Ledakan kasus Covid-19 di Jawa Timur memberi peringatan bahwa pandemi ini belum reda. Kita jangan terjebak pada euforia normal baru, namun mesti membangun norma hidup baru lebih sehat dan lebih waspada terhadap wabah.
Lonjakan kasus dan korban jiwa di Jakarta dan kini Surabaya harus menjadi peringatan bagi daerah lain agar mencegah sejak dini penyebaran Covid-19. Jika wabah ini telanjur membesar, fasilitas kesehatan di dua kota terbesar di Indonesia ini pun terbukti kewalahan, apalagi daerah lain dengan fasilitas lebih minim.
Pada tanggal 20 Mei 2020 lalu, jumlah kasus positif Covid-19 di Jawa Timur baru sebanyak 2.496 dengan korban jiwa 228 orang. Pada saat itu jumlah kasus positif di Jakarta sudah 6.236 dengan korban jiwa 472 orang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Belum sampai 20 hari, jumlah kasus positif di Jawa Timur bertambah lebih dari dua kali lipat, yaitu menjadi 6.313 orang pada Senin (8/6). Jumlah korban jiwa juga berlipat menjadi 502 orang. Sekali lagi, kita diperlihatkan kemampuan penggandaan kasus virus SARS-CoV-2 secara eksponensial.
Sebagian besar jumlah kasus dan korban jiwa di Jawa Timur ini disumbangkan oleh Kota Surabaya dengan 3.124 atau hampir separuh dari total kasus di Jawa Timur, dengan korban jiwa sebanyak 293 orang.
Hal itu berarti tingkat kematian rata-rata di Surabaya mencapai 9,3 persen, atau yang tertinggi saat ini. Jauh lebih tinggi dibandingkan tingkat kematian rata-rata di Jakarta sebesar 7 persen, dan rata-rata nasional 5,87 persen.
“Banyaknya kasus positif di Surabaya karena seminggu terakhir dilakukan tes masif dan surveilans. Ini sisi positifnya, walaupun mungkin kasusnya telanjur besar. Dari 31 kecamatan di Surabaya, sudah ditemukan 30 kluster,” kata epidemiolog Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Laura Navika Yamani.
Seperti di Jakarta, kepadatan dan mobilitas penduduk di Surabaya juga sangat tinggi. “Selain itu, yang membedakan mungkin tingkat kedisiplinan mayarakat. Di Surabaya dikenal bonek (nekad) sehingga sering menyepelakan protokol keselamatan, seperti tidak jaga jarak dan enggan pakai masker,” tuturnya.
Selain korban jiwa yang dipastikan karena Covid-19 melalui tes molekuler, Jawa Timur memiliki jumlah pasien dalam pengawasan (PDP) dan orang dalam pemantauan (ODP) yang meninggal sangat banyak. Untuk PDP yang meninggal telah mencapai 699 atau 9,52 persen dari total PDP di daerah ini 3437 orang. Adapun ODP yang meninggal 109 atau 0,43 persen dari 3956 orang.
Situasi di Jawa Timur, khususnya di Surabaya ini mengingatkan pada kondisi di Jakarta sepanjang April hingga Mei 2020 lalu, bahkan dengan tren saat ini kondisinya bisa menjadi lebih buruk lagi.
Sekalipun sejak seminggu terakhir dilakukan tes masif di Surabaya, tingginya angka kematian rata-rata dan banyaknya ODP serta PDP yang meninggal ini bisa menandai kurang dan terlambatnya tes yang dilakukan. Itu berarti masih banyak orang yang telah terinfeksi namun belum teridentifikasi dan diisolasi.
“Kalau Covid-19 telanjur dibiarkan menyebar luas, sebaik apa pun layanan kesehatan kita tidak akan mampu membendungnya. Pasti akan timbul banyak korban jiwa. Ini jadi peringatan bagi kepala daerah lain agar sungguh-sungguh mengantisipasi Covid-19 ini, termasuk realokasi anggaran,” kata Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Ede Surya Darmawan.
Berkepanjangan
Belajar dari kesuksesan negara lain, seperti Vietnam dan Taiwan, yang berhasil menekan sebaran wabah ini dengan korban minimal, kuncinya adalah melakukan pencegahan sejak dini agar wabah tidak masuk ke wilayah kita. Jika itu gagal, langkah segera yang harus dilakukan adalah mengisolasi wilayah penyebaran untuk mempersempit medan pertarungan.
“Agar tidak meluas, kita harus menemukan orang yang diduga telah terinfeksi dengan menelusuri kontak dan melakukan tes secara masif. Semakin cepat ditemukan semakin baik, karena peluang menulari ke orang lain mengecil,” kata epidemiolog Universitas Padjajaran Panji Hadisoemarto.
Dengan tren saat ini, kunci untuk membatasi penyebaran Covid-19 adalah mengendalikan mobilitas orang. Selama mobilitas ini tidak diawasi dengan ketat, virus ini akan terus bersirkulasi. “Di awal itu kita harus mencegah penyebaran dengan mengoptimalkan penghalangan alami, yaitu pulau-pulau. Setelah gagal mengarantina Jakarta, seharusnya isolasi Jawa,” kata Panji.
Namun, situasi sekarang terlambat, karena virus ini kemungkinan sudah bersirkulasi di hampir semua pulau berpenghuni di Indonesia. “Hanya soal waktu meledak dengan gelombang epideminya tidak sinkron antarpulau. Jakarta bisa turun, Surabaya naik, dan berikutnya bisa Sulawesi Selatan, Medan dan daerah lain. Sebaliknya, gelombangnya bisa balik lagi ke Jakarta dan seterusnya,” ungkapnya.
Bahkan, upaya pengendalian Covid-19 bisa lebih susah dibandingkan malaria, yang hingga kini juga belum bisa diatasi di Indonesia. “Kalau nyamuk malaria memiliki sebaran geografis, tidak di semua daerah nyamuk ini bisa berkembang baik,” kata Panji.
Menurut dia, kita harus bersiap menghadapi kenyataan bahwa Covid-19 ini bisa menjadi demam berdarah dengue atau tuberkulosis (TBC), yang terus menghantui di Indonesia. Dengan tambahan Covid-19, beban kesehatan masyarakat di Indonesia bakal lebih berat.
Seperti diketahui, penderita TBC di Indonesia menempati urutan ketiga terbanyak di dunia setelah China dan India, dengan tingkat kematian per tahuan mencapai 67.000 jiwa. Demikian halnya, kasus DBD di Indonesia juga termasuk tertinggi di dunia.
Namun perlu diingat bahwa Covid-19 merupakan penyakit baru, yang kita belum banyak tahu seluruh dampaknya. Yang jelas, penyakit ini sangat menular dan mematikan, terutama bagi mereka yang memiliki penyakit komorbid seperti hipertensi, jantung, dan diabetes.
Sejumlah penelitian terbaru juga menunjukkan, Covid-19 bisa meningkatkan risiko searangan stroke, termasuk pada anak muda yang sebelumnya sehat (jurnal Neurosurgery pada 4 Juni 2020).
Dengan situasi saat ini, yang bisa kita lakukan adalah menahan agar tidak terjadi lonjakan kasus seperti terjadi di Jakarta atau Surabaya, sehingga melumpuhkan layanan kesehatan. “Untuk menahan agar tidak ada ledakan kasus kuncinya harus disiplin melakukan pembatasan sosial, pakai masker, hingga cuci tangan,” kata Panji.
Pilihan strategi kita dengan pembatasan sosial skala besar (PSBB) tidak akan bisa menekan kasus Covid-19 hingga hampir nol seperti terjadi di China atau Vietnam. “Kita mungkin hanya bisa menekan penularan agar kurvanya mendatar, tetapi dampaknya memang tidak akan selesai-selesai,” ucapnya.
Dengan situasi saat ini, menurut Ede, kita jangan terjebak pada euforia sudah memasuki normal baru. Bahkan, menurut dia, kampanye tentang normal baru yang digalakkan pemerintah kurang tepat. “Saya lebih setuju norma baru, bukan normal baru. Pola hidup lama kita terbukti gagal menghadapi Covid-19, ini artinya kita semua harus mengubah pola hidup baru dengan norma baru,” katanya.
Norma baru ini harus dijalankan mulai dari level individu dan keluarga, layanan kesehatan, hingga pemerintahan. Di level individu, jika sebelumnya cuci tangan hanya dilakukan sebelum makan, sekarang cuci tangan dengan sabun harus dilakukan sesering mungkin. Di level pemerintahan, kesehatan masyarakat harus menjadi prioritas dengan pendekatan berbasis pada eviden. Jangan lagi meremehkan wabah.
“Kita sekarang harus pada satu titik, situasinya tidak akan kembali sebelum ada Covid-19. Norma baru ini harus dipegang ketika kita mulai kembali beraktivitas,” kata dia.
Oleh AHMAD ARIF
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 9 Juni 2020