahun 1967, nama Somadikarta tercantum dalam prosiding Museum Nasional AS yang diterbitkan Smithsonian Institution yang prestisius, gara-gara ia merevisi nama ilmiah sejenis walet yang penyebarannya di Irian J aya. Walet itu semula ditemukan oleh Rand tahun 1941, dan diberi nama Collocalia whiteheadi papuensis, karena dianggap sebagai subspesies baru darit C. whiteheadi yang terdapat di Pulau Luzon utara.
Sumber: Kompas, 11 Januari 1989
————————————
Sarang Burung, Bergizi atau Bergengsi
MESKl harga sarang burung cukup fan tastis mahalnya, sehingga cuma orang-orang berkantung tebal yang mampu membelinya, tapi khasiatnya sering dilebih-lebihkan. Bahwa rasarya enak kalau dimakan, tidak ada ahli yang menolak. Tapi orang Cina sudah telanjur yakin bahwa sarang burumg bisa untuk mengentengkan napas, obat awet muda, bahkan aphrodisiac alias obat kuat.
”Sama dengan isyu cula badak, manfaat sarang burung sabagai obat kuat patut diragukan karena tidak ada dasar ilmiahnya,“ ujar Prof Somadikarta. Pendapat ini tak berbeda dengan pendapat Charles M. Francis yang membuat laporan tentang sarang burung walet di gua-gua Sabah (1987). Dikatakan, sarang burung dan cula badak serta obat-obat tradisional Cina lainnya hanganya selangit dan memperoleh reputasi yang tinggi semata-mata dari desas-desus.
Umumnya hidangan sarang burung disajikan dalam bentuk sup oleh restora-restoran masakan Cina, bersama masakan lain yang tak kalah mahalnya. Dalam menu jamuan di restoran Cina atau hotel-hotel mewah, dua masakan yang seolahe-olah merupakan saingan, biasanya disediakarn bersama-sama. Masakarn sup sarang burung dikenal dengan nama yenou, sedang menu ”saingannya’” bernama hie-sit, yang tak lain adalah sirip ikan hiu. Konon kedua masakan ini pada zaman dulu merupakan masakan mewah, yang cuma bisa dinikmati kaum bangsawan dan penghuni istana di Cina.
Dalam perkembangannya kemudian, kedua jenis masakan ini masuk ke daftar menu restoran-restoran mewah dan jadi santapan masyarakat biasa sebagai simbol gengsi. Apabila dalam suatu jamuan makan disajikan sup sarang burung, biasanya tuan rumah akan berkata: ”Silakan nikmati sup sarang burung ini, biar sehat dan panjang umur.”
TAPI benarkah kandungan gizi sarang burung sedemikian hebat sehingga harganya begitu mahal? Satu porsi sup sarang burung yang disajikan dalam mangkuk bergaris tengah 24 cm, harganya berkisar antar Rp 20.000 — Rp 25.000. Ini tergantung ”peringkat” restoran yang menjualnya. Di restoran mewah pada hotel berbintang empat atau lima, bahkan harganyaa bisa mencapar Rp 40 000 per porsi.
Sementara itu di Iuar restoran dan hotel mewah, banyak keluarga Cina yang menyajikan sup sarang burung, yang katanya berkhasiat memulihkan kembali kesehatan wanita yang baru melahirkan, atau orang yang baru sembuh dari sakit. Orang Cina di seluruh dunia tetap percaya, sup sarang burung dapat memperbaiki kesehatan dan dan daya tahan pada umumnya.
Karena itulah berapa pun produksi sarang burung di Indonesia, selain sebagian kecil dikonsumsi di dalam negeri, akan selalu habis diekspor. Hongkong sebagai pengimpor utama, setelah mengolah dan menyeleksi, justru memperoleh nilai tambah yang terbesar dari sarang burung olahan yang dipasarkannya untuk masyarakat Cina di AS dan Eropa. Menurut Charles M. Francis berdasarkan laporannya tahun 1987, harga eceran sarang burung di Hongkong bisa mencapai 4.000 dollar AS per kg untuk yang kualitas benar-benar prima dan tanpa campuran.
Sarang burung yang harganya tertinggi di Indonesia lazim disebut memiliki mutu perak, yang kini mencapai Rp 1,5 juta -Rp 1,7 juta per kg. Bentuknya tebal, putih bersih dan bebas bulu. Sarang berbentuk mangkukan yang bergaris tengah 9 -11 cm ini per kg terdiri dari 100 -140 buah. Cara untuk memperolehnya di rumah adalah dengan metode pemetikan buang telur.
Selain metode buang telur, masih dikenal dua metode pemetikan Iain yang biasa divariasi urutannya untuk pemetikan sebanyak 3 -4 kali setahun, yaitu metode rampasan dan metode pungut anak (penetasan). Ketiga metode yang istiIahnya diperkenalkan oleh Fatich Marzuki BSc, Direktur Biro Pusat Reahabilitasi Sarang Burung di Surabaya ini akan diuraikan lagi kemudian.
MENURUT majalah Trubus bulan November 1986, mahal-murahnya sarang burung sangat tergantung dari mutu. Mutu sarang burung sangat ditentukan oleh bersih-tidaknya sarang dari kotoran dan bulu burung; ada-tidaknya serapan warna dari batuan tempat menempelnya sarang; besar-kecilnya permukaan tempat menempel sarang; musim, masa dan cara pemetikan sarang. Sarang akan terjamin kebersihannya kalau dipetik sebelum telur menetas. Semakin tua umur sarang dan anak burung, kian berkurang mutu sarang burung walet, Begitu pula sarang yang tidak utuh dan pecah-pecah akibat cara pemetikan yang salah, maka walaupun sebenarnya mutunya baik harganya akan jatuh.
Karena itulah harga sarang burung rumahan jauh lebih mahal daripada sarang burung gua. Sarang burung. rumahan mudah dijang kau, cukup dengan tangga biasa, sehingga umumnya utuh. Sedang sarang burung gua cara pengambilannya luar biasa sulitnya, dan biasanya jadi pecah-pecah karena diambil dengan galah. Tapi remah-remah sarang burung tetap mahal harganya. Ada pedagang Cina yang mengeraskannya menjadi semacam kue kering dan dijual dengan julukan “gigi naga”. Sedang sup sarang burung oleh orang barat dijuluki sebagai ”caviar dari timur”
Sarang burung mutu perak tadi harganya akan meningkat lagi, kalau warnanya kemerah-merahan. Dikenal sebagai sarang darah atau sarang merah, yang disebabkan oleh pigmen serangga yang dimakan sang walet. Harga sarang burung yang jarang terdapat ini, bisa 10 persen Iebih tinggi dari harga sarang burung yang termahal.
Di bawah mutu perak adalah sarang burung dengan mutu bulu ringan. Sarang burung ini mutunya sedang. Kelopaknya tebaI, ada bulu burung tapi tidak terlalu banyak, dan tidak cacat terserang kutu atau hama lain Di bawah mutu bulu ringan adalah mutu bulu. Sarang burung ini paling murah karena rendah mutunya. Kelopaknya tipis, mengandung telur kutu dan bulu burung. Sedang sarang burung dengan mutu sarang pecah, harganya masih lebih tinggi dibanding mutu bulu, karena walaupun tidak utuh dan pecah-pecah sarang burung ini sebenarnya bermutu baik.
Sarang burung kering tahan disimpan lama. Sarang burung perak bisa tahan sampai 6 bulan tanpa berubah warna. Lewat dari itu, warnanya akan berubah agak kekuning-kuningan, sehingga harganya agak menurun tapi di Sabah, menurut Charles M. Francis, ada sarang burung yang usianya lebih dari dua tahun, kualitasnya justru membaik dan harganya meningkat.
SARANG burung dibuat dari air liur burung walet jantan maupun betina, terutama pada masa mereka berkembang biak atau membuat sarang. Kelenjar Iudah sublingual walet akan amat membesar, jika ia telah siap berkembang biak. Hasil penelitian para ahli menunjukkan bahwa ada hubungan koreIatif antara kemampuan membuat sarang dengan kematangan kelamin walet.
Sarang burung terdiri dari serabut-serabut putih yang mengeras, tapi melunak dan lumer menjadi lendir semacam jelly jika dicelupkan ke dalam air. Jika tidak diberi campuran apa-apa, sarang burung tak memiliki rasa apa-apa.
Pada abad ke-19 para ahli masih memperdebatkan apa kandungan sebenarnya sarang burung itu. Semula diduga terbuat dari zat-zat yang diperoleh walet di permukaan laut, karena sarang burung banyak ditemukan di gua-gua di tepi laut. Ada pula yang mengira terbuat dari sejenis ganggang atau getah pohon. Baru pada tahun 1884 Green memastikan bahwa sarang burung sama sekali tak mengandung unsur-unsur tumbuhan, melainkan seluruhnya terdiri dari mucin yang disekresi kelenjar ludah hewan.
Pada tahun 1923 Wang meneliti lebih lanjut di laboratorium, dan menyatakan bahwa sarang burung terbuat dari glikoprotein seperti yang dijumpai pada ludah, atau air liur binatang-binatang Iain. Glikoprotein terdiri dari protein dan campuran karbohidrat. Wang kemudian menguji nilai gizi sarang burung dengan memberikannya sebagai pakan tikus. Terbukti campuran sarang burung pada diet tikus, tidak dapat meningkatkan kecepatan penumbuhan tikus. Hal ini menunjukkan bahwa, paling tidak sebagai sumber protein, sarang burung tergolong makanan yang kurang bergizi.
Menurut hail penelitian Direktorat Gizi Depkes RI pada tahu 1979, setiap 100 gram sarang burung mengandung 281 kalori, 37,5 gram protein, 32,1 gram hidrat arang, 0,3 gram lemak, 24,8 gram air, 485 mg kalsium, 18 mg fosfor, dan 3 mg besi. Tapi Prof Somadikarta, meragukan kebenaran hasil penelitian yang dimuat majalah Trubus bulan November 1986 ini. ”Saya sangsi apa betul proteinnya sampai lebih dari sepertiga bagian,” katanya.
APAPUN , mitos tentang sarang burung, tapi nyatanya memang banyak permintaan dari luar negeri. Dan ini tentu mendatangkan untung bagi mereka yang tahu seluk beluk membudidayakan walet dirumah. Fatich Marzuki misalnya, dari pengalamannya sebagai praktisi sarang burung selama belasan tahun kini mulai mengunduh hasilnya. Bukunya berjudul Prinsip-prinsip Budidaya Pemeliharaan Burung Walet laku keras di Semarang, walaupun harganya cukup mahal, Rp 5.000 untuk buku setebal 68 halaman.
la juga menawarkan jasa konsultan sarang burung. Untuk kunjungan rumah walet dengan keperluan observasi habitat mikro, ia minta imbalan Rp 50.000. Telur burung walet per butir dihargainya Rp 1.000, sedang bibit burung walet remaja per ekornya Rp 100.000. Bahkan bibit burung dali atau sariti dijualnya dengan harga Rp10.000 er ekor. Fatich Marzuki juga menawarkan blower penyedot serangga rancangannya Rp 30.000. Dengan blower ciptaannya itu hama wereng di sawah bisa disedot dan dijadikan makanan kegemaran Walet. Ia sendiri bersedia membeli 1 kg wereng hidup Rp 5.000, yang mati cuma Rp 1.000. Ia yakin, walet selain bisa mendatangkan rezeki dengan air liurnya, juga dapat menjadi pengendali hama wereng.
Dari ketekunannya mengamati perilaku walet, Fatich dapat mengetahu bahwa musim berbiak pada burung walet umumnya dimulai pada bulan September, dan mencapai kulminasi terbesar pada bulan-bulan November, dan selanjutnya menurun dan berakhir pada bulan April. Antara bulan September – April waktu yang dibutuhkan oleh walet untuk menyelesaikan pembuatan sebuah sarang rata-rata 40 hari. Sedang di luar masa tersebut, biasanya membutuhkan waktu yang jauh lebih lama, kadang-kadang baru selesai setalah 90 hari atau 33 bulan. Ini disebabkan karena produksi air liur sangat sedikit pada bulan-buIan di luar musim berbiak. Pemungutan sarang burung dalam musim berbiak, akan merangsang burung walet untuk segera membuat sarang lagi sebagai penggantinya. Penggantian ini umumnya dilakukan jauh lebih cepat dari waktu yang pertama. Namun bila pengunduhan dilakukan berturut-turut akan mengakibatkan burung tersebut kehilangan rasa aman. Apalagi jika pemetikan sarang burung tersebut dilakukan pada waktu burung sedang di dalam ruangan. Hal ini harus diketahui pemilik rumah yang dihuni burung waIet, jika tak menginginkan waletnya kabur semua.
UNTUK memperoleh hasil panenan sarang burung yang optimal, silakan saja memilih cara pemungutan dua, tiga atau empat kali setahun. Pada pemungutan dua kali setahun, sarang baru dipungut setelah seluruh anak burung tadi dapat terbang semua. Keuntungan sistem ini, bobot sarang jadi lebih berat dan lebih besar, generasi muda burung lebih terpelihara. Tapi kerugiannya, hasil produksi per tahun agak berkurang. Kadang-kadang kualitas sarang jadi kurang baik karena sarang telah bercampur dengan kotoran burung. Sarang burung yang lama tidak dipungut akan berubah warna karena oksidasi.
Pola pungut tiga kali setahun dilakukan dengan kombinasi panen pertama dengan metode rampasan, panen kedua dengan metode penetasan atau pungut anak, dan panen ketiga dengan metode buang telur. Bisa juga urutan diubah menjadi panen pertama dengan metodea rampasan, panen kedua dengan metode buang telur, dan panen ketiga dengan metode rampasan.
Metode rampasan menurut Fatich Marzuki adalah cara pemetikan yang dilakukan sebelum sarang tersebut berisi telur. Umumnya dilakukan menjelang musim berbiak atau musim berjodoh. Metode rampasan ini dimaksudkan untuk mendorong walet tadi membangun kembali sarangnya dalam waktu yang lebih singkat. Sedang metode buang telur adalah cara pemetikan sarang yang dilakukan pada waktu sarang telah terisi telur burung walet sebanyak dua butir. Untuk melaksanakan metode ini biasanya membutuhkan waktu antara 50 – 55 hari, terhitung dari waktu pengunduhan yang telah
Lalu.
Sementara metode pungut anak dilakukan dengan terlebih dahulu menunggu sampai telur-telur yang berada di dalam sarang menetas, dan masih ditunggu lagi selama sekitar 45 hari sampai anak-anak burung dewasa dan dapat terbang. Untuk melaksanakan metode terakhir ini dibutuhkan waktu sekitar 113 hari. Keuntungan metode penetasan, bentuk sarang lebih sempurna, memberi kesempatan walet berkembang biak, tapi akibatnya kualitas sarang burung nya sedikit menurun akibat tercampur kotoran
anak-anak walet tadi.
Sistem pemetikan empat kali setahun walaupun hasilnya bisa lebih banyak dalam setahun, tapi kurang baik dalam jangka panjangnya, karena akan menekan populasi walet. Selain itu walet jadi tak kerasan di rumahnya, karena sarangnya kelewat sering diambil. Sarang burung yang dihasilkan pun menjadi tipis sehingga harganya agak berkurang. Sistem pemetikan empat kali ini dilakukan dengan metode rampasanpada panenan pertama, panenan kedua dan ketiga menggunakan buang telur, dan panenan keempat baru menggunakan metode penetasan.
Sumber: Kompas, 11 Januari 1989