Catatan 75 Tahun Pendidikan

- Editor

Kamis, 13 Agustus 2020

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Sri Mulyati menjaga warung kaki limanya di Jalan Imam Bonjol, Karawaci, Tangerang, sembari memantau anaknya, Lentera, yang sedang mengerjakan tugas-tugas sekolah dengan dibantu oleh Wahyu, tetangganya, Senin (3/8/2020). Dalam pelaksanaan pembelajaran jarak jauh (PJJ) karena pandemi Covid-19, idealnya siswa didampingi oleh orang dewasa agar tetap terjaga konsentrasinya. 

Kompas/TOTOK WIJAYANTO
03-08-2020

Sri Mulyati menjaga warung kaki limanya di Jalan Imam Bonjol, Karawaci, Tangerang, sembari memantau anaknya, Lentera, yang sedang mengerjakan tugas-tugas sekolah dengan dibantu oleh Wahyu, tetangganya, Senin (3/8/2020). Dalam pelaksanaan pembelajaran jarak jauh (PJJ) karena pandemi Covid-19, idealnya siswa didampingi oleh orang dewasa agar tetap terjaga konsentrasinya. Kompas/TOTOK WIJAYANTO 03-08-2020

Untuk 25 tahun ke depan, penentu kebijakan dan masyarakat perlu lebih mampu mengendurkan hasrat penyeragaman di pendidikan, sebaliknya justru bersemangat memanggungkan keberagaman di Indonesia ke dunia luar.

Pada 19 Agustus 2020, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan berusia 75 tahun. Banyak yang telah berhasil dilakukan pendidikan pasca-penjajahan dan perlu dihargai. Meski demikian, ada pula yang perlu dikritisi dan dikoreksi. Indonesia bersama China, India, Amerika Serikat, dan Brasil adalah negara dengan jumlah penduduk besar dan tersebar di teritorinya yang luas.

Pemerataan pendidikan
Karakter geografi kepulauan Indonesia menambah tantangan memeratakan layanan pendidikan. Maka, pemerintah sejak awal sudah mengetahui perlunya memeratakan penyebaran sekolah di seluruh wilayah Tanah Air. Untuk upaya ini, pendidikan Indonesia merupakan salah satu yang berhasil, setidaknya berhasil mewujudkan melek aksara serta membelajarkan bahasa nasional.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Seseorang yang mengunjungi pelosok di mana saja di Indonesia relatif dapat berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia dengan penduduk setempat. Keberhasilan ini kadang dijadikan rujukan negara berkembang lain. Namun, pada praktik penyediaan pendidikan formal ini, pemerataan terlalu diutamakan dengan terkadang mengorbankan atau mengabaikan mutu. Padahal, pemerataan dan peningkatan mutu pendidikan dapat dan perlu meningkat bersamaan.

Akibatnya, upaya memeratakan pendidikan ini pada praktiknya kerap disepelekan sebagai keseragaman pendidikan. Apa yang dibelajarkan serta bagaimana cara mengajarkannya di Jakarta dipaksa sama dengan di Ambon. Cara berpikir seragam dipaksakan untuk Indonesia dengan keadaan geografis unik serta amat beragam.

Penyeragaman pendidikan ini yang kemudian menjadi penghambat utama langkah perbaikan mutu pendidikan di Indonesia. Dampaknya, lokasi tempat tinggal serta strata sosial keluarga sampai hari ini masih menjadi pembeda serta penentu mutu layanan pendidikan yang dialami anak.

Penyeragaman
Keberagaman budaya bahkan geografi faktanya belum dapat diterima, apalagi dianggap sebagai kelebihan atau kekuatan. Keberagaman baru dianggap kenyataan yang perlu dimaklumi. Sepertinya keberagaman masih dianggap merepotkan sehingga perlu diredam.

Cara pandang keberagaman sebagai beban yang perlu dimaklumi sekaligus boleh dikorbankan ini telah merasuki kebijakan serta praktik pendidikan juga. Sekarang, hasrat menyeragamkan pendidikan ini menjadi penghambat utama kemajuan pendidikan.

Penyeragaman senantiasa berdampingan dengan sepupunya, yakni pemaksaan. Upaya penyeragaman dalam praktik pendidikan, misalnya baju seragam sekolah, memerlukan unsur pemaksaan dari lingkungan. Pembiaran juga menjadi katalisator penyeragaman. Pemilihan apa yang akan dipaksakan untuk dijadikan keseragaman juga sangat rentan dipolitikkan, terutama di masa populisme sektarian yang sedang populer di dunia.

Kebijakan pemaksaan penyeragaman sudah mengakar sejak lama. Saat kekuasaan pemerintah sedang lemah, biasanya dicari dukungan kelompok. Caranya dengan menelurkan berbagai kebijakan populis, termasuk di pendidikan. Maka, mulailah populisme sektarian merasuki kebijakan pendidikan nasional dan pendidikan menjadi semakin tak universal lagi.

Kemudian, gagasan sektarian mulai dipaksakan ke dalam dokumen pendidikan nasional, bahkan sampai memengaruhi rumusan tujuan pendidikan. Dokumen pendidikan nasional jadi tak umum lagi. Kecuali istilah yang tak umum dan belum tentu dipahami keseluruhan masyarakat, yang paling dikorbankan oleh langkah memolitikkan pendidikan ini ialah lunturnya perasaan kepemilikan dokumen pendidikan itu.

Tak semua golongan di masyarakat menjadi merasa memiliki dokumen pendidikan publik lagi. Dampak terbesarnya, sebagian rakyat menjadi berjarak dan terasingkan dengan gagasan pendidikan nasionalnya. Hasrat untuk memaksakan keseragaman ini berskala menyeluruh dan, sekarang menyedihkannya, telah dianggap suatu kewajaran.

Akibatnya, hari ini, hasrat menyeragamkan tersebut telah menjadi benalu sekaligus pasung pendidikan nasional. Pendidikan nasional menjadi sulit untuk terbang tinggi karena sayapnya telah digelayuti oleh rangkaian beban keseragaman.

Dokumen nasional seperti standar dan kurikulum dipaksa menggunakan satu format yang sama untuk semua mata pelajaran. Satu bentuk tabel (yang tampak sekali amat kaku, membosankan, prosedural, dan tak kreatif) dipaksakan untuk dipatuhi semua keilmuan atau mata pelajaran. Keindahan serta kegeniusan keilmuan, akibatnya, harus mengalah dan tunduk pada administrasi. Kebinekaan telah dikorbankan demi ketunggalan.

Padahal, seharusnya skema dokumen pendidikanlah yang harus mengikuti keunikan keilmuan. Administrasi seharusnya memahami karakteristik tiap keilmuan. Pedagogi harus mengikuti keunikan muatan keilmuan, bukan sebaliknya. Misalnya, untuk membelajarkan sejarah apalagi pendidikan jasmani, jelas berbeda dengan membelajarkan bahasa.

Perbedaan dan keunikan keilmuan ini tak boleh dinihilkan, tetapi justru harus dipelihara dan dijadikan pegangan utama. Ke depan, dokumen pendidikan nasional, seperti standar, kurikulum, dan apalagi bahan ajar, justru harus berangkat dari keberagaman.

Langkah merumuskan gagasan sampai dokumen pendidikan nasional perlu senantiasa mengingat keunikan di bawah, baru ke atas. Harapan ke depan, keberagaman di tataran bawah terus dirawat diestafetkan sampai di atas.

Memang birokrasi serta administrasi akan lebih dimudahkan pekerjaannya jika praktik pendidikan seragam. Namun, ketidaknyamanan birokrasi jangan sampai jadi pembenar penyeragaman. Justru sebaliknya, keberagaman dan keunikan budaya, geografis, keilmuan, dan alam Indonesia harus terus berkuntum di benak penentu kebijakan.

Sama seperti Deklarasi Djuanda yang berhasil mengajak warga dunia untuk berpikir dengan perspektif ciri unik geografis negara kepulauan, khususnya Indonesia, demikian pula perspektif keberagaman Indonesia harus senantiasa dihayati oleh penentu kebijakan pendidikan nasional.

Benang merah gagasan besar antarkeilmuan harus dikenali dan dijadikan pegangan di tataran atas. Kebijakan paling atas harus bersifat umum sehingga menyokong dan mengayomi keberagaman di bawah, seperti keberagaman keilmuan dan keberagaman budaya tersebut.

Kemudian, kebijakan yang menyokong keberagaman tersebut dinarasikan atau diorkestrakan melalui dokumen pendidikan secara efektif, yakni berbahasa sederhana, masuk akal, dan alami sehingga setiap warga negara merasa memiliki dokumen itu. Sama sekali tak boleh ada warga negara yang merasa terpaksa harus menerima dokumen negara tersebut.

Penyeragaman kecakapan
Ada satu kecenderungan penyeragaman lain yang mengkhawatirkan, yakni penyeragaman kecakapan. Dengan kian populernya evaluasi pendidikan internasional, seperti PISA, pemimpin dan politisi di dunia telah memanfaatkannya untuk berpolitik, mengampanyekan dirinya atau menyerang lawan politiknya.

PISA serta pemeringkatan unjuk kerja negara berdasar skor PISA sekarang telah menjadi peranti politik di dunia. Kebijakan pendidikan banyak negara di dunia sekarang merujuk ke PISA, bahkan tak jarang ada yang sampai memercayai mutlak serta mematuhi hasilnya tanpa kritik.

Banyak pemimpin dunia sekarang menyederhanakan mutu pendidikan negara dengan skor PISA. Maka, strategi pragmatis dibuat agar skor PISA pelajarnya meningkat. Maka, tujuan pendidikan telah dipersempit, jadi sekadar meningkatkan skor PISA.

Akibatnya, kebijakan pendidikan baru dibuat agar skor pelajarnya pada tes internasional meningkat. Yang terjadi di sekolah kemudian adalah strategi teaching for the test atau pengajaran untuk tes PISA. Capaian anak, sekolah, bahkan pendidikan nasional diukur oleh tes internasional.

Yang mungkin jarang dicermati sekaligus dikritisi, banyak anak di dunia sekarang mengejar kecakapan global yang sama. Jika gegabah, di masa depan akan terjadi penyeragaman kecakapan di dunia. Pada satu sisi, kenyataan ini memang baik karena pelajar mengasah kecakapan globalnya dan ini tak ada salahnya.

Namun, kecakapan lokal juga perlu dikembangkan. Mengembangkan kecakapan global bukan berarti boleh mengabaikan kecakapan lokal, seperti keterampilan memahat suku Asmat atau pengetahuan melaut suku Bajo. Kecakapan global sama pentingnya dengan kecakapan lokal.

Sebelum dihentikan karena krisis wabah di 2020 ini, sudah ada upaya membuat ujian nasional setidaknya dalam mata ajar Matematika, IPA, dan Bahasa semakin mirip dengan PISA. Asesmen nasional dibuat mengekor asesmen global, yakni mengujikan kecakapan seperti diujikan tes PISA.

Kini bukan hanya di pemerintahan, beberapa LSM serta lembaga penelitian non-pemerintah di bidang pendidikan juga sudah mengikuti asesmen global itu. Mereka juga kadang mengujikan atau mengajarkan secara spesifik pengetahuan dan keterampilan yang mirip di asesmen internasional. Akibatnya, banyak kecakapan lokal terancam punah di masa depan.

Untuk 25 tahun ke depan, penentu kebijakan dan masyarakat perlu lebih mampu mengendurkan hasrat penyeragaman di pendidikan, sebaliknya justru bersemangat memanggungkan keberagaman di Indonesia ke dunia luar.

Iwan Pranoto, Pengajar Matematika Institut Teknologi Bandung.

Sumber: Kompas, 13 Agustus 2020

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 1 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:13 WIB

Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom

Rabu, 23 Maret 2022 - 08:48 WIB

Gelar Sarjana

Minggu, 13 Maret 2022 - 17:24 WIB

Gelombang Radio

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB