Indonesia memiliki beberapa jenis buaya asli Nusantara. Jenis buaya yang sering diberitakan Harian Kompas antara lain buaya muara (Crocodylus porosus), buaya sepit atau senyulong (Tomcistoma schlegeli), buaya air tawar papua (Crocodylus novaeguinieae), dan buaya kodok (Crocodylus siamensis). Buaya air tawar papua dan buaya muara adalah satwa liar dilindungi oleh negara.
Seekor buaya muara (Crocodylus porosus) terjerat ban sepeda motor dalam tiga bulan terakhir di Sungai Palu, Kota Palu, Sulawesi Tengah, seperti terlihat pada Jumat (4/11). Hingga saat ini belum ada langkah penyelamatan berarti dari relawan atau pun pihak berwenang atas buaya muara tersebut.–Kompas/Videlis Jemali (VDL)–04-11-2016
Habitat alami buaya tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Dari laporan wartawan Harian Kompas sejak edisi perdana 28 Juni 1965 hingga 18 Juni 2018, dapat diketahui buaya berada di wilayah mana saja dan bahkan pernah memangsa manusia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Harian Kompas 14 Oktober 1998 melaporkan buaya menewaskan lima orang di Kecamatan Kapuas Hulu, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, Kamis pekan sebelumnya. Peristiwa yang menimpa penduduk Desa Katanjung, Supang dan Tumbangpuruk itu diungkapkan Camat Kapuas Hulu, Arlen H Uning di Palangkaraya. Penduduk yang tewas dimakan buaya itu, menurut camat, adalah di Desa Katanjung (tiga orang tewas dan seorang kritis), sedang di Desa Supang dan Tumbangpuruk masing-masing seorang penduduk tewas.
Kelima korban tewas di tempat kejadian. Menurut Camat Kapuas Hulu, gerombolan buaya itu tanpa diketahui penduduk berada di bawah rumah penduduk di pinggir Sungai Sirat. Begitu orang keluar dari rumah panggung, secara tiba-tiba buaya menerkam dan mengeroyok, lalu menggigiti korban. Sungat Sirat sejak zaman dulu dikenal sebagai habitat buaya senyulong.
Harian Kompas 30 November 2004 melaporkan, penduduk di Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur, dimangsa buaya muara yang banyak berkeliaran di sungai-sungai dangkal. Korbannya Muhammad Basri (30) yang tinggal di Teluk Pandan, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, sekitar 300 kilometer dari Kota Balikpapan, Sabtu, 27 November 2004, Muhammad Basri bermaksud untuk mencuci kakinya di Sungai Kandolo. Baru saja kakinya menginjak bibir sungai, seekor buaya muara langsung menyambar kaki Basri dan menyeret tubuhnya ke tengah sungai.
Harian Kompas 2 September 2006 melaporkan seorang warga yang bermukim di pesisir Sungai Rokan, Kabupaten Rokan Hilir, Riau, pertengahan September 2016 tewas dimangsa buaya. Korban ini menjadi korban ke-20 sepanjang lima tahun terakhir. Pemangsaan manusia oleh buaya ini kian meningkat sejak tahun 2003.
“Buaya adalah salah satu satwa penghuni kawasan sungai, terutama di bagian rawa-rawa dekat hutan. Kemungkinan makanan buaya, seperti hewan-hewan dalam hutan, semakin berkurang akibat pembukaan hutan, akibatnya mereka lari ke arah permukiman dan sering memangsa ternak dan manusia,” kata Kepala Dinas Kehutanan Rokan Hilir Rusli Alhamidi, tentang penyebab serangan buaya di Riau tersebut.
Harian Kompas 28 Maret 2008 pernah melaporkan teror buaya di Desa Mukut, Kecamatan Pulau Rimau, Banyuasin, Sumatera Selatan. Tahun 2008 buaya telah merenggut dua nyawa dan nyaris merenggut nyawa seorang perempuan warga Desa Mukut bernama Trisnawati yang sedang mandi di sungai. Beruntung, Trisnawati hanya mengalami luka di kaki dan harus dirawat di rumah sakit.
Buaya tersebut diduga berasal dari Sungai Batanghari yang kemudian masuk ke Sungai Mukut, mendekati permukiman warga. Jumlahnya diperkirakan tidak hanya satu atau dua ekor saja. Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sumsel Dwi Setyono mengatakan, buaya menyerang manusia karena dua sebab. Buaya itu memang lapar atau karena habitat terganggu. Kalau habitat buaya rusak, perlu dilakukan perlindungan terhadap habitat buaya. Buaya tersebut dapat menyerang manusia yang naik perahu kecil maupun yang sedang mandi di sungai.
Warga juga mengkhawatirkan munculnya buaya muara di sekitar muara Kali Bodo, Kecamatan Ayah, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Pembina Kelompok Pelestari Lingkungan Pantai Selatan Sukamsi mengatakan, muara Kali aBodo sejak lama sudah menjadi habitat buaya muara. Namun, belum pernah ada laporan serangan buaya terhadap warga seperti yang pernah dilaporkan beberapa waktu lalu (Harian Kompas, 20 Oktober 2015).
Sukamsi mendapat laporan bahwa kawanan buaya tersebut mulai agresif setelah salah satu di antara mereka pernah dilukai oleh pemancing yang iseng. Pemancing tersebut dengan sengaja menyangkutkan kailnya ke buaya dan berusaha menariknya hingga menimbulkan luka di tubuh buaya tersebut. ”Masyarakat diminta tidak mengganggu habitat buaya muara yang ada di Kali Bodo di Desa Candirenggo, Kecamatan Ayah. Sebab, kalau buaya-buaya itu diganggu, sudah dipastikan bakal menyerang manusia,” katanya.
Harian Kompas 20 Juni 2013 melaporkan, Kristina Krisnawati (25), ibu rumah tangga yang sedang hamil tujuh bulan, dan putranya, Yustinus Liman (3), diterkam buaya di Sungai Waimea, Desa Wuakerong, Kecamatan Nagawutun, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, Selasa, 18 Juni 2013. Korban jatuh terpeleset dari jembatan titian berupa bambu panjang saat menyeberangi sungai itu. Dalam dua bulan terakhir, enam warga Lembata tewas diterkam buaya.
Anak-anak buaya muara (Crocodylus porosus) yang masih berusia satu bulan, ditaruh di tempat terpisah dari induknya di Taman Margasatwa Wonosari, Mangkang, Kota Semarang, Jawa Tengah. Ada 39 telur buaya yang baru menetas. Pihak kebun binatang khawatir jika populasi buaya meledak, karena akan memengaruhi biaya pakan hewan. Foto diambil Jumat (18/11).–Kompas/Amanda Putri (UTI)–18-11-2011
Meskipun memangsa manusia, negara melindungi buaya melalui Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Sebanyak 236 satwa liar dilindungi oleh PP tersebut, yang meliputi 70 spesies mamalia, 93 spesies burung, 31 spesies reptilia, 20 spesies serangga, tujuh spesies ikan, satu spesies anthozoa, dan 14 spesies bivalvia.
Buaya muara juga masuk dalam Apendiks I Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Tumbuhan dan Satwa Liar Terancam Punah (Convention on International Trades on Endangered Species of Wild Fauna and Flora/Cites). Apendiks I mencakup spesies yang terancam punah oleh perdagangan. Perdagangan spesies dalam Apendiks I diatur secara sangat ketat untuk keperluan khusus. Ekspor, impor, dan re-ekspor spesies dalam Apendiks I mengikuti regulasi yang sangat ketat.
Populasi buaya terancam oleh perdagangan. Papua adalah habitat alami berbagai jenis buaya, seperti buaya air tawar papua, buaya muara, dan buaya sepit. Salah satu lokasinya seperti di Sungai Memberamo. Pada tahun 2000 diketahui penangkapan buaya di habitat alaminya itu dilakukan berlebihan. Penangkapan buaya di Sungai Membramo, Jayapura, telah menyimpang dari ketentuan. Seharusnya, buaya yang boleh dibeli sudah memiliki lebar leher antara 12 – 20 inchi (30,48 – 50,8 cm), tetapi kenyataannya buaya dengan lebar leher antara 5 – 11 inchi (12,7 – 27,94 cm) pun dibeli oleh perusahaan pengumpulnya (Harian Kompas, 29 Juni 2000).
Komoditas utama yang diperdagangkan dari buaya adalah kulitnya. Pada tahun 1985, harga kulit buaya air tawar papua di pasar internasional Rp 10.000 per inchi atau Rp 3.937 per cm (Harian Kompas, 18 Juni 1985).
KOMPAS/VINA OKTAVIA–Petugas dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam Bengkulu-Lampung menyelamatkan seekor buaya muara sepanjang 320 sentimeter di Bendungan sungai Way Batin, Sukadana Timur, Lampung. Untuk sementara waktu, buaya dititipkan di lahan konservasi milik Taman Wisata Lembah Hijau, Bandar Lampung.
Perdagangan kadangkala dilakukan secara ilegal. Salah satunya terjadi tahun 1991. Sebanyak 77 lembar kulit buaya jenis buaya air tawar papua dan buaya muara yang secara ilegal akan diantarpulaukan dengan KM Umsini ke Surabaya berhasil digagalkan petugas KPLP Adpel Jayapura dan KPPP Polres Jayapura (Harian Kompas, 4 Juni 1991).
Upaya penyelamatan buaya sudah mulai dilakukan di Indonesia sejak tahun 1980-an. Caranya dengan menangkarkannya. Buaya muara adalah spesies yang paling sering ditangkarkan.
Penangkaran buaya muara, antara lain, berada di Blanakan Subang, Jawa Barat. Buaya muara di Subang tersebut pertama kali dibawa dari daerah asalnya Pontianak, Kalimantan Barat, 13 Desember 1988 sebanyak 50 ekor. Menyusul kemudian 12 ekor pada 26 Desember 1988. Pada saat dilaporkan Harian Kompas, 15 Februari 1992, jumlah buaya di tempat penangkaran ini berjumlah 90 ekor, terdiri atas buaya induk 15 ekor, buaya muda 40 ekor dan buaya anakan 35 ekor.
Di Balikpapan, pada tahun 1990-an terdapat penangkaran buaya berbagai jenis. Seperti dilaporkan Harian Kompas 12 November 2002, CV Surya Raya mengembangkan bisnis penangkaran buaya di Kelurahan Teritip, sekitar 20 km di sebelah utara Balikpapan. Saat itu perusahaan yang dimiliki Tarto Sugiarto memelihara ribuan ekor buaya muara, buaya sepit, dan buaya kodok. Ia memulai usahanya sejak tahun 1991. Harian Kompas 21 Juni 2017 melaporkan, hingga saat itu penangkaran CV Surya Raya menampung sekitar 1.500 ekor buaya.
KOMPAS/LUKAS ADI PRASETYA–Buaya-buaya muara yang masih anakan ini berada di penangkaran buaya CV Surya Raya, Teritip, Balikpapan, Kalimantan Timur, Kamis (13/4). Penangkaran ini menampung 1.500-an buaya.
Buaya kodok dilaporkan pernah berada di di Danau Belibis, Kabupaten Kutai Barat dan pedalaman Sungai Mahakam, Kalimantan Timur tahun 1991 – 1995. Namun buaya kodok dinyatakan punah sejak tahun 1995 di Kaltim (Harian Kompas, 19 Maret 2003).
Jadi, meskipun sesekali memangsa manusia, yang kebanyakan karena habitatnya terganggu, buaya harus tetap dilindungi. Karena bahaya terhadap manusia, habitat manusia dan buaya memang harus dipisahkan.–SUBUR TJAHJONO
Sumber: Kompas, 18 Juni 2018
—————-
Buaya Pun Inginkan Jakarta
ANTARA FOTO/DHEMAS REVIYANTO–Petugas Polisi Air Baharkam Polri sedang berpatroli di Pantai Ancol Jakarta Minggu (17/6/2018). Patroli dilakukan untuk melacak keberadaan buaya muara yang dikabarkan muncul di sekitar Tanjung Priok.
Di tengah hiruk pikuknya, Jakarta masih menyisakan tempat bagi buaya muara. Bukan ingin mengambil kesimpulan dini, kemunculannya di Tanjung Priok, seperti menyiratkan Jakarta berpotensi jadi rumah bagi satwa liar dilindungi ini.
Kemunculan buaya muara (Crocodylus porosus) yang ditaksir sepanjang 2,5 meter, beberapa hari lalu di Dermaga Pondok Dayung, Tanjung Priok, Jakarta, bikin heboh. Lokasinya tidak jauh dari keramaian libur Lebaran. Hanya berjarak sekitar 5 kilometer dari Pantai Ancol, tempat wisata favorit Jakarta.
Masyarakat juga dibuat heran karena satwa yang dikenal buas ini menampakkan diri pada siang hari di perairan yang dianggap tercemar. Sulit membayangkan, kawasan itu menjadi tempat hidupnya.
Berseliweran informasi, buaya itu sengaja dilepas penghobi–mungkin karena beratnya ongkos perawatan. Perkiraan serupa kerap muncul saat berbagai spesies invasif hidup di sungai dan waduk-waduk di Indonesia.
Dugaan lain, buaya itu lepas dari penangkaran akibat banjir atau banjir rob. Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indra Eksploitasia, Selasa (19/6/2018) di Jakarta, mengatakan, tidak ada penangkaran di seputar Jakarta (Tangerang dan Serang) yang kehilangan buayanya.
Akan tetapi, ia mengatakan, kemunculan buaya di Jakarta bukan yang pertama kalinya. Februari 2016, saat banjir Jakarta, seekor buaya juga terdampar di pinggir Sungai Pesanggrahan Jakarta Barat.
“Intinya kejadian ini bukan anomali atau fenomena lain. Hanya saja, kami belum tahu pasti (asal buaya) darimana. Bisa lepas atau karena terbawa arus banjir dari Angke,” kata dia.
Angke yang dimaksud adalah Taman Wisata Alam, Suaka Margasatwa, dan Hutan Lindung Muara Angke. Tempat ini merupakan kawasan konservasi ekosistem mangrove di Jakarta Utara. Bila ditarik garis lurus, Muara Angke berjarak sekitar 10 Km dari Priok.
Hellen Kurniati, peneliti buaya dari Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan, di Angke masih sering dijumpai buaya. Informasi dari masyarakat setempat menguatkannya. Bila benar berasal dari Angke, bisa jadi buaya di Priok itu tengah berjuang mencari pakan.
“Buaya tak perlu jauh-jauh menjelajah kalau makanannya tersedia,” kata dia.
Akan tetapi, ia enggan berandai-andai. Meski memastikan Priok bukan habitat alami buaya karena cenderung bising dan penuh lalu-lintas kapal, hingga kini belum pernah dilakukan survei sistematis tentang populasi buaya di sana.
“Tahun ini baru akan dilakukan survei populasi buaya (di Angke) oleh LIPI,” kata dia.
Oleh karena itu, Hellen berharap sejumlah metode tepat diterapkan menangani hal ini. Buaya di Priok bisa memberi banyak informasi berguna untuk di kemudian hari.
Salah satunya menangkap buaya itu hidup-hidup. Selain memberi rasa aman pada masyarakat, Hellen nantinya bisa menganalisa asal buaya tersebut, berasal dari penangkaran atau alam.
“Bisa dilihat dari ekornya. Kalau dari alam, ujung ekornya pasti tegak karena sering digunakan berenang. Kalau dari penangkaran, biasanya ujung ekornya jatuh,” kata dia.
Tidak hanya itu, Hellen mengatakan buaya muara adalah hewan dilindungi di Indonesia. Selain buaya muara, kehidupan buaya Papua (Crocodylus novaeguineae), buaya siam (Crocodylus siamensis), dan buaya senyulong (Tomistoma schlegelii), dibentengi PP No 7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Agar membuahkan hasil, dia juga menyarankan aparat mengubah metode pencarian. Pencarian buaya lebih baik dilakukan malam hari menggunakan perahu bermesin kecil.
“Gunakan senter terang, kalau disorot ada mata menyala merah, itu pasti dia (buaya),” kata dia, yang berpengalaman meneliti buaya di berbagai belantara di Indonesia.
Dengan segala kisahnya, Buaya ini juga istimewa. Daya adaptasi hidupnya tinggi. Populasinya tersebar dari India, Pakistan, Thailand, Malaysia, Filipina, hingga Indonesia. Papua Niugini, negara-negara Pasifik, hingga Australia, juga jadi habitatnya.
Oleh karena itu, tidak heran bila Jakarta bukan cuma punya roti buaya. Jakarta juga berpeluang jadi rumah buaya muara.–ICHWAN SUSANTO
Sumber: kompas, 20 Juni 2018