Carina Joe, Kontribusi Diaspora untuk Dunia

- Editor

Rabu, 14 Agustus 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Carina Joe, peneliti bioteknologi yang merupakan diaspora, salah satu pemilik hak paten vaksin Covid-19 AstraZeneca.

ARSIP CARINA JOE—Carina Joe, peneliti diaspora di Jenner Institute, University of Oxford, yang mendapat salah satu paten pengembangan vaksin Covid-19 AstraZeneca.

Nama Carina Joe mulai banyak diperbincangkan di media-media Tanah Air setelah terungkap bahwa ia merupakan diaspora salah satu pemilik hak paten vaksin Covid-19 AstraZeneca. Perempuan kelahiran Jakarta ini mengungkap potensi besar penelitian di bidang bioteknologi jika didukung dengan ekosistem dan infrastruktur yang memadai.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Cukup sulit menemukan waktu yang tepat untuk berbincang langsung dengan Carina setelah beberapa kali ia tampil di sejumlah media Tanah Air. Selain karena perbedaan waktu antara Indonesia dan Inggris, hal ini juga tidak terlepas dari kesibukan Carina sebagai seorang peneliti bioteknologi. Beberapa kali ia bahkan mengaku tengah berada di luar kota.

Sejumlah media telah menguraikan peran Carina dalam proses pengembangan vaksin AstraZeneca yang dipimpin oleh ilmuwan University of Oxford, Sarah Gilbert, hingga memperoleh hak paten. Carina berjasa membuat metode agar vaksin AstraZeneca dapat diproduksi dalam jumlah yang besar dan membuatnya memegang hak paten tentang manufacturing scale up.

Saat menjawab pertanyaan dari Kompas beberapa waktu lalu, Carina pertama kali terlibat dalam penelitian di luar negeri setelah menyelesaikan program magister bioteknologi di Royal Melbourne Institute of Technology (RMIT), Australia. Selama menjalani program magister, Carina juga mengikuti magang dengan divisi manufaktur di The Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation (CSIRO). Ia fokus pada pembuatan protein rekombinan skala besar dan antibodi monoklonal terapeutik.

Dalam studi magisternya, Carina melakukan penelitian di bawah bimbingan Profesor George Lovrecz. Topik penelitian yang ia ambil ialah optimalisasi produksi antibodi monoklonal menggunakan platform berbeda dan pengembangan protokol untuk produksi protein rekombinan. Ia juga fokus meneliti bagaimana cara agar perusahaan mampu menghasilkan lebih banyak produk untuk pembuatan antibodi monoklonal menggunakan sel hibridoma.

Setelah menyelesaikan gelar magisternya, Carina menerima beasiswa untuk melanjutkan studi doktoral di RMIT. Fokus penelitian yang diambil ialah peningkatan imunogenisitas antigen permukaan hepatitis B dengan partikel mirip virus (VLP) sebagai satu-satunya komponen virus hepatitis B. VLP virus hepatitis B yang dimodifikasi ini menunjukkan kekebalan humoral yang lebih kuat dari vaksin yang tersedia secara komersial.

Selama menempuh studi doktoral sekaligus melanjutkan magang di CSIRO, Carina juga mengembangkan VLP chimeric yang mampu memunculkan autoantibodi pada penderita kanker. Selain itu, ia juga mengembangkan metode pemurnian yang dapat membuat reproduksi dan hilirisasi menjadi lebih cepat.

Seluruh latar belakang ilmu dan pengalaman di industri hingga lebih dari enam tahun inilah yang akhirnya membuat Carina diterima magang post-doctoral di Institut Jenner, University of Oxford, Inggris. Saat pandemi mulai merebak, ia kemudian turut serta dalam pengembangan vaksin AstraZeneca dan menjadi peneliti utama di laboratorium dengan dibantu oleh asisten peneliti.

Saat ini, vaksin AstraZeneca telah disetujui dan digunakan di 178 negara, termasuk Indonesia. Hingga Juli lalu, lebih dari 700 juta dosis AstraZeneca sudah disuntikkan di seluruh dunia dan akan terus bertambah seiring dyngan belum meredanya pandemi saat ini. Dari data statistik, vaksin ini telah menyelamatkan puluhan ribu nyawa manusia dari Covid-19.

Dukungan ekosistem
Bersinarnya peneliti diaspora bidang bioteknologi di luar negeri menjadi tamparan keras bagi ekosistem riset di Tanah Air. Carina mengakui bahwa beberapa tahun lalu setelah dirinya lulus dari SMAK 1 Penabur, Jakarta, belum banyak universitas di Indonesia yang menawarkan studi jurusan bioteknologi. Hal inilah yang membuat dia memutuskan menjalani studi dan berkiprah di luar negeri.

Carina juga merasakan, ekosistem riset di luar negeri sudah terbentuk sejak lama sehingga membantu dan memudahkan peneliti untuk menciptakan produk yang berguna bagi manusia. Dari pengalamannya menjadi peneliti di Australia dan Inggris, dua negara tersebut telah mempunyai ekosistem yang mendukung dalam sejumlah riset, khususnya di bidang bioteknologi.

Selain ketersediaan anggaran, kata Carina, para peneliti juga sudah didukung kolaborasi dengan para ahli dari berbagai bidang untuk bertukar pikiran dan memberikan saran yang tepat. ”Hasil riset yang hanya dilakukan di laboratorium tidak bisa dirasakan untuk kehidupan manusia. Jadi memang perlu ada kerja sama industri dan peneliti, hasilnya bisa dinikmati masyarakat, serta ketersediaan fasilitas yang lengkap,” ucapnya.

Carina menjelaskan, kolaborasi antara para peneliti dan transfer teknologi biasanya dilakukan pada tahap terakhir dalam suatu penelitian. Dalam riset bioteknologi, transfer teknologi dilakukan setelah lolos uji klinis tahap 1 dan 2 atau saat memasuki tahap uji klinis 3. Proses uji klinis 1 dan 2 masih dilakukan oleh peneliti dalam satu lembaga tersebut karena dosis yang dibutuhkan tidak terlalu banyak dibandingkan uji klinis 3.

”Banyak juga riset yang menunggu sampai produk lolos uji klinis 3 dan baru melakukan transfer teknologi. Hal ini karena dana yang dibutuhkan sangat besar dan dana tersebut biasanya diberikan setelah cukup data,” katanya.

Akan tetapi, khusus saat pandemi dan situasi yang mendesak, proses manufakturing serta transfer teknologi dilakukan secara paralel dengan uji klinis. Proses kolaborasi dilakukan dengan melakukan presentasi dengan data yang ada ke perusahaan atau pemerintah yang dianggap mampu dan mempunyai minat untuk memproduksinya secara massal.

Saat ini, Indonesia memang mulai memperbaiki dan membangun ekosistem riset yang dapat mendukung para peneliti hingga menghasilkan produk berdaya saing global. Namun, Carina memandang bahwa semua peneliti termasuk diaspora tetap bisa berkarya di mana pun selagi masih bisa berkontribusi bagi negara dan dunia.

Carina Citra Dewi Joe, PhD

Lahir: Jakarta, Indonesia

Afiliasi saat ini: Jenner Institute, University of Oxford

Pendidikan:
S-1 University of Hong Kong
S-2 Royal Melbourne Institute of Technology
S-3 Royal Melbourne Institute of Technology

Penghargaan:
Excellence Award (Jenner Institute)
Vice Chancellor Award (RMIT)

Oleh PRADIPTA PANDU

Editor: MARIA SUSY BERINDRA

Sumber: Kompas, 16 Agustus 2021

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Inspirasi dari Perempuan Peneliti: Jalan Terang Masa Depan
Supartono, Ahli Beton Pratekan
Prof. Somadikarta Dengan Waletnya
Hakim Modern: Statistik
Prof. Drs. Med. Radioputro: “Sarjana Tak Bermutu”
Yohanes Martono, Ketekunan Peneliti Pemanis Alami
Lusiawati Dewi, “Dosen Tempe” dari Salatiga
Musa Hubeis Setia Mengkaji Pengembangan UMKM
Berita ini 2 kali dibaca

Informasi terkait

Selasa, 23 Agustus 2022 - 23:01 WIB

Inspirasi dari Perempuan Peneliti: Jalan Terang Masa Depan

Senin, 22 November 2021 - 20:18 WIB

Supartono, Ahli Beton Pratekan

Jumat, 24 September 2021 - 13:32 WIB

Prof. Somadikarta Dengan Waletnya

Selasa, 10 Agustus 2021 - 23:23 WIB

Hakim Modern: Statistik

Rabu, 21 Juli 2021 - 12:54 WIB

Prof. Drs. Med. Radioputro: “Sarjana Tak Bermutu”

Kamis, 1 Oktober 2020 - 13:58 WIB

Yohanes Martono, Ketekunan Peneliti Pemanis Alami

Kamis, 27 Agustus 2020 - 11:33 WIB

Lusiawati Dewi, “Dosen Tempe” dari Salatiga

Jumat, 3 Juli 2020 - 15:37 WIB

Musa Hubeis Setia Mengkaji Pengembangan UMKM

Berita Terbaru

US-POLITICS-TRUMP

Berita

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Feb 2024 - 14:23 WIB