Burung Pelanduk Kalimantan ”Menanduk” Minimnya Riset

- Editor

Rabu, 20 Maret 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Penelitian lanjutan atas burung pelanduk kalimantan yang hilang selama lebih dari 170 tahun sangat dibutuhkan untuk menjadi dasar ilmiah penentuan langkah perlindungannya.

DOKUMENTASI MUHAMMAD SURANTO—Foto burung pelanduk kalimantan (”Malacocincla perspicillata”) yang didokumentasikan oleh dua warga lokal di Kalimantan Selatan. Burung ini ditemukan kembali secara tidak sengaja oleh dua warga lokal setelah dinyatakan hilang atau tidak ada data yang tersedia kembali selama 170 tahun.

Selain pelanduk kalimantan (Malacocincla perspicillata), Indonesia juga tercatat memiliki sejumlah spesies burung pelanduk lainnya, antara lain pelanduk dada putih, pelanduk ekor pendek, pelanduk semak, pelanduk sulawesi, pelanduk merah atau pelanduk bukit, dan pelanduk topi hitam.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Menurut Badan Konservasi Dunia (IUCN), pelanduk dada putih, pelanduk ekor pendek, dan pelanduk merah masuk ke dalam status mendekati terancam punah. Sementara pelanduk semak, pelanduk sulawesi, dan pelanduk topi hitam masuk kategori berisiko rendah.

Adapun pelanduk kalimantan sempat diklasifikasikan rentan oleh IUCN. Pada 2008, status burung ini berubah menjadi kurang data.

Penemuan kembali pelanduk kalimantan terangkum dalam artikel yang diterbitkan lembaga amal konservasi burung yang berbasis di Inggris, Oriental Bird Club, melalui jurnal BirdingASIA, 25 Februari 2021. Dalam artikel dijelaskan, penemuan burung oleh dua warga lokal itu merupakan dokumentasi pertama setelah hilang selama lebih dari 170 tahun.

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN—Spesies burung pelanduk di Indonesia.

Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) Pertama Balai Taman Nasional Sebangau, Teguh Willy Nugroho, yang juga salah satu penulis artikel tersebut, menjelaskan, informasi soal pelanduk kalimantan sangat terbatas dan hanya beberapa literatur yang mendeskripsikan burung tersebut meski tak rinci. Di antaranya, Panduan Lapangan Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali, dan Kalimantan yang disusun John MacKinnon, Karen Phillips, dan Bas van Balen.

”Buku dari MacKinnon tersebut menyatakan bahwa burung ini penyebarannya endemik di Kalimantan dan statusnya rentan. Namun, kebiasaan dan perilaku tidak diketahui. Bahkan, beberapa pakar menyatakan burung ini sebagai salah satu jenis burung pelanduk alas,” ujar Teguh, Selasa (2/3/2021).

MacKinnon dan kawan-kawan juga mendeskripsikan pelanduk kalimantan sebagai burung dengan ukuran kecil sekitar 16 sentimeter dan berwarna coklat dengan burik abu-abu di perut. Burung ini juga memiliki warna iris kuning, paruh hitam, dan kaki merah muda. Morfologi ini membedakannya dari pelanduk semak pada sisi ukuran tubuh, bentuk dahi, dan garis alis hitam.

Dalam literatur lain, Birds of Indonesian Archipelago Greater Sundas and Wallacea karya James A Eaton dan kawan-kawan, pelanduk kalimantan disebut sebagai salah satu enigma atau teka-teki terbesar dunia ornitologi (ilmu burung) di Indonesia. Menurut literatur tersebut, burung ini diperkirakan hidup di sekitar Kalimantan Selatan dan tinggal di pohon berdasarkan morfologi tungkainya.

DOKUMENTASI MUHAMMAD SURANTO—Foto burung pelanduk kalimantan (”Malacocincla perspicillata”) yang didokumentasikan oleh dua warga lokal di Kalimantan Selatan. Burung ini ditemukan kembali secara tidak sengaja oleh dua warga lokal setelah dinyatakan hilang atau tidak ada data yang tersedia kembali selama 170 tahun.

Dari sejumlah catatan, data terkait burung pelanduk kalimantan pertama kali dikumpulkan oleh ahli geologi dan naturalis Jerman, Carl ALM Schwaner, selama ekspedisinya ke Hindia Timur pada 1840-an. Ahli burung Perancis, Charles Lucien Bonaparte, kemudian mendeskripsikan burung tersebut pada 1850.

Namun, sejak 1850 sampai saat ini tidak informasi yang jelas dan lengkap terkait burung pelanduk kalimantan. Bahkan, data sebelumnya menyebutkan bahwa habitat burung tersebut berada di Jawa. Akan tetapi, ahli ornitologi Swiss, Johann Büttikofer, pada 1895 mengidentifikasi habitat burung tersebut berada di Kalimantan yang dikonfirmasi dari lokasi Schwaner saat penemuan spesies itu.

Membutuhkan data
Peneliti ornitologi Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Tri Haryoko, mengatakan, penemuan pelanduk kalimantan membangkitkan optimisme semua pihak untuk terus mengungkapkan dan menjaga kelestarian dari keanekaragaman hayati, khususnya burung, di Indonesia. Penemuan ini juga menunjukkan peran dari masyarakat sains dalam pengembangan ilmu pengetahuan.

”Indonesia tidak mempunyai koleksi rujukan ilmiah atau spesimen Malacocincla perspicillata sehingga menyulitkan ketika mencocokan identifikasi. Tantangan lainnya, sifat spesies ini tidak mencolok sehingga kurang teramati. Mungkin bukan juga menjadi spesies yang mendapat perhatian sehingga banyak informasi yang belum terungkap,” tuturnya.

NATURALIS BIODIVERSITY CENTER—Spesimen burung pelanduk kalimantan yang tersimpan di Naturalis Biodiversity Center, Belanda.

Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Indra Eksploitasia menyampaikan, beberapa spesies burung pelanduk saat ini juga masih membutuhkan data dan informasi yang lebih rinci. Di Indonesia, jenis tumbuhan dan satwa wajib ditetapkan dalam golongan yang dilindungi apabila memenuhi kriteria populasi yang kecil, adanya penurunan yang tajam pada jumlah individu di alam, dan daerah penyebarannya terbatas.

Dalam Peraturan Menteri LHK Nomor P.106 tahun 2018, burung pelanduk kalimantan belum masuk ke dalam daftar satwa yang dilindungi.

”Ini menjadi pekerjaan rumah kita ke depan dengan LIPI dan masyarakat sains lainnya, seperti pemerhati burung, untuk menggali informasi tentang pelanduk kalimantan. Beberapa informasi dapat menjadi rujukan dan kami meminta bantuan LIPI untuk memberikan rekomendasi dalam memasukan spesies ini menjadi dilindungi,” tuturnya. (JUM)

Oleh PRADIPTA PANDU

Editor: ICHWAN SUSANTO

Sumber: Kompas, 3 Maret 2021

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Baru 24 Tahun, Maya Nabila Sudah Raih Gelar Doktor dari ITB
Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya
Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri
PT INKA Fokus pada Kereta Api Teknologi Smart Green, Mesin Bertenaga Air Hidrogen
7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya
Anak Non SMA Jangan Kecil Hati, Ini 7 Jalur Masuk UGM Khusus Lulusan SMK
Red Walet Majukan Aeromodelling dan Dunia Kedirgantaraan Indonesia
Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu
Berita ini 11 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 1 April 2024 - 11:07 WIB

Baru 24 Tahun, Maya Nabila Sudah Raih Gelar Doktor dari ITB

Rabu, 21 Februari 2024 - 07:30 WIB

Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:23 WIB

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:17 WIB

PT INKA Fokus pada Kereta Api Teknologi Smart Green, Mesin Bertenaga Air Hidrogen

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:09 WIB

7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya

Rabu, 3 Januari 2024 - 17:34 WIB

Red Walet Majukan Aeromodelling dan Dunia Kedirgantaraan Indonesia

Minggu, 24 Desember 2023 - 15:27 WIB

Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu

Selasa, 21 November 2023 - 07:52 WIB

Madura di Mata Guru Besar UTM Profesor Khoirul Rosyadi, Perubahan Sosial Lunturkan Kebudayaan Taretan Dibi’

Berita Terbaru

US-POLITICS-TRUMP

Berita

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Feb 2024 - 14:23 WIB