Dari Sagu ke Sega dan Konsekuensinya

- Editor

Senin, 30 Mei 2016

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Masyarakat Mentawai yang secara tradisional memakan sagu dan taro (keladi), perlahan tapi pasti kini beralih ke nasi atau sega, dalam bahasa Jawa. Perubahan itu mulai berdampak buruk pada kesehatan masyarakat Mentawai, kerusakan ekologi, bahkan juga ketahanan pangan.

Perubahan pola makan itu tampak kentara selama sepekan survei di Mentawai bersama tim Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. Survei dilakukan di 6 wilayah di Kepulauan Mentawai, pertengahan April 2016, meliputi Mapaddegat, Peipei, Tiom, Taileleu, Ugai, dan Madobag.

Selain mengambil sampel genetika untuk kepentingan riset asal-usul dan migrasi manusia Indonesia, para peneliti ini memeriksa perubahan gaya hidup orang Mentawai dan pengaruhnya pada kesehatan. Mereka memeriksa tekanan darah dan gula darah, selain mendata pola makan masyarakat.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Dari 153 responden yang diwawancarai, menurut peneliti genetika dan penyakit karena perubahan gaya hidup Lembaga Eijkman, Safarina G Malik, sebagian besar mengonsumsi nasi sebagai makanan utama.

Mereka yang makan nasi tiga kali sehari mencapai 73,2 persen. Adapun yang makan nasi 1-4 kali per minggu 21,6 persen, dan yang makan nasi 1-4 kali dalam sebulan hanya 3,9 persen. Tak ada lagi yang tak makan nasi, minimal sebulan sekali.

251e10302627467786661ea1e8ccabf8KOMPAS/AHMAD ARIF–Menu makanan tradisional masyarakat di Dusun Ugai, Desa Madobak, Kecamatan Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai, berupa pisang, parutan kelapa, dan sagu bakar.

“Yang masih makan sagu di sela-sela konsumsi nasi hanya berasal dari tiga desa, yakni Tiom (35 persen), Ugai (65 pesen), dan Madobag (49 persen),” ucap Safarina. Tiga desa itu di Pulau Siberut. Banyak warga di desa-desa pesisir, seperti Mapaddegat di Pulau Sipora, sepenuhnya beralih ke nasi.

Salum Sawawalat (74), warga Mapaddegat, mengatakan, kini anak-anak muda di desanya jarang mau makan keladi atau sagu. “Padahal, saat saya muda dulu, amat jarang yang makan nasi. Ini terutama sejak 1970-an, saat kami mulai pindah dari uma ke desa di pesisir.”

Menurut riset antropolog dari Universitas Leiden, Gerard Persoon (1992), upaya mengubah pola makan masyarakat tradisional Mentawai ke beras terjadi sejak lama. Pada 1920-an, misionaris Jerman, Borger, mengajak masyarakat Siberut menanam padi. Alasan Borger, sagu jadi simbol kemalasan dan kemandekan. Ia mengampanyekan bercocok tanam padi jadi simbol kemajuan dan pembangunan.

Setelah Indonesia merdeka, kampanye penanaman padi lebih masif. Pemerintah setempat mewajibkan setiap anak muda yang akan menikah agar menanam padi lebih dahulu. Pada 1970-an, pemerintah mencanangkan program “pengentasan warga pedalaman dari kemiskinan” dengan memaksa warga Mentawai pindah ke pesisir. Konsumsi beras jadi indikator sukses tidaknya program ini.

Banyak orang akhirnya mengonsumsi beras karena tak ingin dicap terbelakang atau miskin. Maka, beras pun perlahan jadi makanan pokok masyarakat Mentawai, yang selama ribuan tahun sebelumnya mengonsumsi sagu, taro, dan pisang. “Kalau waktu kecil makanan pokoknya keladi dan sagu. Dulu, kalau tak makan sagu atau keladi tak kenyang. Kini, kalau tak makan nasi tidak kenyang,” kata Salum.

Pola penyakit
Perubahan pola konsumsi dari sagu ke beras berdampak pada kesehatan masyarakat. “Beberapa tahun terakhir, muncul banyak penyakit baru. Misalnya, hipertensi termasuk 10 besar penyakit terbanyak diderita masyarakat Mentawai sejak 2015. Bahkan, mulai terdeteksi warga asli Mentawai menderita kanker,” kata Kepala Dinas Kesehatan Mentawai, Lahmuddin.

Safarina mengatakan, munculnya penyakit-penyakit noninfeksi itu terkait erat perubahan gaya hidup, terutama perubahan pola makan. Penyakit dipengaruhi gaya hidup itu terutama ialah diabetes melitus, hipertensi, penyakit jantung, dan kanker. “Perubahan pola konsumsi memengaruhi mikroflora dan mikroba usus. Ini memengaruhi daya tahan tubuh terhadap penyakit,” ucap Safarina.

Beras dan sagu memiliki kandungan nutrisi berbeda. Mengacu riset Platt (1977), dalam 100 gram sagu di Siberut mengandung protein 0,5 gram karbohidrat 88 gram dan tanpa lemak. Dalam beras ukuran sama, di Siberut, mengandung 7 gram protein, 80 gram karbohidrat, dan 0,5 gram lemak.

Beras memiliki protein dan lemak jauh lebih tinggi daripada sagu. Ini kerap diunggulkan dari beras. Namun, defisit protein dan lemak yang tak bisa dipenuhi dari sagu, secara tradisional ditutupi keberlimpahan protein di Mentawai dari ikan dan hewan buruan.

Selain itu, masyarakat Mentawai di masa lalu biasa mengonsumsi tamra, larva kumbang, dari batang sagu yang dibiarkan membusuk. Tamra amat kaya protein. Di tengah pola konsumsi masyarakat kini yang tinggi protein dan lemak, sagu jadi alternatif diet yang baik.

Selain perbedaan kandungan protein dan lemak, sagu dan beras amat berbeda indeks glikemiknya. Indeks itu mengukur seberapa cepat glukosa dilepaskan di aliran darah setelah makan. Makanan dengan indeks glikemik rendah membuat seseorang merasa kenyang lebih lama dan menjaga kadar gula darah lebih stabil.

Sagu punya indeks glikemik rendah sehingga lama dicerna ketimbang nasi. Indeks glikemik nasi yang amat tinggi cepat meningkatkan kadar gula darah dan tak baik bagi penderita diabetes. “Indeks glikemik nasi di atas 70 persen, tinggi. Sagu hanya 20 persen, dan talas 50 persen,” kata Safarina.

Jadi, konsumsi sagu atau keladi secara tradisional oleh warga Mentawai membantu mencegah potensi kena diabetes. Sebaliknya, perubahan ke nasi meningkatkan risiko diabetes.

Padahal, secara genetis, masyarakat Indonesia membawa gen yang rentan penyakit itu sehingga perubahan ke beras menambah kerentanannya. Deputi Direktur Eijkman yang juga ahli genetika, Herawati Sudoyo-Supolo, mengatakan, warga Indonesia rata-rata punya kadar basa T16189C di struktur DNA (asam deoksiribonukleat) mitokondrianya di atas 30-40 persen, dengan Nias 60 persen atau yang tertinggi.

Makin tinggi T16189C-nya, kian tinggi risiko diabetes. “Kadar basa belum diteliti di Mentawai, kemungkinan mendekati Nias. Riset kami kali ini salah satunya untuk itu,” kata Herawati.

Perubahan pola makan ini juga memicu perubahan ekologi di Mentawai. Tanaman sagu (Metroxylon sagu) ialah tanaman asli Mentawai, bahkan Indonesia, terutama kawasan timur seperti Papua dan Maluku. Berbeda dengan sagu yang bisa tumbuh di rawa-rawa atau hutan tanpa dirawat, padi perlu lahan terbuka dan perawatan intensif. Selain harus membuka hutan, padi butuh irigasi, pupuk, obat-obatan, dan jam kerja empat kali lebih banyak untuk produksinya. Riset Gerard Persoon (1992), satu jam kerja orang Mentawai menghasilkan 2,6 kg sagu. Dalam kurun waktu sama, beras yang dihasilkan hanya 0,6 kg.

Meski terus terjadi pembukaan sawah baru di Mentawai, kepulauan itu tergantung pasokan beras dari luar. Data Dinas Pertanian, Peternakan, dan Perkebunan Kabupaten Kepulauan Mentawai pada 2013, konsumsi beras di Mentawai per tahun 5.100 ton dan produksi beras 3.513 ton atau defisit 1.587 ton.

Masalahnya, perubahan pola konsumsi tradisional dari sagu ke nasi terjadi secara nasional. Selain di Mentawai, itu terjadi pada warga di kawasan Indonesia timur, khususnya Maluku dan Papua. “Kami pernah meneliti di Maba, Maluku Utara, pemerintah daerah di sana akan membuka hutan untuk dijadikan sawah. Mereka ingin makan nasi karena mengira itu membuat lebih pintar. Ini cara pandang bias,” kata Herawati.

Perubahan pola konsumsi itu terkait kebijakan pangan nasional bias beras. Padahal, dari aspek kesehatan, ekologi, kebudayaan, dan ketahanan pangan, penyeragaman pangan jadi beras, sarat masalah.–AHMAD ARIF
——————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Mei 2016, di halaman 14 dengan judul “Dari Sagu ke Sega dan Konsekuensinya”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya
Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri
PT INKA Fokus pada Kereta Api Teknologi Smart Green, Mesin Bertenaga Air Hidrogen
7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya
Anak Non SMA Jangan Kecil Hati, Ini 7 Jalur Masuk UGM Khusus Lulusan SMK
Red Walet Majukan Aeromodelling dan Dunia Kedirgantaraan Indonesia
Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu
Madura di Mata Guru Besar UTM Profesor Khoirul Rosyadi, Perubahan Sosial Lunturkan Kebudayaan Taretan Dibi’
Berita ini 2 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 21 Februari 2024 - 07:30 WIB

Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:23 WIB

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:17 WIB

PT INKA Fokus pada Kereta Api Teknologi Smart Green, Mesin Bertenaga Air Hidrogen

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:09 WIB

7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya

Rabu, 7 Februari 2024 - 13:56 WIB

Anak Non SMA Jangan Kecil Hati, Ini 7 Jalur Masuk UGM Khusus Lulusan SMK

Minggu, 24 Desember 2023 - 15:27 WIB

Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu

Selasa, 21 November 2023 - 07:52 WIB

Madura di Mata Guru Besar UTM Profesor Khoirul Rosyadi, Perubahan Sosial Lunturkan Kebudayaan Taretan Dibi’

Senin, 13 November 2023 - 13:59 WIB

Meneladani Prof. Dr. Bambang Hariyadi, Guru Besar UTM, Asal Pamekasan, dalam Memperjuangkan Pendidikan

Berita Terbaru

US-POLITICS-TRUMP

Berita

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Feb 2024 - 14:23 WIB