Burung Hantu Celepuk Rajah Berpotensi Ditemukan di Indonesia

- Editor

Rabu, 5 Juni 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Penemuan burung hantu celepuk rajah yang hilang selama 125 tahun kembali membuka kesadaran akan arti penting riset dan survei burung di belantara Indonesia.

—-Foto pertama burung hantu Rajah Borneo di alam liar sekitar Gunung Kinabalu, Sabah. Sumber: Andy Boyce, Smithsonian Migratory Bird Center (2021)

Burung hantu celepuk rajah yang terakhir didokumentasikan pada 1892 di alam liar ini berpotensi masih bisa ditemukan di wilayah Kalimantan, Indonesia. Hal ini menyusul penemuan kembali subspesies burung hantu ini di pegunungan Gunung Kinabalu, Sabah, Malaysia.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Biodiversity Conservation Officer Yayasan Burung Indonesia, Achmad Ridha Junaid, menyampaikan, celepuk rajah (Otus brookii brookii) merupakan spesies burung hantu endemik Indonesia yang secara umum tidak hanya tersebar di Kalimantan, tetapi juga Sumatera. Habitat utama burung hantu ini berada di hutan pegunungan.

”Karena Kalimantan dan Sumatera ini masih tergambung dalam satu lembang benua yang sama, jadi kemungkinannya sangat besar jika celepuk rajah subspesies brookii juga ditemukan di Kalimantan atau Borneo wilayah Indonesia,” ujarnya, Rabu (5/5/2021).

Ridha menilai, minimnya riset terkait celepuk rajah menjadi penyebab burung ini baru ditemukan kembali di luar teritori Indonesia. Selain itu, terdapat juga kemungkinan bahwa celepuk rajah memiliki persebaran yang sangat terbatas di hutan pegunungan sehingga spesies ini tidak bisa ditemukan di semua kawasan hutan.

KOMPAS/DANU KUSWORO—-Burung hantu yang dinamai celepuk rinjani (Otus jolandae) banyak dijumpai di hutan Desa Kembang Kuning, Kecamatan Sikur, Kabupaten Lombok Timur.

”Sepemahaman saya, wilayah distribusi spesies ini di Kalimantan hanya ada di Kalimantan Utara. Secara umum penelitian tentang burung nokturnal di Indonesia juga masih relatif minim,” katanya.

Peneliti ornitologi Pusat Penelitian Biolohi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dewi Malia Prawiradilaga juga menyampaikan hal serupa. Menurut dia, sampai saat ini tidak ada catatan yang menunjukkan celepuk rajah pernah muncul di wilayah Kalimantan.

Minimnya riset juga membuat informasi detail tentang ciri-ciri maupun perilaku celepuk rajah sangat terbatas. Sejauh ini, informasi yang diketahui baru sebatas preferensi habitat celepuk rajah yang berada di hutan pegunungan dengan ketinggian 1.200-2.400 meter di atas permukaan laut.

Sementara dari ciri-ciri fisik, informasi yang ada menyebutkan bahwa celepuk rajah ini relatif mirip dengan jenis celepuk lainnya. Ciri fisik yang paling membedakan adalah dari pola kerah ganda yang berwana putih kecoklatan di tengkuk dan belakang leher.

ARI NOVIYONO—-Pungguk wengi (Ninox rudolfi), burung hantu endemik Pulau Sumba

Ridha menyatakan, Indonesia memiliki banyak jenis burung hantu dalam ordo Strigiformes. Burung Indonesia mencatat, sampai saat ini terdapat 52 spesies dan 29 spesies di antaranya merupakan burung hantu endemis Indonesia. Dari jumlah tersebut, sembilan spesies masuk kategori terancam punah dari Badan Konservasi Dunia (IUCN). Salah satu jenis yang paling terancam dalam status kritis (critically endangered) ialah celepuk siau (Otus siaoensis).

Penelitian lanjutan
Ia pun menegaskan, hal yang paling mendesak dilakukan saat ini adalah mendapatkan informasi secara lengkap tentang spesies ini dengan melakukan serangkaian penelitian. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan informasi perilaku, perkembangbiakan, populasi, maupun faktor-faktor yang memengaruhinya. Dengan demikian, dapat ditentukan tingkat keterancamannya dan prioritas konservasi atau perlindungannya.

Upaya meningkatkan riset dan konservasi ini penting karena, menurut catatan BirdLife Internastional, Indonesia merupakan negara dengan jenis burung endemis terbanyak di dunia. Indonesia juga menjadi rumah bagi setidaknya 17 persen jumlah jenis burung yang ada di dunia dan berada di posisi ke-4 dalam kekayaan jenis burung.

Hingga 2021, jumlah jenis burung endemis di Indonesia tercatat sebanyak 532 jenis. Peningkatan catatan jumlah jenis endemis di terjadi pada 2020, yakni sebanyak 16 jenis. Setidaknya tercatat ada tujuh jenis burung baru yang ditemukan di kawasan Wallacea. Sementara sembilan jenis burung lainnya berasal dari pemecahan taksonomi.

—-Burung hantu Tyto Alba di tempat karantina burung di Tlogoweru, Kecamatan Guntur, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, Senin (23/5/2016). Burung hantu Tyto Alba dikembangbiakkan sebagai predator hama tikus pertanian.

Penemuan kembali celepuk rajah dipublikasikan di The Wilson Journal of Ornithology yang dirilis pada 3 Mei 2021. Para peneliti satwa liar dari Montana Cooperative Wildlife Research Unit, University of Montana, tidak sengaja menemukan spesies burung hantu ini pada Mei 2016. Saat itu, para peneliti tengah melakukan studi 10 tahun evolusi sejarah hidup burung di Gunung Kinabalu di tujuh plot studi pada ketinggian 1.500-1.900 meter.

Ahli ekologi dari Smithsonian Migratory Bird Center, Andy Boyce, yang melaporkan penemuan kembali burung itu menyatakan, Otus brookii brookii kemungkinan merupakan spesies unik tersendiri. Sebab, burung ini memiliki ciri khas bulu, pola spesiasi yang diketahui dalam genus Otus, dan pola filogeografi burung pegunungan di Kalimantan dan Sumatera. Namun, hal ini masih membutuhkan penelitian lebih lanjut.

Oleh PRADIPTA PANDU

Editor: ICHWAN SUSANTO

Sumber: Kompas, 6 Mei 2021

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya
Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri
PT INKA Fokus pada Kereta Api Teknologi Smart Green, Mesin Bertenaga Air Hidrogen
7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya
Anak Non SMA Jangan Kecil Hati, Ini 7 Jalur Masuk UGM Khusus Lulusan SMK
Red Walet Majukan Aeromodelling dan Dunia Kedirgantaraan Indonesia
Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu
Madura di Mata Guru Besar UTM Profesor Khoirul Rosyadi, Perubahan Sosial Lunturkan Kebudayaan Taretan Dibi’
Berita ini 9 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 21 Februari 2024 - 07:30 WIB

Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:23 WIB

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:17 WIB

PT INKA Fokus pada Kereta Api Teknologi Smart Green, Mesin Bertenaga Air Hidrogen

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:09 WIB

7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya

Rabu, 7 Februari 2024 - 13:56 WIB

Anak Non SMA Jangan Kecil Hati, Ini 7 Jalur Masuk UGM Khusus Lulusan SMK

Minggu, 24 Desember 2023 - 15:27 WIB

Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu

Selasa, 21 November 2023 - 07:52 WIB

Madura di Mata Guru Besar UTM Profesor Khoirul Rosyadi, Perubahan Sosial Lunturkan Kebudayaan Taretan Dibi’

Senin, 13 November 2023 - 13:59 WIB

Meneladani Prof. Dr. Bambang Hariyadi, Guru Besar UTM, Asal Pamekasan, dalam Memperjuangkan Pendidikan

Berita Terbaru

US-POLITICS-TRUMP

Berita

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Feb 2024 - 14:23 WIB