Biobatu Bata dari Air Kencing

- Editor

Sabtu, 3 November 2018

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Sekitar 90 persen dari air kencing kita terdiri atas air. Sisanya, mengandung sejumlah senyawa penting seperti fosfor, nitrogen dan kalium (potassium). Dengan rekayasa dan pengolahan, air kencing itu bisa dimanfaatkan menjadi pupuk dan biobatu bata. Upaya ini akan membuat limbah air kencing menjadi sepenuhnya termanfaatkan hingga mendukung pembangunan berkelanjutan.

Pemanfaatan limbah air kencing menjadi pupuk dan biobatu bata itu dilakukan dosen rekayasa kualitas air di Universitas Cape Town, Afrika Selatan, Dyllon Randall beserta mahasiswanya.

Upaya itu, diawali dengan mengumpulkan air kencing menggunakan urinoir khusus yang telah dihubungkan dengan kontainer plastik. Di dalam kontainer sudah diisi bubuk kapur padam (kalsium hidroksida). Seiring waktu, percampuran antara air kencing dan kapur padam itu akan membentuk kalsium fosfat, yaitu bahan dasar pembuat pupuk. Percampuran antara air kencing dan kapur padam itu juga akan membunuh bakteri dan patogen berbahaya yang ada di air kencing.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

ROBYN WALKER/UNIVERSITY OF CAPE TOWN–Biobatu bata pertama di dunia yang dibuat dari air kencing manusia diperkenalkan Dyllon Randall (paling kiri) dan mahasiswanya di Universitas Cape Town, Afrika Selatan, pekan keempat Oktober 2018.

Setelah bahan dasar pupuk itu dikeluarkan dari kontainer, maka cairan dari limbah air kencing akan tetap ada. Cairan yang tersisa itu selanjutnya akan dipindahkan ke bejana lain yang mengandung pasir dan bakteri khusus. Bakteri khusus itu akan bereaksi dengan air kencing dan menghasilkan kalsium karbonat, senyawa yang akan mengikat pasir hingga pasir bisa dibentuk menjadi batu bata.

Berikutnya, kalsium karbonat dan pasir itu diletakkan dalam cetakan persegi dan dibiarkan selama 2-6 hari. Makin lama pasir dan kalsium karbonat dibiarkan dalam cetakan, makin kuat pula biobatu bata yang terbentuk. Setelah itu, biobatu bata pun jadi dan bisa dimanfaatkan untuk bahan bangunan.

MUNIR UZ ZAMAN / AFP–Pabrik batu bata merah yang ada di pinggiran Dhaka, Bangladesh, 17 September, 2018.

Biobatu bata itu akan berwarna abu-abu dan memiliki tingkat kekerasan sama seperti batu cetak kapur (limestone brick). Proses pembentukan biobatu bata itu tidak perlu menggunakan pemanasan hingga suhu 1.400 derajat celsius seperti dalam pembuatan batu bata merah sehingga tidak menghasilkan karbondioksida ke lingkungan.

“Bahan cair yang tersisa dari pembuatan biobatu bata itu bisa diporses untuk pembuatan pupuk kedua,” tambah Randall seperti dikutip Livescience, Kamis (25/10/2018).

Keseluruhan proses pengolahan air kencing itu menjadi pupuk, biobatu bata dan pupuk kedua adalah sebuah penemuan baru atau novel, berkelanjutan, dan benar-benar memiliki bau yang tak sedap. Bau biobatu bata yang dihasilkan itu sangat pesing. Namun, bau itu akan hilang dalam 2 hari.

Untuk membuat satu biobatu bata dibutuhkan 25-30 liter air kencing. Itu setara dengan jumlah air kencing yang dihasilkan dari 100 kali buang air kecil.

Pembuatan biobatu bata itu memang baru bertumbuh, namun Randall yakin, biobatu bata itu bisa digunakan untuk menopang pembangunan masa depan. Selain membutuhkan pengujian lebih lanjut, penggunaan air kencing yang disebut Randall sebagai emas cair itu juga membutuhkan sejumlah solusi atas berbagai persoalan, seperti pengumpulan air kencing dan pengiriman air kencing itu ke pabrik untuk produksi pupuk dan biobatu bata secara massal.

Namun tantangan lain yang tak mudah adalah menyiapkan masyarakat untuk bisa menerima batu bata dari air kencing tersebut. Di sisi lain, penyempurnaan biobatu bata juga harus dilakukan.

Jika semua rintangan itu bisa dilalui, impian manusia untuk bisa memanfaatkan limbah yang dihasilkannya akan benar-benar terwujud. Bukan hanya ramah lingkungan, cara ini juga menjamin pembangunan yang lebih berkelanjutan.–M ZAID WAHYUDI

Sumber: Kompas, 27 Oktober 2018

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes
Kalender Hijriyah Global: Mimpi Kesatuan, Realitas yang Masih Membelah
Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?
Wuling: Gebrakan Mobil China yang Serius Menggoda Pasar Indonesia
Berita ini 6 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Rabu, 2 Juli 2025 - 18:46 WIB

Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa

Jumat, 27 Juni 2025 - 08:07 WIB

Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes

Jumat, 27 Juni 2025 - 05:33 WIB

Kalender Hijriyah Global: Mimpi Kesatuan, Realitas yang Masih Membelah

Berita Terbaru

Fiksi Ilmiah

Bersilang Nama di Delhi

Minggu, 6 Jul 2025 - 14:15 WIB

Artikel

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Sabtu, 5 Jul 2025 - 07:58 WIB