Bayi lahir prematur rentan mengalami kebutaan akibat gangguan pembentukan pembuluh darah pada retina atau retinopati prematuritas. Pemeriksaan sejak dini penting dilakukan untuk mencegah risiko kebutaan tersebut.
Pakar kesehatan mata anak dan Guru Besar Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia- Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM) Rita Sita Sitorus mengatakan, dari 4,5 juta anak terlahir di Indonesia, sekitar 30 persen bayi lahir prematur dan berisiko mengalami ROP. “Sebanyak 66 persen bayi yang dirujuk ke RSCM bahkan sudah mengalami ROP pada stadium lanjut,” ujarnya dalam acara peluncuran program Mobile Retinopati Prematuritas Jakarta (Jak-ROP), di Jakarta, Jumat (17/11).
Jak-Rop merupakan program pemeriksaan mata pada bayi prematur dengan sistem jemput bola di sejumlah rumah sakit umum daerah di DKI Jakarta. Program yang dijadwalkan mulai dilaksanakan pada Desember 2017 ini merupakan salah satu upaya pencegahan kebutaan pada bayi lahir prematur. Paramedis yang terlatih akan mendatangi secara rutin setiap rumah sakit dengan membawa kamera retina bergerak untuk mengidentifikasi ROP pada bayi prematur.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Direktur Utama RSCM Czeresna Heriawan Soejono menyampaikan, pemeriksaan ini akan dilakukan di lima rumah sakit umum daerah di DKI Jakarta. “RSUD Koja (Jakarta Utara), RSUD Cengkareng (Jakarta Barat), RSUD Tarakan (Jakarta Pusat), RSUD Budhi Asih (Jakarta Timur), dan RSUD Pasar Rebo (Jakarta Timur),” ujarnya.
Wajib
Rita mengatakan, setiap bayi prematur wajib melakukan pemeriksaan ROP, terlebih setelah ada rujukan dari dokter yang menangani bayi tersebut. Berdasarkan hasil diskusi Kelompok Kerja Nasional ROP dan Bayi Prematur 2010, bayi dengan berat lahir kurang dari atau sama dengan 1.500 gram atau dengan usia gestasi (usia kehamilan) kurang dari atau sama dengan 34 minggu, harus mengikuti pemeriksaan ROP.
Bayi yang teridentifikasi mengalami ROP, kata Rita, harus diberikan beberapa terapi, yaitu laser retina, krioterapi (terapi pembekuan bagian pinggir retina), suntikan obat, dan bedah retina. “Pada stadium pertama tidak perlu dilakukan terapi, tetapi harus terus diobservasi hingga dokter mengatakan kondisi bayi aman,” katanya.
Pemeriksaan ROP pada bayi tidak cukup dilakukan sekali. Pemeriksaan rutin perlu dilakukan bergantung pada kondisi bayi. Biasanya pemeriksaan dilakukan setiap satu-dua minggu sekali.
Dalam kesempatan yang sama, pakar bayi prematur dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM Rinawati Rohsiswatmo menyampaikan, bayi yang lahir prematur rentan mengalami risiko kesehatan. Hal ini karena organ tubuhnya belum terbentuk secara sempurna.
“Beberapa faktor risiko yang menyebabkan bayi prematur mengalami ROP adalah adanya sepsis (infeksi berat), penggunaan oksigen lebih dari tujuh hari, dan transfusi darah berulang,” ujarnya. Faktor risiko lain seperti adanya penyakit pada sistem pernapasan, pendeknya masa kehamilan, dan perdarahan intraventrikuler (pendarahan pada otak).
Rina mengatakan, jika usia kehamilan lebih dari 30 minggu, pemeriksaan ROP bisa dilakukan pada dua-empat minggu setelah kelahiran. Jika usia kehamilan kurang atau sama dengan 30 minggu, pemeriksaan bisa dilakukan setelah empat minggu kelahiran. “Setidaknya harus dilakukan satu kali pemeriksaan sebelum bayi pulang dari rumah sakit,” ujar Rina. (DD04)
Sumber: Kompas, 18 November 2017