Suatu sore, penulis menemani anak-anak usia SD membaca di sebuah perpustakaan dusun di pelosok Gunung Kidul, Yogyakarta. Di tengah keasyikan, seseorang bertanya, ”Lengkuas itu apa?”
Tak seorang pun menjawab. Penulis ikut nimbrung, memancing dengan pertanyaan: ”Kalian ngerti laos (Jawa: lengkuas)?” Tetap saja semua geleng kepala.
Anak yang bertanya tadi tiba-tiba menjelaskan panjang lebar tentang lengkuas dengan membaca buku yang dipegangnya, yaitu buku obat-obatan tradisional. Sore itu terjadi diskusi kecil oleh anak-anak kecil mengenai lengkuas (Alpinia galanga) dan jenis tanaman obat-obatan yang lain.
Mengapa anak-anak sampai tidak tahu lengkuas? Sangat ironis! Mereka hidup dalam masyarakat rural yang orangtuanya hampir tiap hari menggunakannya, baik untuk obat maupun bumbu masak. Bagi penulis, ini masalah, lantas berencana mengenalkannya kepada anak-anak dengan cara yang menyenangkan.
Esoknya, penulis bertanya kepada mereka, ”Perlukah lengkuas dan sejenisnya diketahui?” Ya, tentu saja, jawab mereka. Rencana dan persiapan kemudian diterapkan. Pertemuan pertama, anak-anak diajak menyusuri jalan kampung sambil melihat-lihat, di pekarangan siapa saja yang tumbuh tanaman obat-obatan. Selesai jalan-jalan, anak-anak diminta menggambar rute yang telah dilalui. Selanjutnya, menandai rumah siapa saja yang pekarangannya ditanami tanaman obat-obatan. Maka, di pertemuan pertama jadilah peta obat-obatan tradisional di dusun tersebut.
Pertemuan kedua, anak-anak diminta membawa beberapa jenis tanaman obat. Satu per satu diminta menjelaskan tanaman yang dibawa, kemudian menggambarnya utuh: daun, batang, akar. Mereka juga diminta menggambar detail bagian yang bisa dimanfaatkan sebagai obat. Selesai menggambar, lukisan sederhana itu dipajang di dinding perpustakaan. Jadilah pertemuan kedua semacam pameran gambar tanaman obat-obatan.
Pertemuan selanjutnya, anak-anak mendiskusikan jenis-jenis tanaman obat, khususnya yang asing bagi mereka atau yang jarang ditemui. Penulis mengajak mereka mencari informasi ke warga, utamanya orangtua yang paham. Seperti kerja jurnalistik, di ujung pertemuan hasilnya adalah tulisan sederhana mengenai dusun mereka dan obat-obatan tradisional yang tumbuh di atasnya. Tulisan-tulisan itu kemudian dimuat di koran dusun.
Pertemuan terakhir, membuat video tentang anak-anak dusun dan tanaman obat tradisional. Jenis film adalah pengenalan tanaman obat beserta cara pengolahannya.
Menjadi Pembelajar
Ada banyak hal yang bisa digunakan ketika belajar. Media, bagi mereka sangatlah penting, sebab sifatnya memudahkan. Pada prinsipnya, hal-hal yang substantif sebisa mungkin gampang diterima. Lebih bagus jika media tersedia di sekitar lingkungan. Tujuannya, anak-anak memahami diri dan lingkungannya.
Contoh sederhana dari peristiwa itu, anak bisa memahami tanaman obat tradisional dengan mempelajarinya langsung. Pelajaran lain pun bisa didapat, seperti pemetaan, teknik mengarsir, reportase, menulis, produksi film, kepedulian lingkungan, kerja sama, dan manfaat lain yang didapat dengan cara ”sambil menyelam minum air”.
Manfaat-manfaat yang didapatkan di atas tentu bukan tanpa sengaja. Walaupun yang dilakukan adalah pendidikan nonformal, semua kegiatan tersebut terencana, terarah, terkontrol, dan bertujuan. Penting pula dalam hal ini adalah belajar dengan cara yang menyenangkan.
Di balik itu semua ada hal menyedihkan: selama ini mereka ternyata asing terhadap diri dan lingkungannya. Hal ini pula yang tidak diajarkan di sekolah formal. Bahwa, selama ini, sekolah formal yang dilapisi tembok pembatas serasa seperti membatasi ruang kebebasan anak-anak.
Sekolah bagi mereka adalah duduk di dalam ruangan, mendengar guru menerangkan, menghafal, dan bertahan dalam kekakuan. Alam, lingkungan sosial, dan keluarga sangat jarang dilibatkan sebagai medan belajar. Itulah yang menjadikan si anak terasing dari realitas diri dan lingkungannya.
Seorang guru tentu pernah merasakan menjadi murid (insan pembelajar). Menjadi murid itu tidak gampang sebab tidak semua guru mampu menyampaikan materi ajarnya dengan baik. Belum lagi jika si murid memiliki keterbatasan secara personal dalam menyerap pelajaran, atau bahkan sarana dan prasarana belajar-mengajar yang terbatas.
Maka, guru yang baik adalah insan yang senantiasa mau belajar. Artinya, dirinya dituntut selalu inovatif, mau memikirkan strategi bagaimana transformasi akhlak dan ilmu pengetahuan dapat terserap efektif oleh murid. Dalam hal ini, murid bisa menjadi ”guru” bagi si guru, yaitu ketika model pembelajarannya terlahir dari kebutuhan murid.
Bagaimana menjadi guru baik dengan pembelajaran yang ideal? Pertama, proses belajar yang menyenangkan. Salah satu bentuk belajar menyenangkan adalah belajar dengan permainan. Kata ”permainan” (bukan ”main-main”) sekilas tampak sepele, tetapi sesungguhnya diciptakan melalui pemikiran, perencanaan, percobaan, terarah, dan memiliki tujuan. Kata yang pas untuk menyamakan dengan ”permainan” adalah media, sebagaimana cerita penulis di atas.
Kedua, bertolak dari filsafat pendidikan Freire (1984), yaitu pendidikan yang membebaskan. Murid bukanlah obyek proses belajar, melainkan subyek. Fungsi guru adalah mediator dan motivator bagi murid yang memiliki rasa ingin tahu. Menempatkan murid sebagai subyek proses belajar akan membuat murid bersyukur menjadi dirinya sendiri.
Ketiga, menciptakan pendidikan seimbang yang memperhatikan seluruh aspek diri manusia, yaitu hati, akal, dan fisik dalam bingkai ketauhidan. Pendidikan semacam ini jika dilakukan sejak dini mampu meminimalkan pengaruh negatif dari luar.
Upaya pembelajaran di atas bisa dilakukan oleh guru yang berkompeten, memiliki idealisme memajukan pendidikan, dan pantang menyerah. Mereka adalah orang-orang yang tersenyum bahagia ketika tunas-tunas bangsa tumbuh dengan akhlak dan kecerdasan yang dipergunakan bagi kemaslahatan umat, kelestarian alam, dan penguat pilar agama. Wallahualam!
Hasta Indriyana ; Bekerja di Yayasan Pendidikan & Kebudayaan RODA
Sumber: KOMPAS, 27 Agustus 2012