Catatan Iptek; Peradaban Baru

- Editor

Senin, 27 April 2015

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Empat puluh lima tahun lalu, tanggal 22 April 1970, sekitar 20 juta warga negara Amerika Serikat tercerahkan: betapa pentingnya manusia melindungi sumber daya alam. Laut, atmosfer, daratan, dan (kondisi) biologi, perlu dilindungi untuk (diwariskan pada) generasi mendatang.
Ketika itu elang gundul (Bald eagle) lambang AS terancam punah, paus di bumi juga mengalami nasib sama. Kasus domestik, Sungai Cuyahoga polusinya sedemikian parah dan sungai itu terbakar. Maka, lahirlah Hari Bumi dengan tokohnya Gaylord Nelson-mantan Gubernur Wisconsin, AS, yang saat itu duduk di kursi Senat AS. Hari ini, di seluruh penjuru dunia, sebagian warga merayakan Hari Bumi.

Kata konsumsi dan keserakahan belum memasuki kesadaran para aktivis pencetus Hari Bumi 45 tahun lalu. Kalimat terkenal Mahatma Gandhi,

”Dunia bisa memenuhi kebutuhan setiap orang, namun tak cukup untuk memenuhi keserakahan setiap orang” seakan tidak menemukan konteksnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Seiring dengan revolusi industri pada 1850-an, produksi pun bertambah diiringi peningkatan konsumsi. Pertumbuhan ekonomi dibaca secara keliru sebagai salah satu indikator kesejahteraan. Ironisnya, pertumbuhan ekonomi justru makin mengonsentrasikan kapital pada sebagian kecil komunitas.

Manusia sebagai ”spesies kera dengan imajinasi tinggi” telah termakan oleh pengetahuan dan inovasi yang diciptakannya sendiri sebagai hasil dari imajinasi intelektual mereka. Revolusi industri dengan cepat mendorong tumbuhnya kebutuhan.

Filosof Ivan Illich seperti dikutip Alan Durning dalam ”How Much Is Enough?” (Worldwatch Institute, 1992) menyatakan, apa yang didengar orang Amerika pada 1970-an sudah berbeda dengan apa yang mereka dengar di tahun 1920-an. Kata yang diucapkan tahun 1920-an ditujukan kepada dia sebagai individual atau seseorang. Tahun 1970-an, kata-kata itu ditujukan kepada kita sebagai bagian dari pasar yang bersifat massal.

Teks yang kita baca, gambar yang kita lihat, tempat-tempat yang kita kunjungi, semuanya memanjakan indera kita, memicu rasa nikmat.

Konsumerisme tumbuh pesat. Manusia terlena. Mereka tak hirau bahwa bumi terbatas. Bahwa sumber daya terbatas. Mampukah bumi yang terbatas memenuhi nafsu konsumerisme yang tanpa batas? Tepat seperti apa yang diucapkan Mahatma Gandhi.

Industri yang ditopang energi fosil dengan sigap memproduksi barang-barang konsumsi, mengakibatkan ”selimut hangat” atmosfer meningkat suhunya akibat kenaikan konsentrasi gas rumah kaca (GRK)

sebagai dampak konsumsi bahan bakar fosil. Awal tahun ini konsentrasi gas CO2 di atmosfer melampaui batas 400 bagian per sejuta (ppm). Batas 400 ppm adalah batas titik balik. Maka, tak lagi dimungkinkan terjadi titik balik.

Konferensi Perubahan Iklim Pertemuan Para Pihak ke-21 di Paris adalah momentum lahirnya peradaban baru dunia. Ilmuwan yang jadi utusan khusus perubahan iklim Inggris, Sir David King, membandingkannya dengan kondisi pasca Perang Dunia II, tahun 1945. Hancurnya kemanusiaan dalam perang dunia telah melahirkan kesadaran manusia untuk eksis. Lahirlah Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Menurut King, konferensi di Paris terjadi pada situasi yang mirip dengan situasi tahun 1945. Manusia terancam eksistensinya. Dengan laju emisi GRK seperti sekarang, jika berlanjut, pada tahun 2100 suhu bumi bisa meningkat sekitar lima derajat dibandingkan suhu seratus tahun lalu, atau sekitar empat derajat celsius dari suhu sekarang. Bencana banjir, badai, iklim, dan cuaca ekstrem akan terjadi lebih sering dan lebih masif. Kerusakannya pun masif.

Pertanyaan eksistensial yang muncul hanya bisa dijawab dengan peradaban baru yang berpeluang lahir di Paris jika negara-negara sepakat menurunkan emisi GRK. Inovasi teknologi lalu jadi keniscayaan. Lantas, konsumerisme…? —– BRIGITTA ISWORO LAKSMI
———————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 April 2015, di halaman 14 dengan judul “Peradaban Baru”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya
Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri
PT INKA Fokus pada Kereta Api Teknologi Smart Green, Mesin Bertenaga Air Hidrogen
7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya
Anak Non SMA Jangan Kecil Hati, Ini 7 Jalur Masuk UGM Khusus Lulusan SMK
Red Walet Majukan Aeromodelling dan Dunia Kedirgantaraan Indonesia
Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu
Madura di Mata Guru Besar UTM Profesor Khoirul Rosyadi, Perubahan Sosial Lunturkan Kebudayaan Taretan Dibi’
Berita ini 0 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 21 Februari 2024 - 07:30 WIB

Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:23 WIB

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:17 WIB

PT INKA Fokus pada Kereta Api Teknologi Smart Green, Mesin Bertenaga Air Hidrogen

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:09 WIB

7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya

Rabu, 7 Februari 2024 - 13:56 WIB

Anak Non SMA Jangan Kecil Hati, Ini 7 Jalur Masuk UGM Khusus Lulusan SMK

Minggu, 24 Desember 2023 - 15:27 WIB

Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu

Selasa, 21 November 2023 - 07:52 WIB

Madura di Mata Guru Besar UTM Profesor Khoirul Rosyadi, Perubahan Sosial Lunturkan Kebudayaan Taretan Dibi’

Senin, 13 November 2023 - 13:59 WIB

Meneladani Prof. Dr. Bambang Hariyadi, Guru Besar UTM, Asal Pamekasan, dalam Memperjuangkan Pendidikan

Berita Terbaru

US-POLITICS-TRUMP

Berita

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Feb 2024 - 14:23 WIB